Senin, 08 September 2014

"Islam Bukan Agama Kekerasan: Menolak Radikalisme Islam"



Naskah Khutbah Jum’at:
“ISLAM BUKAN AGAMA KEKERASAN”
(MENOLAK GERAKAN RADIKALISME ISLAM)
Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
(Ketua Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) Pengurus Cabang NU Kab. Indramayu)
(Disampaikan di Masjid Jami’ Al-Ikhlash Desa Dukuhjeruk Kec. Karangampel Kab. Indramayu, 05 September 2014)

Khutbah Pertama:
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ خَلَقَ الْخَلْقَ وَقَدَّرَ الأَشْيَاءَ، وَاصْطَفَى مِنْ عِبَادِهِ الرُّسُلَ وَالأَنْبِيَاءَ، بِهِمْ نَقْتَدِي وَبِهُدَاهُمْ نَهْتَدِي، نَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا هُوَ لَهُ أَهْلٌ مِنَ الحَمْدِ وَأُثْنِي عَلَيْهِ، وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ، أَنْزَلَ عَلَيْهِ رَبُّهُ الْقُرْآنَ الْمُبِيْنَ, هُدًى وَنُوْرًا لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَجَعَلَ رِسَالَتَهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ، وصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى سيدنا محمّد وَعَلَى سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ, وَآلِ كُلٍّ وَالصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ, فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.

Hadirin sidang Jum’at rahimakumulllah,
Mengawali khutbah siang hari ini, marilah kita sama-sama memanjatkan puji dan rasa syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya yang satu detik pun tak pernah berhenti kita rasakan. Kebaikan dan kasih sayang-Nya terus-menerus mengalir dalam setiap langkah kehidupan kita. Dan setiap saat, nikmat-nikmat itu semakin bertambah, nikmat yang satu senantiasa disusul dengan nikmat lainnya, tanpa bisa kita hitung jumlahnya. Sebagaimana firman-Nya: “wa in ta’udduu ni’mata L-laahi laa tuhshuuhaa” (seandainya kalian diminta untuk menghitung berapa banyak nikmat-nikmat Allah itu, niscaya kalian tidak akan pernah bisa menghitungnya). Tak lupa, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan alam, baginda Nabi Agung Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya, serta seluruh pengikutnya, termasuk kita semua selaku ummatnya.

Jamaah Jum’at yang berbahagia,
Materi atau tema khutbah kali ini kami beri judul: “Islam Bukan Agama Kekerasan (Menolak Gerakan Radikalisme Islam)”. Ini merupakan salah satu bentuk ikhtiar Khathib dalam merespon masih terus maraknya pemikiran dan gerakan radikalisme Islam (Islam garis keras), baik yang berskala lokal-nasional seperti gerakan kelompok “Negara Islam Indonesia (NII)”, maupun yang berskala global-internasional (atau gerakan trans-nasional yang bersifat lintas negara) seperti gerakan “Hizbut Tahrir” dan “International State in Irak and Suriah (ISIS)” yang baru-baru ini muncul dan marak diberitakan di media massa, baik media nasional maupun internasional, serta masih banyak kelompok dan gerakan sejenis lainnya yang bermunculan di negeri ini, yang semuanya penting untuk diketahui dan diwaspadai oleh segenap kaum Muslim di Indonesia, yang notabene telah ribuan tahun lamanya, sejak Islam pertama kali masuk ke Nusantara pada abad ke-7 M / 1 H, menganut paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Selain itu, materi khutbah kali ini juga sebagai bentuk tanggungjawab moral Khathib untuk memberikan sedikit pencerahan dan peringatan dini kepada masyarakat kita, khususnya para pelajar dan generasi muda Muslim, agar dapat membentengi diri dengan pemahaman keagamaan yang benar dan lurus, sehingga tidak mudah terprovokasi oleh doktrin-doktrin “meresahkan” dan memecah-belah yang gencar dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal di atas, yang dalam setiap aksi dan gerakannya selalu menggunakan cara-cara “puritan” dengan mengatas-namakan dan membawa simbol-simbol keislaman namun hakikatnya sangat tidak islamiy bahkan jauh dari nilai-nilai luhur ajaran Islam itu sendiri yang dibawa oleh Rasulullah SAW yang bersifat rahmatan lil ‘alamin.

Hadirin yang dirahmati Allah,
Kiranya sudah sama-sama kita maklumi bersama, bahwa agama Islam dengan ajaran-ajarannya yang tertuang di dalam kitab suci al-Qur’an dan Hadits Nabi, akhir-akhir ini kerap disudutkan dan diidentikkan sebagai “agama kekerasan”, “agama teroris”, dan sebutan-sebutan negatif lainnya. Kita semua tentu sangat tidak setuju dan menolak keras anggapan seperti itu. Namun perlu kita pahami, bahwa anggapan semacam ini muncul sedikitnya disebabkan oleh 2 (dua) hal:

Pertama, karena adanya sebagian kaum orientalis (para ilmuwan Barat yang mengkaji ajaran-ajaran Islam), meskipun tidak semuanya, yang sejak awal kajiannya terhadap Islam memang bertujuan mendiskreditkan Islam melalui teks-teks ajaran Islam itu sendiri. Dengan kata lain, sebagian kaum orientalis semacam ini berupaya menyudutkan citra Islam melalui teks-teks ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur’an dan hadits Nabi. Mereka umumnya sangat tertarik mengkaji teks-teks keislaman yang berkaitan tentang “perang” (jihad), baik yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi. Teks-teks tersebut kemudian oleh mereka “diotak-atik” atau “dipoles” sedemikian rupa dengan pemahaman dan penafsiran sesuai kepentingan mereka sendiri yang sangat tidak objektif dan menyudutkan, demi meyakinkan masyarakat dunia bahwa Islam adalah agama yang melegitimasi peperangan dan kekerasan.

Kedua, karena adanya pemahaman dari sebagian kelompok umat Islam sendiri, terutama dari kalangan IGARAS (Islam Garis Keras) sebagaimana beberapa di antaranya disebutkan di atas, yang sangat dangkal dan tekstual dalam memahami ajaran Islam, tanpa memahami konteks dan inti maqashid as-syari’ah dari masing-masing ajaran itu. Dengan kata lain, kelompok umat Islam semacam ini umumnya memahami teks ajaran Islam hanya berhenti pada tataran al-ma’na (makna permukaan) yang sekiranya sesuai dengan selera dan kepentingan mereka sendiri, namun mereka gagal menggali aspek al-maghza (kedalaman substansi dan spirit ajaran) yang terkandung di dalamnya. Sehingga, produk pemahaman keagamaan yang dihasilkan oleh mereka pun sesungguhnya tidaklah berbeda dengan pemahaman yang dihasilkan oleh sebagian kaum orientalis di atas. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah, kelompok umat Islam semacam ini, dengan bekal pemahaman keagamaan mereka yang sangat kaku dan tekstual itu, justeru menganggap diri mereka sebagai kelompok umat Islam yang paling benar (truth claim), bahkan mudah memberi label “kafir” terhadap kelompok lain yang dianggap tidak sepaham dengan mereka sehingga layak diperangi. Cara berpikir semacam ini sungguh sangat keliru dan berbahaya bagi kerukunan hidup umat Islam sendiri, lebih-lebih dalam hubungan antar umat beragama dan hubungan masyarakat sebangsa-setanah air yang penuh dengan kemajemukan. Itu semua karena doktrin atau ajaran yang dikembangkan oleh mereka cenderung eksklusif, ekstrem, fanatik, tidak toleran, radikal, dan keras. Di antara doktrin yang paling sering diusung oleh mereka hingga saat ini umumnya berkutat pada konsep “Khilafah Islamiyah” (terbentuknya Negara Islam) dan konsep “Jihad” dengan pemaknaan yang sangat dangkal dan sempit hanya sebatas “perang fisik” dan aksi-aksi “kekerasan” yang tanpa kompromi. Padahal, hakikat makna “Jihad” itu sendiri yang sesungguhnya adalah sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah SAW di akhir berkecamuknya Perang Badar yang sangat dahsyat, bahwa jihad yang paling besar adalah jihad an-nafs (jihad memerangi hawa nafsu dan angkara murka yang bersemayam di dalam diri setiap manusia). 

Hadirin Jama’ah Jum’at Hadaniyallahu wa Iyyakum,
2 (dua) sebab di atas itulah yang bagi Khathib telah membuat kemuliaan dan keteduhan wajah Islam akhirnya tercoreng, bahkan di mata sebagian masyarakat dunia, Islam dipandang sebagai “agama kekerasan” atau “agama kaum teroris”. Padahal, di dalam al-Qur’an Allah SWT sendiri dengan sangat jelas dan tegas menyatakan:
ومآ أرسلناك إلاّ رحمة للعالمين
“Tidaklah Aku mengutus engkau (wahai Muhammad) kecuali untuk menebarkan rahmat (kasih sayang) bagi seluruh semesta”. (QS. An-Anbiya: 107).

Dan bahkan, kata “Islam” sendiri pun secara harfiyah memiliki makna keselamatan dan kedamaian. Oleh karenanya, sangat jelas bagi kita bahwa Islam tidak membenarkan segala bentuk aksi teror dan kekerasan apalagi dengan mengatas-namakan agama demi meraih kepentingan-kepentingan tertentu yang sesungguhnya lebih bernuansa “politis”, baik yang berskala nasional maupun global (seperti isu tentang Khilafah Islamiyah yang diusung oleh kelompok NII, HT, ISIS, dan kelompok-kelompok sejenis lainnya) ketimbang misi dakwah dalam pengertian yang sebenarnya. Karena jelas, inti dari ajaran moral Islam adalah membentuk umatnya agar lebih mengedepankan etika/akhlak dan prilaku moderat, santun, toleran, dan kasih sayang terhadap siapa pun, baik terhadap sesama muslim maupun non-muslim, termasuk terhadap makhluk-makhluk Allah yang lain, bukan justeru selalu mengobarkan api kebencian, peperangan, dan rasa permusuhan. Demikianlah inti dari ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sekaligus perwujudan dari upaya menanamkan nilai-nilai ajaran Islam agar shalih li kulli zaman wa makan (relevan sepanjang masa di manapun tempatnya).   

Kaum Muslimin yang dimuliakan Allah,
Oleh karena itu, adalah tugas dan tanggungjawab kita bersama untuk membekali diri, keluarga, dan masyarakat kita, terutama anak-anak dan generasi muda kita, agar tidak mudah terjebak dalam arus gerakan radikalisme Islam tersebut, yang kerap membawa simbol-simbol keislaman namun hakikatnya sangat jauh dari substansi dan nilai-nilai luhur ajaran Islam itu sendiri.  Untuk itu, hal penting yang mesti kita pahami dan kita upayakan diantaranya adalah membekali diri dengan pengetahuan agama yang lurus dan benar, sekaligus bersikap selektif dan hati-hati dalam memilih guru atau lembaga pendidikan, termasuk memilih jam’iyah dan organisasi, yang sekiranya selaras dengan paham keislaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sudah ribuan tahun lamanya diajarkan secara turun temurun oleh para ulama salafus shalih, orangtua, dan guru-guru kita. Hal ini sebagaimana dinasehatkan oleh ba’dhu as-salaf as-shalih:     
إنّ هذا العلمَ دين, فانظروا عمّن تأخذون دينكم
“Sesungguhnya pengetahuan ini adalah (sarana penting untuk memahami) agama (dengan benar), maka telitilah dari mana kalian mendapatkan pemahaman agama kalian itu”.

Terakhir, sebagai penutup materi khutbah ini, sebagaimana yang mungkin di antara jama’ah sekalian telah sama-sama ketahui, baru-baru ini muncul wacana pembongkaran dan pemindahan makam Rasulullah SAW dan situs-situs penting bersejarah lainnya di area Masjid Nabawi di Madinah oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, yang diback-up oleh kelompok ekstremis Wahabi. Wacana atau usulan ini dimuat dalam sebuah dokumen yang ditulis oleh seorang ilmuwan dari kalangan Wahabi, Dr. Ali bin Abdul Aziz al-Shabal dari “Muhamad ibn Saud Islamic University” Riyadh, dan telah diedarkan kepada Komite Kerajaan Arab Saudi. Rencana semacam ini sesungguhnya bukan kali yang pertama. Karena pada sekitar tahun 1924 yang silam, kelompok ekstremis Wahabi ini sudah hampir benar-benar melakukan pembongkaran terhadap makam Rasulullah SAW tersebut, bahkan membuat aturan yang melarang berhaji ke Baitullah bagi umat Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Namun rencana itu akhirnya berhasil digagalkan lantaran derasnya kecaman dari kalangan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari kalangan ulama Indonesia sendiri yang tergabung dalam wadah “Komite Hijaz”, sebuah organisasi yang menjadi cikal bakal lahirnya jam’iyyah Nahdhatul Ulama (NU) yang dimotori oleh Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahhab Chasbullah dari Jombang. Sepanjang sejarahnya, sejak awal kemunculannya pada abad ke 18 M, kelompok ekstremis Wahabi ini memang sangat gencar melakukan pembongkaran bahkan pengrusakan terhadap situs-situs penting bersejarah umat Islam, melalui slogan mereka yang sangat populer namun sesungguhnya sangat salah kaprah dengan mengatas-namakan gerakan “tajdid al-‘aqidah” (pembaharuan akidah), yakni: “demi membebaskan umat Islam dari prilaku syirik, khurafat, tahayul dan bid’ah”, sehingga makam-makam para Nabi dan para Auliya pun tak luput dari serangan brutal mereka.

Selain itu, perlu juga kita ketahui, bahwa di antara ajaran khas kaum Wahabi ini adalah: mengkafirkan imam besar sufi yang menjadi panutan di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti Imam Ibnu ‘Arabi dan Imam Abu Yazid al-Bustami; mudah memberi label “kafir” terhadap umat Islam lain yang dianggap tidak sepaham; memvonis sesat kitab “Aqidatul Awam” dan “Qashidah Burdah”; menganggap sesat pengikut madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah; mengubah beberapa bab dalam kitab-kitab karangan ulama salafus shalih agar sesuai dengan paham mereka, seperti kitab “al-Adzkar” karangan Imam An-Nawawi; mereka juga menolak perayaan Maulid Nabi karena menganggap acara tersebut sebagai bid’ah dholalah, termasuk menolak kitab “Ihya’ Ulumuddin” karangan Hujjatul Islam Imam al-Ghazali.

Oleh karenanya, sudah sepantasnya pada kesempatan ini kita sama-sama berdo’a dan memohon kepada Allah, agar wacana dan rencana yang akan memecah belah dan melukai perasaan umat Islam di seluruh dunia itu tidak betul-betul terlaksana. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Demikian khutbah yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

أعوذ بالله من الشيطان الرجيم. ادع إلى سبيل ربّك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن إنّ ربّك هو أعلم بمن ضلّ عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين
“Serulah (manusia) menuju jalan Tuhanmu dengan penuh kebijaksanaan (hikmah) dan nasehat yang baik, dan (apabila diperlukan) berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Dia-lah Tuhanmu yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia lebih mengetahui siapa orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125).  
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ للهِ عَلَى إِحْسَانِهِ, وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ وَامْتِنَانِهِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنََّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إِلَى رِضْوَانِهِ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ, وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ, فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ, اِتَّقُوا اللهََ حَقَّ تُقَاتِهِ, وَاعْلَمُوْا أَنََّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ, وَقَالَ تَعَالَى إِنََّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَنْبِيَآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَتِكَ الْمُقَرَّبِيْنَ, وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ, وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ, إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَِّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ الْمُخْلِِصِيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ ودَمِّرْ أَعْدَآئَنَا وَأَعْدَآءَ الدِّيْنِ وأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلاََءَ وَالْوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ الْفِتْنَةِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنا إِنْدُوْنِيْسِيَا خَآصَّةً وَعَنْ سَائِرِ الْبُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَآمَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ! إِنََّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ, وَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكم, وَلَذِكرُ اللهِ أَكْبَرُ, وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.


Khutbah Jum'at: "Memanfaatkan Momentum Ramadhan"




Naskah Khutbah Jum’at:
“MEMANFAATKAN MOMENTUM RAMADHAN”
Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
(Disampaikan di Masjid Jami’ Al-Ikhlash Desa Dukuhjeruk Kec. Karangampel Kab. Indramayu, 18 Juli 2014)
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ جَعَلَ شَهْرَ رَمَضَانَ سَيِّدَ الشُّهُوْرِ. وَأَنْزَلَ فِيْهِ الْقُرْآنَ كَمَا أَنْزَلَ فِيْهِ التَّوْرَاةَ وَالإِنْجِيْلَ وَالزَّبُوْرَ. وَفَتَحَ فِيْهِ أَبْوَابَ الْجِنَانِ, وَهَيَّأَ مَا فِيْهَا مِنَ النَّعِيْمِ وَالْوِلْدَانِ وَالْقُصُوْرِ. وَأَغْلَقَ أَبْوَابَ النِّيْرَانِ عَنِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَأَعَدَّهَا لِكُلِّ مُشْرِكٍ وَكَفُوْرٍ. وَفَرَّضَ صِيَامَهُ وَضَاعَفَ لِصَائِمِهِ الأُجُوْرَ. وَفَضَّلَ قِيَامَهُ وَرَتَّبَ عَلَيْهِ الْجَزَاءَ الْمَأْثُوْرَ. أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَأَشْكُرُهُ عَلَى جَمِيْعِ نِعَمِهِ فَهُوَ أَحَقُّ مَحْمُوْدٍ وَأَجَلُّ مَشْكُوْرٍ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةً يَشْرَحُ اللهُ لَنَا بِهَا الصُّدُوْرَ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ النَّبِيُّ الْمُخْتَارُ. فَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِ بَيْتِهِ وَأَصْحَابِهِ صَلاَةً وَسَلاَمًا دَائِمَيْنِ مُتَلاَزِمَيْنِ إِلَى دَارِ الْقَرَارِ. وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.

Hadirin sidang Jum’at rahimakumulllah,
Segala puji dan rasa syukur marilah senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena nikmat dan karunia-Nya sedetik pun tak pernah berhenti kita rasakan. Kebaikan-Nya terus mengalir kepada kita waktu demi waktu. Setiap saat nikmat-nikmat itu semakin bertambah tanpa mungkin bisa kita hitung jumlahnya. Nikmat yang satu senantiasa disusul oleh nikmat yang lain. Allah begitu menyayangi hamba-hamba-Nya yang butuh kepada-Nya, butuh akan pertolongan, ampunan, dan kasih sayang-Nya. Dan pada bulan ini, kenikmatan itu terasa semakin sempurna dengan dipertemukannya kembali kita dengan bulan suci Ramadhan yang penuh dengan berkah. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh baginda Nabi SAW:
إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ
“Apabila datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga dan seluruh pintu neraka ditutup, serta setan-setan pun dibelenggu.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Sebagai ummatnya, kita patut berbahagia dan bersyukur menyambut bulan ini dengan suka cita, serta dengan penuh ketekunan kita hendaknya mengisinya dengan berbagai bentuk ibadah dan ketaatan kepada-Nya. Kita tempuh jalan kebaikan menuju surga, dan kita jauhi jalan-jalan lain yang hanya akan mengantarkan kita ke dalam siksa neraka. Sungguh amat disayangkan apabila di bulan yang penuh rahmat dan ampunan-Nya ini kita tetap menempuh jalan yang akan menceburkan diri kita dalam kubangan kemaksiatan dan dosa. Padahal sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah di atas, jalan kebaikan itu pada bulan ini telah benar-benar sangat dimudahkan, pintu-pintu surga telah dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan pun dibelenggu.

Hadirin yang dirahmati Allah,
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya, diceritakan bahwa Rasulullah SAW suatu ketika menaiki mimbar. Ketika beliau menginjakkan kakinya pada anak tangga pertama beliau tiba-tiba mengucapkan “Aamin”, begitu pula ketika menginjak anak tangga kedua dan ketiga. Hingga usai shalat para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa Anda tiba-tiba mengucapkan “Aamin” hingga tiga kali berturut-turut saat menaiki mimbar?. Beliau lalu menjawab, “Sesungguhnya Jibril telah datang kepadaku dan berkata, “Sangatlah merugi orang yang apabila namamu disebut, dia tidak mengucapkan shalawat atasmu”. Lalu aku mengucapkan “Aamin.” Kemudian Jibril berkata lagi, “Sangatlah merugi orang yang masih berkesempatan hidup bersama orangtuanya tetapi tidak sampai menyebabkan dirinya masuk surga.” Lalu aku pun mengucapkan “Aamin”. Kemudian Jibril berkata lagi, “Sangatlah merugi orang yang mendapati bulan suci Ramadhan tetapi ia tidak terampuni dosa-dosanya.” Aku pun mengucapkan “Aamin.”

Maka, sungguh betapa sangat meruginya orang-orang sebagaimana yang dikatakan oleh Jibril di atas yang juga diaminkan oleh Rasulullah. Mereka adalah orang-orang yang tidak bisa memetik hikmah dan manfaat kebaikan dari setiap kesempatan emas yang nyata-nyata telah diberikan oleh Allah atas mereka. Semoga kita semua tidak termasuk orang-orang yang demikian. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Hadirin sekalian hadaniyallahu wa iyyakum,
Ibadah puasa yang kita lakukan secara hakiki dan sungguh-sungguh pada bulan Ramadhan ini, sesungguhnya dapat menjadi wasilah (perantara) kita meraih ampunan Allah SWT atas berbagai dosa dan kesalahan yang telah kita lakukan. Sebagaimana sabda Nabi SAW,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan ihtisab (yakni sikap introspeksi diri atas dosa dan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan), maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Nabi SAW juga bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ
“Bahwa shalat lima waktu yang setiap hari kita lakukan, juga shalat Jumat yang setiap minggu kita laksanakan, termasuk puasa Ramadhan yang setiap tahun kita tunaikan, adalah sarana untuk menghapus dosa-dosa kita.” (HR. Imam Muslim).

Sungguh, begitu banyak manfaat kebaikan yang dapat kita petik di sepanjang bulan suci ini. Apabila kita berharap agar dilipatgandakan pahala kebaikan kita dan diangkat derajat kita di sisi Allah, maka bulan ini merupakan momentum dan waktu yang sangat tepat untuk mewujudkan harapan tersebut, yakni melalui pelaksanaan ibadah puasa yang kita hayati secara sungguh-sungguh. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي
“Seluruh amal kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya. Setiap satu kebaikan akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali lipat. Hingga Allah berfirman, ‘Kecuali puasa, karena itu adalah urusan antara Aku dan hamba-Ku. Akulah yang akan langsung membalasnya. Lantaran mereka telah benar-benar meninggalkan keinginan syahwat dan makanananya semata-mata karena Aku.” (HR. Imam Muslim).

Demikian pula jika kita menginginkan menjadi penghuni surga yang senantiasa dianugerahi kenikmatan dan kebahagiaan, maka ibadah puasa Ramadhan ini merupakan salah satu amalan yang dapat mewujudkan keinginan kita tersebut. Pada saat haji wada’, Nabi SAW berkhutbah di hadapan orang-orang. Beliau bersabda,
صَلُّوا خَمْسَكُمْ، وَصُومُوا شَهْرَكُمْ، وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ، وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ
“Dirikanlah shalat lima waktu, berpuasalah di bulan Ramadhan, tunaikanlah zakat harta kalian, taatilah pemimpin-pemimpin kalian, maka kalian akan masuk ke dalam surga Tuhan kalian.”

Dalam hadits yang lain Nabi SAW juga bersabda,
إِنَّ فِي الجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang bernama “ar-Rayyan”. Pada hari kiamat, orang-orang yang berpuasa akan masuk (ke surga) melalu pintu itu. Tidak seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka... Apabila mereka semua telah masuk, maka pintu itu akan ditutup dan tidak ada lagi seorang pun yang bisa memasuki pintu itu.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Hadirin sidang Jum’at yang dimuliakan Allah,
Ibadah puasa juga akan membentengi diri kita dari panasnya api neraka. Nabi SAW dalam hal ini bersabda,
الصِّيَامُ جُنَّةٌ مِنَ النَّارِ، كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنَ الْقِتَالِ
“Puasa adalah tameng/perisai (yang melindungi) dari api neraka, sebagaimana tameng/perisai (yang membentengi seseorang) dari ancaman terbunuh di dalam peperangan.”

Selain itu, apabila kita berharap syafaat kelak pada hari kiamat, ketika seluruh umat manusia dikumpulkan di padang mahsyar, maka salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh syafaat tersebut adalah dengan berpuasa. Nabi SAW bersabda,
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ، مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ، وَيَقُولُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ، قَالَ: فَيُشَفَّعَانِ
“Puasa dan al-Quran adalah pemberi syafaat bagi seorang hamba pada hari kiamat. Puasa berkata, ‘Wahai Rabb, aku telah menghalanginya dari makan dan keinginan syahwatnya di siang hari, maka perkenankan aku memberi syafaat kepadanya’. Demikian pula al-Quran, ia berkata, ‘Aku telah menghalanginya untuk tidur di malam hari demi aku. Karena itu, perkenankan aku memberi syafaat kepadanya’. Rasulullah SAW bersabda, “Maka syafaat keduanya itu lalu diperkenankan oleh Allah.” (HR. Imam Ahmad, Hadits Hasan)

Kaum muslimin rahimakumullah,
Secara lebih jauh, makna dan hakikat puasa sesungguhnya tidak cukup sekedar meninggalkan makan, minum, dan hal-hal lainnya yang secara hukum fiqih dianggap membatalkan puasa. Karena orang yang berpuasa harus juga menahan seluruh anggota tubuhnya dari perbuatan-perbuatan tercela dan dosa. Lisannya tidak boleh berkata dusta, mengucapkan sesuatu yang kotor, menebarkan fitnah, memutar-balikan fakta, atau meyakinkan orang lain dengan berita yang mengada-ada demi kepentingannya. Perutnya juga harus dijaga dari segala jenis makanan dan minuman yang tidak halal. Demikian pula pikirannya, harus benar-benar dijaga dari prasangka-prasangka buruk (su’udzan), baik terhadap Allah maupun terhadap sesama. Termasuk dalam menyikapi berita apapun yang kita sendiri tidak mengetahui secara pasti akar persoalan dan kebenarannya, sebagaimana yang sering terjadi di masyarakat kita, kita tidak boleh langsung memvonis dan menghakimi secara sepihak tanpa melakukan upaya tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu secara langsung dengan pihak-pihak yang berkaitan. Hal ini penting agar tali silaturahmi dan persaudaraan tetap terjaga, dan perselisihan apalagi sikap permusuhan yang didorong oleh sikap ananiyah (egoisme) dapat dihindarkan. Tegasnya, puasa mengajarkan kita agar dapat mengendalikan diri kita dari segala bentuk hasrat dan dorongan hawa nafsu yang akan melemparkan kita pada derajat yang sangat rendah di sisi Allah SWT. Melalui ibadah puasa, kita benar-benar dilatih untuk menjaga sisi kemanusiaan kita yang paling fitri dan hakiki, agar terhindar dari sifat-sifat baha’imiyah (sifat hewan ternak, seperti rakus, tamak, dan serakah dalam mengejar orientasi dan kepentingan-kepentingan duniawi), juga sifat sabu’iyah (sifat binatang buas, yakni sifat untuk selalu merasa benar dan menang sendiri, meskipun dengan cara menindas dan mendzalimi orang lain), lebih-lebih sifat syaithoniyah yang senantiasa ingkar kepada Tuhannya.

Dalam hal ini Nabi SAW bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa yang berpuasa tetapi ia tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dosa/tercela, maka Allah sungguh tidak butuh puasa orang yang hanya meninggalkan makan dan minum.” (HR. Imam Bukhari)

Dalam hadits yang lain Nabi SAW juga bersabda,
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi hasil yang diperoleh dari ibadah puasanya hanya lapar dan dahaga, dan betapa banyak orang yang terjaga di malam hari namun tidak menghasilkan apa-apa selain hanya begadang tanpa makna” (HR. Ibnu Majah).

Kaum Muslimin yang dirahmati Allah,
Dengan demikian, sudah menjadi keharusan bagi kita untuk senantiasa menjaga segenap sikap dan prilaku kita selama bulan suci Ramadhan. Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang Allah sendiri tidak mempedulikan puasa kita, sehingga hasil dari puasa kita hanya sebatas rasa lapar dan dahaga. Na’udzu billah tsumma na’udzu billah.

Menutup uraian khutbah ini, kiranya perlu kita hayati bersama salah satu nasehat yang dikemukakan oleh Jabir bin Abdillah bin ‘Amr al-Anshari as-Salami RA (wafat 74 H), salah seorang sahabat Nabi dari kalangan Anshor, yang selama hidupnya pernah meriwayatkan tak kurang dari 1540 hadits Nabi. Beliau menyatakan: “Apabila engkau berpuasa, maka puasakan juga pendengaranmu, penglihatanmu, lisanmu, dari hal-hal yang haram. Jangan menyakiti tetangga. Jangan melukai perasaan orang lain. Jadilah orang yang lemah lembut dan tenang pada saat engkau berpuasa. Jangan jadikan saat-saat puasamu dan saat-saat kamu tidak puasa menjadi dua hal yang tidak ada bedanya.” Demikian khutbah ini, semoga bermanfaat.
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ ذِيْ الفَضْلِ وَالْإِنْعَامِ، فَضَّلَ شَهْرَ رَمَضَانَ عَلَى غَيْرِهِ مِنْ شُهُوْرِ العَامِ، وخَصَّهُ بِمَزِيْدٍ مِنَ الفَضْلِ وَالكَرَمِ وَالْإِنْعَامِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، فِي رُبُوْبِيَّتِهِ وَأُلُوْهِيَّتِهِ, وَأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ, كَمَا قَالَهُ تَعَالَى (تَبَارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ)، وَأَشْهَدُ أَنَّ محمداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ البَرَرَةِ الكِرَامِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْرًا, أَمَّا بَعْدُ: فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ, اِتَّقُوا اللهََ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
نَسْأَلُ اللهَ تعالى أَنْ يَرْزُقَنَا وَإِيَّاكُمْ خَشْيَتَهُ فِي الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، وَأَنْ يَجْعَلَنَا وَإِيَّاكُمْ مِنْ عِبَادِهِ المُتَّقِيْنَ, وَأَنْ يَهْدِيَنَا جَمِيْعاً سَوَاءَ السَّبِيْلِ، وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا – رَحِمَكُمُ اللهُ – عَلَى سيدنا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ, كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ الكريم: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً﴾ (الأحزاب: ٥٦). اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الأَئِمَّةِ المَهْدِيِّيْنَ: أَبِيْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ، وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِي الحَسَنَيْنِ عَلِي، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَِّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ الْمُخْلِِصِيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ ودَمِّرْ أَعْدَآئَنَا وَأَعْدَآءَ الدِّيْنِ وأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلاََءَ وَالْوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ الْفِتْنَةِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنا إِنْدُوْنِيْسِيَا خَآصَّةً وَعَنْ سَائِرِ الْبُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَآمَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَ أَمْرِنَا لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى وَأَعِنْهُ عَلَى البِرِّ وَالتَقْوَى وَسَدِّدْهُ فِي أَقْوَالِهِ وَأَعْمَالِهِ يَا ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أَمْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعِ سُنَّة نَبِيِّكَ صلى الله عليه وسلم، وَاجْعَلْهُمْ رَأْفَةً عَلَى عِبَادِكَ المُؤْمِنِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ, إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ! إِنََّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ, وَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكم, وَلَذِكرُ اللهِ أَكْبَرُ, وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.

Jumat, 02 Mei 2014

Khutbah Jum'at: "Moral Ideal Seorang Pemimpin"



Naskah Khutbah Jum’at: 
“MORAL IDEAL SEORANG PEMIMPIN”
Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
(Disampaikan di Masjid Jami’ Al-Ikhlash Dukuhjeruk Kec. Karangampel Kab. Indramayu, 02 Mei 2014)

Khutbah Pertama:
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ خَلَقَ الْخَلْقَ وَقَدَّرَ الأَشْيَاءَ، وَاصْطَفَى مِنْ عِبَادِهِ الرُّسُلَ وَالأَنْبِيَاءَ، بِهِمْ نَقْتَدِي وَبِهُدَاهُمْ نَهْتَدِي، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا هُوَ لَهُ أَهْلٌ مِنَ الحَمْدِ وَأُثْنِي عَلَيْهِ، وَأُومِنُ بِهِ وَأَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ، أَنْزَلَ عَلَيْهِ رَبُّهُ الْقُرْآنَ الْمُبِيْنَ, هُدًى وَنُوْرًا لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَجَعَلَ رِسَالَتَهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ, وَآلِ كُلٍّ وَالصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ, فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.

Hadirin sidang Jum’at rahimakumulllah,
Beberapa minggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 9 April 2014, segenap rakyat dan bangsa Indonesia telah melaksanakan suksesi Pemilihan Umum untuk memilih para wakil rakyat (anggota legislatif) yang akan duduk di Parlemen, baik di tingkat Pusat, Propinsi, maupun di tingkat Kabupaten/Kota Madya, termasuk memilih mereka yang akan menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili daerahnya masing-masing. Setelah itu, beberapa minggu ke depan, insya Allah pada tanggal 9 Juli 2014, kita akan kembali melaksanakan suksesi kepemimpinan nasional untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 5 tahun mendatang. Tentunya menjadi harapan kita bersama, bahwa siapapun yang terpilih, entah di wilayah legislatif maupun eksekutif, termasuk juga yudikatif; baik di tingkat Pusat maupun di Daerah, adalah orang yang benar-benar amanah dan memiliki jiwa sebagai negarawan, bukan hanya sekedar politisi. Karena antara negarawan dan politisi adalah 2 hal yang berbeda. Sebagaimana dikemukakan oleh James Freeman Clarke (1810-1888), penulis dan pakar teologi asal Amerika, bahwa seorang negarawan lebih berpikir tentang bagaimana nasib generasi mendatang, sementara politisi hanya berpikir bagaimana memenangkan pemilu yang akan datang. Di atas itu semua, hal yang sesungguhnya paling penting adalah, semoga pemilu demi pemilu yang telah dan akan selalu kita laksanakan, jangan sampai menjadi pemicu perpecahan dan rusaknya tatanan persatuan dan persaudaraan di tengah-tengah masyarakat. Seperti diungkapkan oleh KH. Mustofa Bisri/Gus Mus (Rois ‘Am Syuriyah PBNU) beberapa minggu lalu dalam nasehatnya kepada Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), bahwa kita harus lebih berpikir tentang pentingnya jam’iyah (kebersamaan/persatuan) ketimbang hanya memikirkan kepentingan jama’ah (kelompok).      

Kaum Muslimin yang berbahagia,
Diskursus atau wacana pemikiran seputar pemimpin dan kepemimpinan di era modern, sejak penghujung abad yang lalu hingga sekarang telah banyak mencuat kembali ke permukaan. Sedikitnya hal ini disebabkan oleh 2 (dua) faktor. Pertama, banyak pemimpin dalam berbagai bidang dan tingkatan terlibat masalah pelanggaran moral. Kedua, sebagaimana dikemukakan banyak orang, mungkin karena usia dunia kita yang semakin menua, sehingga seolah-olah tak kuasa lagi melahirkan pemimpin-pemimpin besar (great leader) dan berintegritas seperti pada masa-masa silam. Kenyataan ini juga pernah dikritisi oleh Jeremie Kubicek, seorang pakar teori kepemimpinan dari London, Inggris, melalui bukunya yang kontroversial (2011), berjudul: “Leadership is Dead” (Kepemimpinan Telah Mati). Ia nyatakan dalam bukunya tersebut, bahwa pemimpin sekarang lebih banyak menuntut (getting), bukan memberi (giving); lebih banyak menikmati, ketimbang melayani; dan lebih banyak mengumbar janji, dari pada memberi bukti. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan makna dan hakikat kepemimpinan itu sendiri, sebagaimana diterangkan oleh Syaikh al-Khathib al-Baghdadiy dalam kitabnya “Tarikhu Baghdad” (10/187): bahwa diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, Nabi SAW pernah bersabda:
سَيِّدُ الْقَوْمِ خَادِمُهُمْ
“Seorang pemimpin adalah “pelayan” bagi masyarakat atau orang yang dipimpinnya.” (Penjelasan serupa juga diterangkan dalam kitab “Syarh az-Zarqani” dan kitab “al-Mawahib al-Laddunniyyah” karya al-Qasthalaniy, dengan keterangan bahwa kualitas sanad hadits tersebut adalah dha’if/lemah).

Hadirin sekalian hadaniyallahu wa iyyakum,
Secara lebih jauh, dalam kajian al-Fiqh as-Siyasi (Fiqih Politik Islam), aspek moral yang seharusnya menjadi dasar sekaligus tujuan dari setiap kebijakan dan tindakan seorang pemimpin adalah “kemaslahatan masyarakat”. Sebagaimana dinyatakan dalam salah satu kaidah kulliyyah (norma hukum universal):
تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
(bahwa tindakan atau kebijakan pemimpin atas rakyatnya, terikat oleh kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya). Tegasnya, setiap prilaku dan kebijakan pemimpin wajib diorientasikan untuk kemashlahatan bangsa dan masyarakat, bukan kemashlahatan diri dan kelompoknya semata.
Senada dengan makna kaidah di atas, Imam as-Syafi’i rahimahullahu ta’ala juga menyatakan (dalam Dr. Dhiyauddin al-Husaini, Majalah ar-Ra-id, 01/06/2013):
‏مَنْـزِلَةُ الإِمَامِ مِنَ الرَّعِيَّةِ مَنْـزِلَةُ الْوَلِيِّ مِنَ الْيَتِيْمِ.
“Posisi (tanggungjawab) seorang pemimpin atas rakyatnya adalah sebagaimana posisi (tanggungjawab) orang yang diberi amanat memelihara anak-anak yatim”.

Hadirin sidang Jum’at yang dimuliakan Allah,
Kaidah di atas sesungguhnya diturunkan dari moral kepemimpinan Rasulullah SAW sebagaimana disebutkan dalam al-Quran. Firman Allah SWT dalam QS. at-Taubah [9]: 128 menyatakan:
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُوْلٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ
“Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian sendiri; begitu berat dirasakan olehnya penderitaan kalian; ia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian; dan ia amat mengasihi dan menyayangi orang-orang mukmin.”

Berdasarkan ayat di atas, ada 3 sikap moral kepemimpinan Rasulullah SAW yang perlu dicermati dan diteladani oleh setiap pemimpin. Pertama, ‘azizun alaihi ma ‘anittum (artinya, amat berat dirasakan oleh Nabi apa yang menjadi beban penderitaan umat yang dipimpinnya). Dalam istilah modern, sikap ini disebut sense of crisis, yaitu rasa peka atas kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung. Secara kejiwaan, empati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Rasa empati pada gilirannya akan mendorong lahirnya sikap simpati, yaitu ketulusan memberi bantuan, baik moral maupun material, untuk meringankan penderitaan orang yang mengalami kesulitan.
Kedua, harishun `alaikum (artinya, Nabi sangat mendambakan agar umat yang dipimpinnya aman dan sentosa). Dalam istilah modern, sikap ini disebut sense of achievement, yaitu semangat dan perjuangan yang sungguh-sungguh, agar seluruh masyarakat yang dipimpinannya dapat meraih kemajuan dan kemakmuran.
Ketiga, raufun rahim (artinya, sikap mengasihi dan menyayangi). Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Demikian pula Rasulullah SAW, juga merupakan manusia yang sangat pengasih dan penyayang. Maka sudah seharusnya bagi setiap mukmin, terutama mereka yang dipercaya menjadi pemimpin, meneruskan kasih sayang Allah dan Rasul-Nya itu dengan cara mencintai dan mengasihi orang lain, khususnya masyarakat yang dipimpinnya. Karena kasih sayang (rahmat) adalah pangkal dari segala kebaikan. Tanpa kasih sayang, sangat sulit dibayangkan seseorang bisa berbuat baik. Dalam hal ini, Imam al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-Turmudzi, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam at-Turmudzi, seorang ulama besar ahli hadits, murid dari Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, di dalam kitab kumpulan haditsnya yang berjudul Sunan at-Turmudzi, ia meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah ibnu Umar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
... إِرْحَمُوْا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَآءِ ...
Kasih sayangilah orang-orang yang di bumi, maka yang di langit akan mengasihimu”.

Kaum Muslimin yang dirahmati Allah,
Seorang mujaddid (ulama pembaharu) abad modern, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha (penulis kitab tafsir al-Manar, murid dari Syaikh Muhammad Abduh, sekaligus pengembang pemikiran Syaikh Jamaluddin al-Afghani yang sangat terkenal dengan pertanyaannya yang monumental: “limaadza ta-akhara al-muslimuun wa taqaddama ghairuhum” (mengapa kaum muslim begitu terbelakang, sedangkan umat lain sedemikian maju?), ia menegaskan: bahwa ketiga sikap moral di atas WAJIB hukumnya bagi seorang pemimpin. Karena tanpa ketiga sikap moral tersebut, seorang pemimpin bisa dipastikan tidak akan bekerja untuk kepentingan rakyatnya, melainkan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, keluarga, dan kelompoknya semata. Semoga Allah SWT menganugerahkan kepada kita para pemimpin yang amanah, yang betul-betul memahami hakikat tugas dan kewajibannnya sebagai khaadimul ummah (pelayan masyarakat), dan mereka tentunya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT kelak di akhirat. Amin Yaa Rabbal ‘Alamin. [ ]
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ, )إِنَّا عَرَضْنَا الأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَالْجِبَالِ, فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإِنْسَانُ, إِنَّهُ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلاً(.
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, semuanya enggan untuk memikul amanat itu lantaran mereka khawatir akan berbuat khianat, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat dzalim lagi bodoh”. (QS. al-Ahzab [33] : 72).

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ للهِ عَلَى إِحْسَانِهِ, وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ وَامْتِنَانِهِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنََّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إِلَى رِضْوَانِهِ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ, وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ, فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ, اِتَّقُوا اللهََ حَقَّ تُقَاتِهِ, وَاعْلَمُوْا أَنََّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ, وَقَالَ تَعَالَى إِنََّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَنْبِيَآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَتِكَ الْمُقَرَّبِيْنَ, وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ, وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ, إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَِّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ الْمُخْلِِصِيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ ودَمِّرْ أَعْدَآئَنَا وَأَعْدَآءَ الدِّيْنِ وأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلاََءَ وَالْوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ الْفِتْنَةِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنا إِنْدُوْنِيْسِيَا خَآصَّةً وَعَنْ سَائِرِ الْبُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَآمَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ! إِنََّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ, وَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكم, وَلَذِكرُ اللهِ أَكْبَرُ, وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.