Selasa, 27 Januari 2015

Khutbah Jum'at: "Seputar Tradisi Perayaan Maulid Nabi"



Naskah Khutbah Jum’at:
SEPUTAR TRADISI PERAYAAN MAULID NABI
Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
(Ketua Lajnah Ta’lief wan Nasyr (LTN) PCNU Kab. Indramayu)
(Disampaikan di Masjid Jami’ Al-Ikhlash Dukuhjeruk Kec. Karangampel Kab. Indramayu,
Tanggal 16 Januari 2015 M/25 Rabi’ul Awwal 1436 H.)


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Khutbah Pertama:

الحمد لله الذي منّ علينا برسوله الكريم, وهدانا به إلى الدين القويم والصراط المستقيم, وأمرنا بتوقيره وتعظيمه وتكريمه, وفرض على كلّ مؤمن أن يكون أحبَّ إليه من نفسه وأولاده وخليله, وجعل محبّتَه سببا لمحبّته وتفضيله, أشهد أن لا إله إلاّ اللهُ الرؤوفُ الرحيم, وأشهد أنّ محمّدا عبده ورسوله ذو الجاه العظيم, صلّى الله وسلَّم عليه وعلى سائر المرسلين, وآل كلٍّ والصحابة والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين. أمّا بعد, فيا أيّها الحاضرون, اتّقوا اللهَ حقَّ تُقاته, ولا تموتنّ إلاّ وأنتم مسلمون.

Hadirin Sidang Jum’at yang dirahmati Allah,
Tanpa terasa, hari ini, Jum’at 16 Januari 2015 M, kita telah berada di minggu terakhir bulan Rabi’ul Awal, atau yang sering kita sebut bulan Maulid atau Maulud (orang Barat menyebutnya Mevlud). Bulan ini merupakan bulan yang sangat bersejarah dan memiliki arti penting bagi umat Islam di seluruh dunia. Karena pada bulan inilah, hampir 1500-an tahun yang lalu, seorang manusia sekaligus makhluk Allah yang paling mulia dilahirkan ke dunia, yakni Nabiyullah Muhammad SAW. Dan sebagaimana sudah kita maklumi bersama, hampir di sudut mana pun umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia, momentum hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh tepatnya pada tanggal 12 Rabi’ul Awal itu, merupakan a great tradition atau tradisi luhur yang setiap tahun senantiasa dilaksanakan. Memperingati maulid Nabi tersebut pada hakikatnya bukanlah perbuatan “terlarang” atau bid’ah seperti yang dipahami oleh sebagian kalangan yang memahami arti “bid’ah” secara dangkal dan serampangan. Karena, sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam al-Hafidz Jalaludin as-Suyuthi, seorang ulama besar bermadzhab Syafi’i yang mendapat julukan “ibnu al-kutub” lantaran selama hidupnya ia menulis tak kurang dari 500 buah kitab, di antaranya kitab Tafsir Jalalain yang hingga saat ini masih banyak dipelajari. Imam As-Suyuthi adalah seorang ulama multidisiplin ilmu yang hidup pada abad 10 H dan merupakan orang yang paling alim di zamannya di bidang ilmu hadits dan berbagai cabangnya, serta menghapal tak kurang dari 200 ribu hadis. Terkait peringatan maulid Nabi ini, beliau menjelaskan: bahwa mengadakan peringatan maulid Nabi pada hakikatnya merupakan satu bentuk kecintaan kita kepada Rasulullah SAW, sekaligus wujud kegembiraan dan rasa syukur kita atas kelahirannya, sebab, kelahiran Rasulullah di muka bumi ini adalah rahmat bagi semesta. Bahkan, di dalam sebuah hadits qudsi dinyatakan, Allah SWT berfirman: “laulaaka ya Muhammad, maa khalaqtul aflak” (andaikan tidak karenamu wahai Muhammad, maka tidak akan aku ciptakan alam semesta).

Hadirin sekalian yang dirahmati Allah,
Selain penjelasan yang dikemukakan al-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi di atas, masih banyak penjelasan lain terkait perayaan maulid Nabi yang dikemukakan oleh ulama salafus shalih yang tak diragukan lagi keshalihan dan kedalaman ilmunya, di antaranya: Syaikh Tajuddin Umar ibnu Ali al-Lakhami as-Sakandari atau yang lebih dikenal dengan nama Imam al-Fakihani, seorang ulama bermadzhab Malikiy, dalam kitabnya “al-Maurid fi al-Kalam ‘ala al-Maulid”; kemudian Syaikh Ibnu al-Hajj al-Fa’siy dalam kitabnya “Hasyiyah Mayyarah”; lalu Syaikh Abu Abdillah ibn al-Hajj al-Malikiy dalam kitabnya “al-Madkhal”; termasuk kitab “at-Tanbihat al-Wajibat” yang ditulis oleh Hadhratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari. Bahkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang pemikiran-pemikirannya sering dijadikan rujukan oleh kelompok Salafi-Wahabi yang kerap membid’ahkan peringatan maulid Nabi, di dalam kitabnya yang berjudul Iqtida’ as-Shirath al-Mustaqim, beliau secara jelas menyatakan:
فتعظيم المولد واتّخاذه مُوسِمًا قد يفعله بعضُ الناس يكون له فيه أجرٌ عظيمٌ لِحُسن قَصدِه وتعظيمِه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلَّم...     
Bahwa mengagungkan maulid Nabi dan menjadikannya sebagai satu tradisi yang dilakukan oleh sekelompok orang, di dalamnya terdapat pahala yang amat besar lantaran kemuliaan tujuannya dalam rangka mengagungkan Rasulullah SAW.

Hadirin sekalian hadaniyallahu wa iyyakum,
Terkait sejarah perayaan maulid Nabi, cukup menarik apa yang pernah dipidatokan oleh Presiden Soekarno puluhan tahun silam pada acara Peringatan Maulid Nabi di Stadion Bung Karno, tanggal 6 Agustus 1963 (pidato ini didokumentasikan oleh lembaga Sekreterariat Negara, No. 618 tahun 1963). Dalam pidatonya tersebut Bung Karno bercerita: “Suatu sore saya pernah diajak oleh Presiden Suriah Sukri al-Kuwatly mengunjungi makam Sultan Salahuddin al-Ayyubi. Presiden Kuwatly lalu bertanya kepada saya, ‘apakah Anda mengetahui siapa orang yang dimakamkan di sini?’. Saya menjawab, ‘of course i know, this is Salahuddin al-Ayyubi, the great warrior’ (iya, tentu saya tahu, ini adalah Salahuddin al-Ayyubi, seorang pahlawan besar). Presiden Kuwatly berkata, ‘tetapi ada satu jasa Salahuddin al-Ayyubi yang barangkali Anda belum mengetahui’. Saya bertanya, ‘what is that’, apa itu?, Presiden Kuwatly menjawab, ‘Salahuddin al-Ayyubi inilah orang yang mengobarkan api semangat Islam, api perjuangan Islam, dengan cara memerintahkan kepada umat Islam di seluruh penjuru dunia supaya setiap tahun mengadakan perayaan maulid Nabi’.

Hadirin rahimakumullah,
Sebagaimana diungkapkan di atas, peringatan maulid Nabi ini untuk pertama kali digelar adalah atas prakarsa Sultan Salahuddin al-Ayyubi dari Dinasti Ayyubiyah, atau yang dalam banyak literatur di Barat dikenal dengan nama “Saladin”. Prakarsa ini atas usulan Sultan Mudzaffar yang merupakan saudara iparnya yang memerintah di wilayah Irbil, Suriah Utara. Sultan Salahuddin al-Ayyubi adalah seorang pemimpin sekaligus panglima perang yang memimpin sejak tahun 1174-1193 M atau tahun 570-590 H, pusat pemerintahannya berada di Kairo Mesir, dan wilayah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Pada masa itu, dunia Islam tengah banyak mendapat serangan bertubi-tubi dari berbagai bangsa Eropa, seperti Prancis, Inggris, dan Jerman. Peristiwa inilah yang dalam sejarah dikenal dengan nama “Perang Salib” atau The Cruisade. Di mana, pada tahun 1099 M pasukan Eropa berhasil merebut Yerussalem dan mengubah Masjid al-Aqsha menjadi gereja. Kondisi ini membuat umat Islam kehilangan ghirah perjuangan, di samping karena faktor perpecahan internal umat Islam sendiri dengan munculnya banyak kerajaan kecil, meskipun secara simbolis masih berada di bawah satu kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad.

Hadirin yang dimuliakan Allah,
Prakarsa Salahuddin al-Ayyubi ini mendapat respons positif dan dukungan dari Khalifah an-Nashir di Baghdad, hingga pada musim haji tahun 579 H/1183 M, Sultan Salahuddin al-Ayyubi sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci, Makkah dan Madinah) untuk pertama kalinya mengeluarkan instruksi kepada seluruh jama’ah haji, agar jika mereka kembali ke kampung halamannya masing-masing segera mengumumkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 H/1184 M setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, hendaknya dirayakan peringatan maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang dapat membangkitkan semangat umat Islam. Salahuddin al-Ayyubi sendiri, pada acara peringatan maulid Nabi yang pertama kali digelar pada tahun 580 H/1184 M, menyelenggarakan musabaqah atau sayembara penulisan sirah nabawiyyah atau riwayat hidup Nabi disertai pujian-pujiannya dengan bahasa seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut, hingga mencuatlah nama Syaikh al-Imam Ja’far al-Barzanji sebagai pemenang dengan karya monumentalnya “Kitab Maulid Nabi al-Barzanji”. Kitab tersebut hingga sekarang masih terus dibaca di berbagai pelosok negeri umat Muslim, dan alhamdulillah termasuk di negeri dan desa yang kita cintai ini.

Hadirin sekalian hadaniyallahu wa iyyakum,
Apa yang diprakarsai oleh Salahuddin al-Ayyubi dalam membangkitkan kembali semangat perjuangan umat Islam melalui peringatan maulid Nabi, ternyata membuahkan hasil yang positif. Karena 3 tahun setelahnya, yakni pada tahun 1187 M/583 H, Salahuddin al-Ayyubi berhasil menghimpun kekuatan yang sangat solid sehingga Yerussalem dapat direbut kembali dari tangan bangsa Eropa, dan Masjid al-Aqsha yang semula diubah oleh bangsa Eropa menjadi gereja akhirnya dapat difungsikan kembali sebagai masjid yang sangat dimuliakan oleh seluruh umat Islam di dunia, hingga hari ini. Sungguh, ini semua tak lepas dari berkah dan manfaat perayaan maulid Nabi yang telah diprakarsai dan terus digelorakan oleh Salahuddin al-Ayyubi, semoga Allah senantiasa merahmatinya.

Hadirin rahimakumullah,
Adapun di wilayah nusantara yang kita cintai ini, perayaan maulid Nabi sebagaimana dilakukan oleh Salahuddin al-Ayyubi di atas, juga telah berlangsung sejak lama. Bahkan, momentum maulid Nabi ini dimanfaatkan oleh ulama penyebar Islam “Wali Songo” sebagai sarana dakwah yang dikemas dengan berbagai acara yang dapat menarik minat masyarakat menyatakan 2 kalimat syahadat (syahadatain) sebagai pertanda masuk Islam. Itulah sebabnya perayaan maulid Nabi ini sering diidentikkan dengan “Syahadatain”, atau yang dalam lidah orang Jawa disebut “Sekaten”. Tidak hanya berhenti sampai di situ, dua kalimat syahadat itu, oleh Raden Sa’id atau Sunan Kalijaga, disimbolkan dengan 2 buah gamelan yang diciptakan sendiri oleh beliau dan diberi nama “Kiai Nogowilogo” dan “Kiai Guntur Madu”, yang ditabuh di halaman masjid Demak pada saat perayaan maulid Nabi berlangsung. Sebelum kedua gamelan tersebut ditabuh atau dimainkan oleh Sunan Kalijaga, orang-orang yang baru masuk Islam melalui pernyataan “syahadatain” tadi, terlebih dahulu harus melewati pintu “pengampunan” terlebih dahulu yang disebut dengan “Ghafura” (yang berarti Allah yang Maha Pengampun), dan kemudian kata "ghafura" ini dalam lidah orang Jawa disebut dengan “gapura”.

Hadirin yang dimuliakan Allah,
Setelah periode Wali Songo dan Kesultanan Demak selesai, dilanjutkan dengan periode Kesultanan Mataram. Pada masa Kesultanan Mataram, tradisi perayaan maulid Nabi ini pun masih terus dilestarikan. Pada masa itu muncul istilah “grebeg mulud”. Kata “grebeg” artinya “mengikuti”, yakni mengikuti Sultan dan para ulama keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan maulid Nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan lain-lain.
         
Hadirin sekalian hadaniyallahu wa iyyakum,
Di atas semua uraian tersebut, hal yang sesungguhnya paling penting dan paling utama untuk kita pahami adalah, perayaan demi perayaan maulid Nabi yang setiap tahun kita laksanakan, hendaknya diikuti pula dengan peningkatan kualitas kecintaan kita kepada Rasulullah SAW secara nyata, dengan cara meneladani akhlak dan prilaku Nabi serta mengikuti seluruh ajarannya, termasuk juga patuh dan berpedoman kepada petunjuk para ulama selaku pewaris perjuangan Nabi hingga akhir zaman. Hal ini agar perayaan maulid Nabi yang setiap tahun kita laksanakan, tidak hanya berhenti pada kegiatan seremonial belaka, akan tetapi memiliki atsar atau pengaruh positif bagi perbaikan diri, keluarga, dan masyarakat kita dalam upaya meningkatkan iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Demikian uraian khutbah yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat khususnya bagi pribadi khathib dan umumnya bagi seluruh jama’ah sekalian.
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم, لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو اللهَ واليومَ الآخِرَ وذَكَرَ اللهَ كثيرا. بارك اللهُ لي ولكم في القرآن العظيم, ونفعني وإيّاكم بما فيه مِن الآيات والذكر الحكيم, وتقبّل منّي ومنكم تِلاوَتَه إنّه هو السميع العليم. وقل ربّ اغفر وارحم وأنت خير الراحمين.



Khutbah Kedua:
الحمد لله على إحسانه, والشكر له على توفيقه وامتنانه. أشهد أن لا إله إلاَّ الله وحده لا شريك له, وأشهد أنَّ سيدنا محمدا عبده ورسوله الدّاعى إلى رضوانه. اللهمّ صلّ على سيدنا محمد, وعلى آله وأصحابه وسلِّم تسليما كثيرا. أمّا بعد, فيا أيها الناس, اتّقوا الله فيما أمر وانتهوا عمّا نَهَاكم. واعلموا أنَّ الله أمَركم بأمرٍ بدأ فيه بنفسه وثـنّى بملآئكته بقدسه, وقال تعالى إنَّ الله وملآئكته يصلّون على النبى يآأيها الذين آمنوا صلّوا عليه وسلّموا تسليما. اللهمّ صلّ على سيدنا محمد وعلى أنبيآئك ورسلك وملآئكتك المقرّبين, وارضَ اللهمّ عن الخلفاء الراشدين أبي بكر وعمر وعثمان وعليّ وعن بقيّة الصحابة والتابعين وتابعي التابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين, وارض عنّا معهم برحمتك ياأرحم الراحمين.
اللهمّ اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحيآء منهم والأموات, إنّك سميع قريب مجيبُ الدعوات. اللهمّ أعزّ الإسلام والمسلمين وَأَذِلَِّ الشّركَ والمشركين وانصر عبادَك الْمُوَحِّدِين المخلِصين واخذُل مَن خذَل المسلمين ودَمِّرْ أعدآئَنا وأعدآءَ الدّين وأَعْلِ كلماتِك إلى يوم الدين. اللهمّ ادفع عنّا البلاءَ والوَباءَ والزَّلازِلَ والْمِحَنَ وسوءَ الفتنة ما ظهر منها وما بطن عن بَلَدِنا إندونيسيا خآصةً وعن سائرِ البُلدانِ المسلمين عآمة يَا ربّ العالمين. ربّنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار. عبادَ الله! إنَّ الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتآء ذي القربى وينهى عن الفحشآء والمنكر والبغي يعظكم لعلّكم تذكّرون, واذكروا الله العظيم يَذْكُرْكُمْ واشكروه على نِعَمِهِ يَزِدْكم واسئلوه من فضله يُعْطِكم, وَلَذِكرُ اللهِ أكبر.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Senin, 26 Januari 2015

Khutbah Jum'at: "Memaknai Hijrah"


Naskah Khutbah Jum’at:
“MEMAKNAI HIJRAH”
Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I. 
 (Disampaikan di Masjid al-Ikhlash Desa Dukuhjeruk Kec. Karangampel Kab. Indramayu,
Jum’at, 22 September 2017 M / 2 Muharram 1439 H)

Khutbah Pertama:
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الأزْمَانِ وَالآنَاءِ، فَلاَ ابْتِدَاءَ لِوُجُوْدِهِ وَلاَ انْتِهَاءَ، يَسْتَوِيْ بِعِلْمِهِ السِّرُّ وَالْخَفَاءُ، القَائِلِ: وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْكَبِيْرُ المُتَعَالِ، المُنَزَّهُ عَنِ الشَّبِيْهِ وَالْمِثَالِ، الَّذِيْ يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ كُلُّ شَيْءٍ فِي الْغُدُوِّ وَالآصَالِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ حَذَّرَنَا مِنْ دَارِ الفُتُوْنِ، المُنَزَّلُ عَلَيْهِ: إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُوْنَ. اللَّهُمَّ فصَلِّ وسلّم عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَاتَمِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِ الطَّيِّبِيْنَ وَأَصْحَابِهِ الأَخْيَارِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
Hadirin sidang Jum’ah yang semoga dirahmati Allah,

Mengawali khutbah siang hari ini, marilah kita memanjatkan puji dan rasa syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya yang sedetik pun tak pernah berhenti kita rasakan. Kebaikan dan kasih sayang-Nya senantiasa mengalir kepada kita, mengiringi tiap hembusan nafas dan langkah kaki kita menapaki kehidupan. Dan setiap saat, nikmat itu terus bertambah, nikmat yang satu, yang kadang belum sempat kita syukuri, sudah disusul dengan nikmat lainnya tanpa mungkin bisa kita hitung jumlahnya. Sebagaimana firman-Nya: “wa in ta’udduu ni’mata L-laahi laa tuhshuuhaa” (seandainya kalian diminta untuk menghitung berapa banyak jumlah nikmat Allah itu, niscaya kalian tidak akan pernah sanggup menghitungnya). Dan sebagai wujud rasa syukur itu, marilah kita terus berupaya meningkatkan kualitas taqwa kita kepada Allah SWT, dengan cara imtitsaalu awaamirillahi wa(i)jtinaabu nawaahihi (mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya). Terkait sikap taqwa ini, Sayyiduna Ali bin Abi Thalib KW pernah menyatakan bahwa salah satu ciri prilaku taqwa adalah:
الخوف من الجليل ، والعمل بالتنزيل ، والرضا بالقليل ، والاستعداد ليوم الرحيل
(Takut akan siksa dan kemurkaan Dzat Yang Maha Mulia (Allah SWT), mengamalkan ajaran atau perintah yang telah diturunkan oleh Allah, ridho atau nrimo atas segala anugerah Allah meskipun sedikit, dan mempersiapkan diri dengan amal sholeh untuk menghadapi saat hari kematian tiba).    

Tak lupa, shalawat dan salam semoga tetap tersampaikan kepada junjungan alam, baginda Nabi Agung Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya, serta seluruh pengikutnya, termasuk kita semua selaku ummatnya.

Kaum muslimin rahimakumullah,

Alhamdulillah, hari ini kita telah memasuki bulan Muharram 1439 H. Artinya, saat ini kita telah memasuki tahun baru dalam sistem kalender Islam, yang biasa kita sebut dengan istilah tahun baru hijriyah. Perhitungan tahun hijriyah ini dimulai dari hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah. Dan melalui mimbar Jum’at ini, Khathib ingin sedikit mengingatkan kembali peristiwa yang amat penting dalam sejarah Islam tersebut, sembari menyelami lebih jauh hakikat dan hikmah-hikmah yang bisa kita petik di dalamnya.

Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,

Sejarah telah mencatat, bahwa orang pertama yang meresmikan hijrah Nabi sebagai tonggak awal dalam sistem kalender Islam adalah Umar bin Khattab RA, yakni ketika beliau menjabat sebagai Khalifah ke-2 menggantikan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq RA. Peristiwa ini terjadi tepatnya pada 17 tahun setelah Nabi Hijrah. Sungguh pun demikian, Sayidina Umar bukanlah orang yang memaksakan pendapatnya pribadi dalam menentukan kalender hijriyah. Beliau adalah orang yang selalu bermusyawarah terlebih dahulu dengan para sahabat Nabi yang lain setiap menyikapi problematika umat, termasuk dalam merumuskan sistem kalender Islam. Karenanya, beberapa pendapat saat itu sempat bermunculan. Ada yang berpendapat, bahwa sistem penanggalan Islam sebaiknya berpijak pada tahun kelahiran Rasulullah. Ada juga yang mengusulkan, bahwa tahun diangkatnya Rasulullah sebagai utusan Allah adalah waktu yang paling tepat dalam menentukan awal kalender Islam. Bahkan, ada pula yang berpendapat agar tahun wafatnya Rasulullah yang dijadikan titik awal perhitungan penanggalan hijriyah. Dari beberapa usulan tersebut, Sayidina Umar akhirnya lebih condong kepada pendapat Sayidina Ali bin Abi Thalib, yang mengusulkan peristiwa hijrah Nabi sebagai tonggak sejarah paling penting dalam Islam, dibanding peristiwa lainnya. Dengan alasan, karena hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah merupakan simbol pembatas antara yang hak dan yang batil. Peristiwa ini (yakni, awal penentuan kalender Islam) terjadi pada tanggal 1 Muharam, bertepatan dengan hari Jum’at, tanggal 16 Juli 622 M.

Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah,

Jika kita mengulas sejarah, ada hal yang unik dalam sistem kalender hijriyah. Karena dalam catatan sejarah, peristiwa hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah sesungguhnya terjadi pada bulan Rabiul Awal, bukan pada bulan Muharram. Lalu mengapa justeru bulan Muharram yang dijadikan sebagai tonggak pertama bagi awal penanggalan Islam?.

Kaum muslimin yang berbahagia,

Dalam kitab-kitab Tarikh atau sejarah Islam, banyak dijelaskan bahwa Nabi bertolak dari Mekkah menuju Madinah terjadi pada hari Kamis terakhir di bulan Shafar, dan keluar dari tempat persembunyiannya di Goa Tsur pada awal bulan Rabiul Awal, bertepatan dengan hari Senin tanggal 13 September 622. Namun demikian, Sayidina Umar dan sahabat-sahabat Nabi yang lain saat merumuskan sistem kalender Islam, lebih memilih bulan Muharram sebagai awal tahun hijriyah. Ini karena, di bulan Muharram-lah sesungguhnya Nabi pertama kali memiliki ’azam (rencana) untuk berhijrah. Mengingat pada bulan Muharram itu Rasulullah telah selesai dari seluruh rangkaian kegiatan ibadah haji, juga karena bulan Muharram termasuk salah satu dari 4 bulan haram dalam Islam yang dilarang oleh Allah untuk berperang di dalamnya. Rasulullah sendiri pernah menyebut bulan Muharram dengan sebutan “Syahrullah (Bulannya Allah)”, sebagaimana diungkapkan dalam sabdanya:
أفضلُ الصّيام بعدَ رمضانَ شهرُ الله المُحرَّمُ
Sebaik-baik puasa di luar bulan suci Ramadhan adalah puasa di Bulan Allah, yaitu bulan Muharram”. (Hadist diriwayatkan oleh Imam Muslim).

Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,

Peristiwa hijrah merupakan peristiwa penting yang di dalamnya tersimpan banyak hikmah yang bisa kita petik. Setidaknya, ada 3 nilai penting dari peristiwa hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah yang perlu kita teladani dan transformasikan dalam kehidupan saat ini.

Pertama, transformasi keummatan (kemanusiaan). Mengingat, misi utama hijrahnya Nabi beserta kaum muslim sesungguhnya adalah untuk menyelamatkan nilai-nilai kemanusiaan. Karena betapa sebelum hijrah, penindasan dan kekejaman sangat sering dilakukan oleh orang-orang kaya dan para penguasa terhadap masyarakat kecil yang lemah. Oleh karenanya, hijrah dalam hal ini ditujukan untuk mewujudkan suatu tatanan sosial (kemasyarakatan) yang lebih baik.

Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,

Kemudian yang Kedua, adalah transformasi kebudayaan atau peradaban. Hijrah dalam hal ini dimaksudkan untuk mengentaskan masyarakat dari kebudayaan atau tabiat Jahiliyah menuju kebudayaan dan peradaban yang Islami. Yaitu tatanan peradaban yang tidak memperbudak dan menjerumuskan manusia, tetapi membebaskan manusia dengan pancaran cahaya ilahi. Dengan demikian, hijrah pada dasarnya ditujukan untuk mengembalikan moral dan martabat kemanusiaan secara universal, sebagai makhluk yang paling mulia di muka bumi.

Lalu yang Ketiga, adalah transformasi keagamaan. Transformasi inilah yang sesunguhnya dapat dikatakan sebagai pilar utama keberhasilan dakwah Rasulullah. Persahabatan beliau dan kaum Muslim dengan kalangan non-Muslim (Ahli Kitab: Yahudi dan Nasrani) yang ada di Madinah, sesungguhnya adalah basis utama dari misi kerasulan yang diemban oleh Rasulullah. Dari catatan sejarah kita dapat ketahui, bahwa orang yang pertama kali menunjukkan sekaligus mengakui ‘tanda-tanda kerasulan’ pada diri Nabi, adalah seorang pendeta Nasrani yang bertemu tatkala Nabi dan pamannya, Abu Thalib, berdagang ke Syria. Kemudian, pada hijrah pertama dan kedua (ke Abesinia), pun kaum Muslim ditolong oleh raja Najasy yang juga beragama Nasrani. Dan pada saat membangun kepemimpinan di Madinah, kaum Muslim bersama kaum Yahudi dan Nasrani, saling bahu-membahu dalam ikatan persaudaraan dan perjanjian yang damai. Fakta ini menunjukkan, betapa ajaran Islam adalah ajaran yang rahmatan lil ‘alamin, yang mengajarkan kedamaian kepada seluruh alam. Bukan agama yang mengajarkan teror dan kekerasan sebagaimana yang dilakukan oleh para kelompok penganut ideologi garis keras.  

Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah,

Penting untuk dipahami, bahwa hijrah tidak semata-mata bermakna perpindahan fisik dari satu daerah ke daerah yang lain. Hijrah harus pula dimaknai hijrah mental-spiritual, sehingga akan tercipta tatanan kehidupan masyarakat yang berlandaskan pada keluhuran moral, ikatan persaudaraan (ukhuwah) dan kemashlahatan bersama (al-maslahatu al-ra’iyah). Dengan kata lain, hijrah hakikatnya bukan sekadar pindah tempat, tetapi pindah kelakuan. Dari kelakuan yang tidak baik menjadi lebih baik.

Sesuai dengan makna hijrah itu sendiri, yang secara lughawi bermakna at-tarku wal bu’du (meninggalkan atau menjauhi). Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, dalam kitabnya Zaadu al-Ma’ajir aw ar-Risalah Tabuukiyah, dalam menjelaskan makna hijrah ini, beliau menyatakan:
الهجرة هجرتان: هجرة بالجسم مِن بلد إلى بلد وهذه أحكامُها معلومة. والهجرة الثانية: الهجرة بالقلب إلى الله ورسوِله... وهذِه الهِجرة هي الهِجرة الحقيقيةُ ...
Ada 2 macam hijrah. Pertama adalah hijrah jismiyah, yakni berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain. Hijrah semacam ini hukum dan ketentuan-ketentuannya telah jelas. Dan yang kedua adalah hijrah qalbiyyah, yakni berpindahnya hati menuju kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Inilah sesungguhnya makna hijrah yang paling hakiki.       

Senada dengan penjelasan Imam Ibnu al-Qayyim di atas, Imam ‘Izz bin Abdis Salam ad-Dimasyqi as-Syafi’i dalam kitabnya Nadlratu an-Na’im juga mengatakan:

الهجرة هجرتان: هجرة الأوطان، وهجرة الإثم والعدوان، وأفضلهما هجرة الإثم والعدوان؛ لما فيها من إرضاء الرحمن وإرغام النّفس والشّيطان
Bahwa ada 2 macam hijrah, yaitu hijratul authan (meninggalkan suatu wilayah) dan hijratul itsmi wal ‘udwan (meninggalkan perbuatan dosa dan permusuhan). Dari 2 macam hijrah itu, yang paling utama adalah hijratul itsmi wal ‘udwan, karena di dalamnya ada keridhoan Dzat Yang Maha Rahman dan ditundukkannya segala hawa nafsu dan bisikan syaitan. Ini sesuai dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasa’i, dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash RA bahwa Nabi SAW pernah ditanya:

أَيُّ الْهِجْرَةِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ: (أَنْ تَهْجُرَ مَا كَرِهَ رَبُّكَ)
“Hijrah apakah yang paling utama”?. Beliau menjawab: “Yaitu hijrah meninggalkan perkara-perkara yang tidak disukai oleh Tuhanmu”.

Hadirin yang dirahmati Allah,

Akhirnya, seiring pergantian tahun ini tanpa terasa umur kita pun telah berkurang satu tahun. Itu berarti jatah hidup kita kian berkurang dan semakin mendekatkan kita pada hari kematian. Maka, tepat sekali apa yang dikatakan oleh Robi’ah al-Adawiyyah kepada Sufyan at-Tsauri, sebagaimana diceritakan dalam kitab Sifatu as-Shafwah:
إنما أنت أيّام معدودة، فإذا ذهب يوم ذهب بعضك، ويوشك إذا ذهب البعض أن يذهب الكلّ، فاعمل.
Sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari. Jika satu hari telah berlalu, maka sebagian dirimu juga berlalu. Bahkan sering kali ketika sebagian harimu berlalu, itu bisa saja menghilangkan seluruh dirimu (yakni: mematikanmu). Oleh karena itu, beramal-lah.”

Demikian khutbah ini disampaikan, semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang berhijrah dalam pengertian yang hakiki, yakni meninggalkan perkara-perkara yang tidak baik menuju perbuatan yang lebih baik. Amin ya Rabbal ‘Alamin


إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ ذِيْ الفَضْلِ وَالْإِنْعَامِ، الذي فَضَّلَ شَهْرَ الْمُحَرَّمِ عَلَى غَيْرِهِ مِنْ شُهُوْرِ العَامِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ فِي رُبُوْبِيَّتِهِ وَأُلُوْهِيَّتِهِ, وَأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ, كَمَا قَالَ تَعَالَى: (تَبَارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ)، وَأَشْهَدُ أَنَّ محمداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ البَرَرَةِ الكِرَامِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْرًا, أَمَّا بَعْدُ: فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ, اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. نَسْأَلُ اللهَ تعالى أَنْ يَرْزُقَنَا وَإِيَّاكُمْ خَشْيَتَهُ فِي الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، وَأَنْ يَجْعَلَنَا وَإِيَّاكُمْ مِنْ عِبَادِهِ المُتَّقِيْنَ, وَأَنْ يَهْدِيَنَا جَمِيْعاً سَوَاءَ السَّبِيْلِ، وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا عَلَى سيدنا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ, كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ الكريم: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً﴾. فاَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الأَئِمَّةِ المَهْدِيِّيْنَ: أَبِيْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ، وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِي الحَسَنَيْنِ عَلِي، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ, إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ.اَللَّهُمَّ أَنْتَ الأَبَدِيُّ القَدِيمُ الأَوَّلُ, وَعَلَى فَضْلِكَ العَظِيْمِ وَكَرِيْمِ جُوْدِكَ المُعَوَّلُ، وَهَذَا عَامٌ جَدِيْدٌ قَدْ أَقْبَلَ، نسْأَلُكَ العِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَوْلِيَائِه، وَالعَوْنَ عَلَى هَذِهِ النَّفْسِ الأَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ، وَالاِشْتِغَالَ بِمَا يُقَرِّبُنِيْ إِلَيْكَ زُلْفَى يَا ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ, وَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكم, وَلَذِكرُ اللهِ أَكْبَرُ, وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.