Naskah
Khutbah Jum’at:
MENELADANI KERENDAHAN HATI SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI
Oleh:
Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
Khutbah Pertama:
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الأزْمَانِ
وَالآنَاءِ، فَلاَ ابْتِدَاءَ لِوُجُوْدِهِ وَلاَ انْتِهَاءَ، يَسْتَوِيْ
بِعِلْمِهِ السِّرُّ وَالْخَفَاءُ، وهو القَائِلِ: وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا
تَكْسِبُ غَدًا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْكَبِيْرُ المُتَعَالِ، المُنَزَّهُ
عَنِ الشَّبِيْهِ وَالْمِثَالِ، الَّذِيْ يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ كُلُّ شَيْءٍ
فِي الْغُدُوِّ وَالآصَالِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
الَّذِيْ حَذَّرَنَا مِنْ دَارِ الفُتُوْنِ، المُنَزَّلُ عَلَيْهِ: إِنَّكَ
مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُوْنَ. اللَّهُمَّ فصَلِّ وسلّم عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ خَاتَمِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِ الطَّيِّبِيْنَ
وَأَصْحَابِهِ الأَخْيَارِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَ اللهِ
أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
Hadirin, sidang Jum’ah
rahimakumullah,
Dalam kitab al-Fawaid
al-Mukhtarah yang ditulis oleh al-Habib Ali bin Hasan Baharun, yang disusun
berdasarkan perkataan-perkataan gurunya, yaitu al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith.
Kitab itu berisi wejangan-wejangan para ulama, auliya, habaib, termasuk kisah
Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang menyebabkannya meraih gelar sulthanul
auliya (raja dari seluruh para wali di muka bumi). Kisah ini juga
diceritakan dalam kitab Tuhfatul Asyraf bi Ma’rifatil Athraf karangan
al-Hafidz Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizziy.
Dikisahkan, bahwa ketika
Syekh Abdul Qadir al-Jailani masih berstatus sebagai santri, ia berteman dengan
2 (dua) orang yang dikenal sangat cerdas dan pandai, yaitu Ibnu Saqa’ dan Ibnu
Abi ‘Asrun. Mereka cukup intens bergaul, terutama dalam forum diskusi atau
majelis-majelis keilmuan. Pertemanan itu terus berlanjut, hingga pada suatu
hari mereka bertiga mengunjungi seorang waliyyullah, seorang wali
al-ghouts yang sangat masyhur dan banyak diziarahi banyak orang dari
berbagai penjuru. Tempat kediaman wali tersebut cukup jauh dari keramaian, tepatnya
di sebuah daerah yang sangat terpencil. Meski demikian, mereka tetap bersemangat agar bisa bertemu
dengan sang wali.
Di tengah perjalanan,
mereka saling bertanya satu sama lain tentang tujuan
masing-masing. Ibnu Abi ‘Asrun memulai pertanyaan kepada
Ibnu Saqa: “Wahai Ibnu Saqa, kira-kira apa tujuan dan
maksudmu hendak bertemu wali
tersebut?”. Ibnu Saqa’ lalu menjawab, “Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan
yang sangat sulit, hingga aku yakin ia tidak akan mampu
menjawabnya. Tujuanku hanya
ingin menyelami kedalaman ilmu seorang wali”. Demikian pula dengan Ibnu Abi ‘Asrun, ia pun memiliki
maksud yang sama, yakni ingin menguji keluasan ilmu seorang wali.
Mereka berdua lalu bertanya
kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani, tentang apa yang menjadi tujuannya bertemu
sang wali. Syekh Abdul Qadir al-Jailani:
أنا أخرج إليه للزيارة ملتمسا من بركاته غيرَ سائل له من
شيء, فإنّ مثل هذا مشغول بما هو أعظم من ذالك, وهي الحضرة الأحدية الصمدية.
“Aku hanya ingin
sowan dan mengharap berkah dari beliau. Aku tidak memiliki pertanyaan apapun yang akan aku ajukan. Karena orang seperti
itu hidupnya hanya disibukkan dengan sesuatu yang lebih agungr dibandingkan
apapun, yaitu Allah SWT”.
Lalu, sesampainya mereka di kediaman wali
al-ghouts, mereka mengetuk pintu rumahnya. Tapi, sang wali tak segera membukakan pintu. Mereka cukup lama
menunggu. Kemudian, sang wali keluar dalam
keadaan marah seraya bertanya: “Siapa di antara kalian yang
bernama Ibnu Saqa?”. Ibnu Saqa’ pun langsung terkejut lantaran sang wali yang
baru pertama kali ia kunjungi itu mengetahui namanya. Dan ia pun dibuat lebih
terkejut lagi, ketika mengetahui sang wali ternyata telah mengetahui pertanyaan
yang akan ia ajukan, sekaligus langsung memberikan jawabannya secara mudah dan detail.
Begitu pula dengan pertanyaan Ibnu
Abi ‘Asrun. Setelah itu sang wali langsung mengusir mereka berdua dari
hadapannya. Sebelum mereka berdua pergi, wali itu dengan mukasyafah atau ketajaman mata batinnya
berkata: “Wahai Ibnu Saqa, aku melihat ada api kekufuran
yang menyala di dalam tulang
rusukmu. Dan kau Ibnu Abi ‘Asrun, sesungguhnya aku melihat dunia
berjatuhan menimpa tubuhmu.”
Kemudian, ketika sampai
pada giliran Syekh Abdul Qadir al-Jailani, wali al-ghouts itu memandanginya
cukup lama, dari mulai kaki hingga kepala, lalu berkata dengan penuh kelembutan:
“Wahai anakku, Abdul Qadir, aku sudah mengetahui tujuan kedatanganmu kesini hanya
ingin berkah dariku, insya Allah tujuanmu akan tercapai.” Wali itu juga berkata,
“Aku melihatmu seakan-akan kau berkata kepadaku: “telapak kakiku ini berada
di atas leher seluruh wali di muka bumi”.
Hadirin sekalian
rahimakumullah,
Beberapa hari kemudian
setelah peristiwa itu, Ibnu Saqa yang dikenal sangat pandai dan cerdas itu dipanggil
oleh raja di negeri asalnya. Ia ditugaskan oleh raja untuk pergi menemui para pendeta
Nasrani, agar ia bisa berdebat dan mematahkan hujjah-hujjah mereka. Namun di
tengah perjalanannya, ia bertemu dengan seorang gadis cantik keturunan Nasrani,
yang membuat hatinya langsung terpikat dan ingin menjadikannya isteri. Tanpa berpikir
panjang akhirnya ia pergi menemui orangtua gadis tersebut, dan menyatakan kesediaannya
mengorbankan apapun demi mendapatkan gadis itu. Maka, terbuktilah perkataan wali
al-ghouts yang dulu pernah ditemuinya, bahwa ada api kekufuran yang menyala
di dalam tulang rusuknya, dan benar, ia akhirnya menggadaikan agamanya, mengikuti
agama Nasrani demi seorang gadis yang ingin ia nikahi. Innaa lillahi wa
innaa ilaihi raji’un, na’udzu billahi tsumma na’udzu billahi min dzalik.
Sedangkan Ibnu Abi ‘Asrun,
ia diberi jabatan oleh raja di negerinya untuk mengurusi harta kerajaan yang
tersebar di berbagai penjuru, hingga waktu dan hidupnya hanya disibukkan dengan
urusan harta benda.
Sementara Syekh Abdul
Qadir al-Jailani, ia akhirnya meraih maqam tertinggi dari Allah SWT berkat
sikap rendah hatinya di hadapan sang wali, yang menyebabkan beliau masyhur hingga
saat ini dengan gelar sulthanul auliya (raja dari seluruh para wali di
muka bumi). Pada saat Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengajar murid-muridnya, ia
pun mengatakan seperti apa yang dikatakan wali al-ghouts yang pernah
ditemuinya, “Telapak kakiku ini berada di atas leher seluruh para wali,”
dan perkataannya ini didengar oleh seluruh wali di penjuru bumi, lalu mereka semua
berikrar “sami`na wa atha`na.” (kami semua mendengar, dan kami patuh).
Hadirin yang dirahmati
Allah,
Dari pemaparan kisah di
atas, ada hikmah penting yang bisa kita ambil sebagai pelajaran. Bahwa sikap
tawadhu’ atau rendah hati akan mengantarkan seseorang pada derajat yang tinggi
di sisi Allah. Sedangkan kesombongan hanya akan membuatnya rendah dalam
pandangan-Nya. Sebagimana sabda Nabi:
من تواضع رفعه الله ومن تكبّر وضعه الله
“Barang siapa yang rendah hati, maka akan ditinggikan derajatnya
oleh Allah. Dan barang siapa yang menyombongkan diri, maka akan dihinakan oleh
Allah”.
Di antara ciri orang
yang rendah hati, Allah SWT menyatakan di dalam al-Qur’an:
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِين يَمْشُونَ عَلَى الأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلاَمًا
“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang
Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka (dengan
kata-kata yang menghina), mereka akan tetap menebarkan “salam.” (QS.
al-Furqân [25]: 63)
Mengenai tafsir ayat
di atas, Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa kata “hawnan” (yang
diterjemahkan ke dalam bahasa kita menjadi ‘rendah hati’), mengandung arti
tenang, santun dan berwibawa. Artinya, orang yang disebut sebagai hamba-Nya
yang sejati adalah mereka yang senantiasa berjalan di muka bumi dengan rendah
hati, tenang, tidak membuat kegaduhan, serta menunjukkan rasa cinta dan kasih
sayang kepada sesama. Dan
itu merupakan akhlak para nabi.
Keharusan setiap muslim bersikap
rendah hati juga disampaikan oleh Rasulullah SAW. Di
dalam sabdanya beliau berpesan:
إِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا، حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ، وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian saling
bersikap rendah hati,
sehingga tidak
ada satu orang pun yang
lebih membanggakan
dirinya atas
orang lain, dan tidak ada satu orang pun yang melampaui batas terhadap orang lain.” (HR. Muslim)
Dalam sebuah syair dikatakan:
تواضع تكن كالنجم لاح لناظر على صفحات الماء وهو رفيع
ولا تك كالدخان يعلو بنفسه على صفحات الجو وهو وضيع
Rendah hatilah, maka kau akan seperti bintang. Bagi orang yang
melihatnya dari permukaan air ia tampak berada jauh di dasar kolam, padahal
sesungguhnya ia berada sangat tinggi di atas langit. Dan janganlah engkau seperti asap yang membumbung
tinggi, padahal
dari atas angkasa sebenarnya ia sangat rendah.
بَارَكَ
اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا
فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ
تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا
وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ
الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua
الحمد لله الذي أَكرَمَنا بِدِين
الحقّ المبين، وأَفضَلَنا بِشريعة النّبي الكريم، أشهد أن لا اله إلاّ اللهُ وحده
لا شريك له الملِكُ الحقُّ المبين، وأشهد أنّ سيّدَنا ونبيَّنا محمدا عبدُه و
رسولُه سيّدُالأنبياء والمرسلين، اللهم صلّ وسلّم وبارك على نبيِّنا محمد وعلى اله
وصحبه والتابعين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد: فيأيّها الناس اتّقوا
الله، وافعلوا الخيرات واجتنبوا عن السيئات، واعلموا أنَّ الله أمَركم بأمرٍ بدأ
فيه بنفسه وثـنّى بملآئكته بقدسه, وقال تعالى: إنَّ الله وملآئكته يصلّون على
النبى يآأيها الذين آمنوا صلّوا عليه وسلّموا تسليما. اللهمّ صلّ على سيدنا محمد
وعلى أنبيآئك ورُسُلِك وملآئكتِك المقرّبين, وارضَ اللهمّ عن الخلفاء الراشدين أبي
بكر وعمر وعثمان وعليّ وعن بقيّة الصحابة والتابعين وتابعي التابعين لهم بإحسان
إلى يوم الدين, وارض عنّا معهم برحمتك ياأرحم الراحمين. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ،
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ
سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوات. اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا
جَمْعًا مَرْحُوْمًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا،
وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْمًا. اللَّهُمَّ إِنَّا
نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى. اللَّهُمَّ إِنَّا
نَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَ كُلاًّ مِنَّا لِسَانًا صَادِقًا ذَاكِرًا، وَقَلْبًا
خَاشِعًا مُنِيْبًا، وَعَمَلاً صَالِحًا زَاكِيًا، وَعِلْمًا نَافِعًا رَافِعًا،
وَإِيْمَانًا رَاسِخًا ثَابِتًا، وَيَقِيْنًا صَادِقًا خَالِصًا، وَرِزْقًا
حَلاَلاً طَيِّبًا وَاسِعًا، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي
قُلُوبِنَا غِلاًّ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ. ربّنا
آتنا في الدّنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النّار. والحمد لله رب العالمين.
عبادالله، إنّ الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر
والبغي يعظكم لعلّكم تذكّرون. فاذكروا الله العظيم يذكركم واشكروه على نعمه يزدكم
ولذكرالله اكبر.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar