Jumat, 24 April 2015

Naskah Khutbah Jum'at: "Memaknai Isra' Mi'raj dalam Konteks Kehidupan Sosial"



Naskah Khutbah Jum’at:
“MEMAKNAI ISRA’ MI’RAJ DALAM KONTEKS KEHIDUPAN SOSIAL
Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
(Ketua Lajnah Ta’lief wan Nasyr (LTN) PCNU Kab. Indramayu)
(Disampaikan di Masjid Jami’ Al-Ikhlash Dukuhjeruk Kec. Karangampel Kab. Indramayu,
Tanggal 24 April 2015 M. / 5 Rajab 1436 H.)

Khutbah Pertama:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ, الْكَرِيْمِ الْمَنَّانِ, الرَّحِيْمِ الرَّحْمَنِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى حَمْدًا يَدُوْمُ عَلَى الدَّوَامِ، وَأَشْكُرُهُ عَلَى الْخَيْرِ وَاْلإِنْعَامِ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مَحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِه صَلاَةً وَسَلاَمًا دَائِمَيْنِ مَتُلاَزِمَيْنَ عَلَى مَمَرِّ اللَّيَالِيْ وَالزَّمَانِ، أَمَّا بَعْدُ؛ فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.

Hadirin sidang Jum’at rahimakumullah,

Tanpa terasa, saat ini kita telah memasuki bulan Rajab, bulan yang di dalamnya terdapat sebuah peristiwa maha penting dalam catatan sejarah peradaban umat manusia, yakni Isra’ dan Mi’raj yang dialami Nabi Muhammad SAW lebih dari 14 abad yang silam. Isra’ Mi’raj merupakan sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa, di mana nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya akan tetap aktual dan abadi sepanjang masa. Oleh karenanya, adalah hal yang wajar jika kemudian setiap memasuki bulan Rajab, Isra’ Mi’raj selalu diperingati oleh umat Islam di berbagai penjuru dunia, dan dijadikan momentum untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai luhur di dalamnya. Terlebih pada masa sekarang, di mana bangsa dan masyarakat kita, khususnya kalangan generasi muda dan pelajar yang disebut-sebut sebagai generasi millenial, seolah tak henti-hentinya diguncang beraneka macam persoalan, berbagai penyimpangan terhadap norma etika dan agama seolah dianggap hal yang lumrah dan menjadi "budaya", hingga masalah yang sangat meresahkan kita akhir-akhir ini adalah, makin merebaknya fitnah dan hoax di jejaring media sosial yang berpotensi mengancam keutuhan masyarakat kita sebagai sebuah bangsa.

Jama’ah Jum’at hadaniyallahu wa iyyakum,

Sedikitnya ada 4 (empat) nilai fundamental yang sangat penting untuk kita maknai dari peristiwa Isra’ Mi’raj:

Pertama, peristiwa Isra’ yang berarti perjalanan Nabi Muhammad SAW di malam hari dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina. Peristiwa itu memberikan isyarat kepada kita, bahwa manusia di dalam hidupnya perlu membangun hubungan dan komunikasi sosial/horizontal. Pada peristiwa Isra’, perjalanan Nabi SAW bersifat horizontal: dari bumi yang satu ke bumi lainnya, yang disimbolkan dari satu masjid ke masjid lain, yakni dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Maka, masjid yang merupakan “simbol” pusat kegiatan keagamaan umat Islam, harus pula ditransformasikan nilai-nilainya di tengah kehidupan sosial atau kemasyarakatan secara nyata. Umat Islam harus mampu membangun relasi sosial (hablun minan-nas) yang rukun dan harmonis di tengah-tengah kehidupannnya. Karena Nabi sendiri dalam salah satu sabdanya menyatakan: al-dînu mu’amalah (bahwa agama, salah satu inti ajarannya adalah bagaimana seseorang harus berinteraksi atau berhubungan baik dengan sesamanya).

Dengan kata lain, kualitas keislaman seseorang tidak cukup hanya diukur ketika ia berada di dalam masjid. Akan tetapi, bagaimana nilai-nilai ibadah dan kekhusyukan yang telah dilakukannya di dalam masjid itu diwujudkan pula di luar masjid, yakni ketika berada di lingkungan kerja maupun di tengah-tengah masyarakatnya, melalui jalinan interaksi, silaturahmi, dan komunikasi yang baik dengan sesama. Inilah yang disebut dengan “kesalehan sosial”. Sebab, tidak jarang sewaktu berada di dalam masjid seseorang tampak khusyuk beribadah, namun begitu keluar masjid, nilai-nilai kekhusyukan ibadahnya itu ia tanggalkan. Akibatnya, di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakatnya ia masih kerap melakukan prilaku-prilaku yang justeru bertentangan dengan nilai-nilai ibadah yang telah dilakukannya. Model beragama seperti itu jelas merupakan wujud keberagamaan yang semu. Karena salah satu wujud keberagamaan yang hakiki, harus ditandai dengan kemampuan seseorang menjalin komunikasi dan interaksi yang baik dengan sesamanya, sesuai dengan nilai-nilai akhlak luhur yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana hal ini telah diajarkan pula oleh Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) dalam salah satu “piwulang” nya kepada Raden Sa’id (Sunan Kalijaga): “marsudi urip rukun, nuju nur alam cahyaning sejati” (bahwa menjalin hubungan baik dengan sesama, adalah wujud kematangan spiritual dan kesempurnaan iman seseorang). Ini sekaligus menegaskan bahwa seseorang baru bisa dianggap beramal shaleh manakala ia tidak hanya mementingkan keshalehan pribadinya semata terkait hubungannya dengan Tuhannya, tetapi juga seorang muslim harus melakukan kebaikan-kebaikan di dalam interaksinya dengan orang lain dan lingkungannya. Ulama salafus shalih menjelaskan makna dan cakupan amal shalih sebagai berikut:
فهو يشمَل الحياة كلّها، فكلّ ما يعود بالنفع على الإنسان والكون والحياة يُعدُّ من العمل الصالح الذي يحثّ عليه الإسلام، ما دامتِ النيّة خالصةً لوجه الله الكريم

“Amal shalih itu mencakup semua urusan kehidupan. Maka perbuatan apapun yang bisa memberikan manfaat bagi manusia, alam semesta dan kehidupan, merupakan amal shalih yang dianjurkan dalam ajaran Islam, selama dilakukan dengan niat yang tulus karena Allah SWT”.   


Di samping itu, perisiwa Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha juga memberi isyarat kepada kita, bahwa mestinya antara satu masjid dengan masjid lainnya harus ada sinergi atau kerjasama yang harmonis dalam membangun kegiatan pendidikan dan dakwah secara khidmat dan penuh rahmat kepada masyarakat. Jangan sampai, masjid justeru dijadikan sebagai ajang untuk membentuk ideologi sektarian secara eksklusif dan sempit, yang justru merusak tatanan ukhuwwah (persaudaraan), baik dengan sesama umat muslim maupun dengan masyarakat luas sebangsa dan setanah air. Apalagi, masjid lalu dijadikan sebagai mimbar untuk menyebarkan ideologi politik kebencian dengan mengatasnamakan “Islam” sebagai kemasan untuk tujuan merongrong sistem, falsafah, dan kedaulatan negara yang sah, sebagaimana yang akhir-akhir ini kian marak terjadi di berbagai tempat.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Kedua, peristiwa Mi’raj, di mana Nabi SAW dari Masjidil Aqsha kemudian naik ke puncak tertinggi jagat semesta: Sidratil Muntaha, berjumpa dengan Allah SWT. Perjalanan spiritual ini memberikan pelajaran penting bagi kita bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya harus melakukan upaya “transedensi”, yakni mendekatkan diri kepada Tuhannya: Allah SWT, agar terhindar dari jebakan-jebakan materi-duniawi yang seringkali membuat manusia kalap dan lupa diri. 

Sebagai makhluk yang disebut homo religius, manusia harus mampu membangun relasi atau hubungan yang harmonis dengan Tuhan-nya. Dengan begitu, maka sifat-sifat Tuhan sebagai Dzat yang Maha Pengasih dan Sumber Kebaikan, harus dapat diterjemahkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Nilai-nilai kejujuran harus terus ditegakkan, untuk melawan segala bentuk penyelewengan. Kita tentunya sangat prihatin dan sedih, ketika kejujuran tidak lagi dianggap penting. Nilai falsafah Jawa yang menyatakan “sopo sing jujur bakale mujur” (orang yang jujur akan beruntung) telah dicampakkan sedemikian rupa, dan diganti dengan slogan “sopo sing jujur malah kajur” (orang yang jujur justru akan hancur). Padahal kita tahu, bahwa kejujuran-lah yang akan membawa kita pada ketenangan dan kedamaian. Kita mungkin saja bisa membohongi puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang, namun, kita tidak akan bisa membohongi hati nurani kita sendiri, apalagi membohongi Allah SWT.

Kemudian yang Ketiga, dalam peristiwa Mi’raj dari Masjidil Aqsha ke Sidratil Muntaha, Nabi SAW berjumpa langsung dengan Allah SWT. Ini merupakan puncak pengalaman spiritual sekaligus nikmat yang sangat indah dan tak tertandingi oleh kenikmatan  apapun. Disinilah makin nampak keluhuran dan ke-luar biasa-an Rasulullah SAW, di mana setelah bertemu dengan Tuhannya, beliau justeru masih mau turun lagi ke dunia untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan demi keselamatan umatnya. Seandainya Nabi SAW adalah orang yang egois dan hanya memikirkan kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri, niscaya beliau enggan untuk turun lagi ke dunia. Itulah cermin bahwa beliau adalah seorang manusia paripurna (insan kamil) sekaligus seorang sufi sejati, yang tidak hanya berpredikat shalih (berkepribadian baik secara personal), tetapi juga seorang mushlih (menjadikan orang lain menjadi baik).

Peristiwa ini mengandung pelajaran yang sangat berharga, bahwa kita tidak boleh terjebak pada kesalehan ritual-spiritual yang bersifat personal semata. Sebab kesalehan yang sejati adalah manakala seseorang bisa membangun relasi yang harmonis dan seimbang: baik antara dirinya dengan Tuhannya (hablun min Allah); antara dirinya dengan sesamanya (hablun min al-nas); maupun antara dirinya dengan alam dan lingkungan sekitarnya (hablun ma’a al-bi’ah).

Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,

Keempat, dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi SAW mendapat perintah yang sangat penting, berupa perintah shalat. Shalat merupakan media interaksi dan komunikasi antara kita dengan Allah SWT, sehingga karena inilah bulan Rajab sering disebut sebagai "syahrullah" (bulannya Allah). Sedemikian pentingnya shalat, perintah itu diterima langsung oleh Nabi tanpa melalui perantara Malaikat Jibril. Jika agama diumpamakan sebagai sebuah bangunan, maka shalat merupakan tiang-tiang penyangga yang akan menopang bangunan itu bisa tetap kokoh berdiri, sebagaimana sabda Nabi: 


الصلاة عماد الدّين, فمن أقامها فقد أقام الدّين, ومن تركها فقد هدم الدّين.


Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menegakkan shalat berarti ia menegakkan agama, barang siapa yang meninggalkan shalat berarti ia menghancurkan agama.” 

Namun, hal yang sesungguhnya paling penting adalah bagaimana kita menjiwai dan menerapkan pesan-pesan moral yang terkandung dalam ritual shalat tersebut. Jangan sampai kita memahami shalat hanya sebatas rutinitas dan “seremonial” belaka, tanpa memahami makna apa-apa di dalamnya. Al-Qur’an mengkritik orang-orang yang melakukan shalat sebagai “pendusta agama” dan dianggap sebagai orang yang celaka, manakala mereka melalaikan atau tidak melaksanakan pesan-pesan moral yang terkandung di dalam shalat yang dilakukannya (sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Ma’un: 3-4).


فويل للمصلين, الذين هم عن صلاتهم ساهون.

Jama’ah Jum’at yang berbahagia,

Shalat mengajarkan kita akan pentingnya disiplin dan menghargai waktu. Maka, salah satu ciri dari kualitas shalat seseorang adalah sejauh mana ia disiplin dan menghargai waktu, yang kemudian diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Di dalam shalat juga terkandung pesan ke-tawadlu’-an (rendah hati), sebab betapa di dalam shalat kita rela meletakkan kepala kita, yang merupakan mahkota atau anggota tubuh yang paling mulia, merunduk ke tempat sujud, sejajar dengan kaki kita. Maka kesombongan dan sikap kesewenang-wenangan jelas bukanlah sifat orang yang baik shalatnya. Shalat juga mengajarkan kita akan pentingnya menebarkan nilai-nilai kedamaian, keharmonisan, dan persaudaraan. Karena bukankah setiap kali kita mengakhiri shalat, kita selalu mengucapkan salam (assalamu’alaikum warahmatullah) sambil menoleh ke kanan dan ke kiri?!. Maka indikator lain dari orang yang baik shalatnya adalah ia senantiasa menebarkan rasa kedamaian, persaudaraan, dan kasih sayang di tengah-tengah masyarakatnya. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dan berbagai pelajaran penting dari peristiwa Isra’ Mi’raj serta betul-betul mengaktualisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat secara nyata. [ ]

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.


Khutbah Kedua:
الحمد لله الذي منّ علينا برسوله الكريم, وهدانا به إلى الدين القويم والصراط المستقيم, وأمرنا بتوقيره وتعظيمه وتكريمه, وفرض على كلّ مؤمن أن يكون أحبَّ إليه من نفسه وأولاده وخليله, وجعل محبّتَه سببا لمحبّته وتفضيله, أشهد أن لا إله إلاّ اللهُ الرؤوفُ الرحيم, وأشهد أنّ محمّدا عبده ورسوله ذو الجاه العظيم, صلّى الله وسلَّم عليه وعلى سائر المرسلين, وآل كلٍّ والصحابة والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين. أمّا بعد, فيا أيّها الحاضرون, اتّقوا اللهَ حقَّ تُقاته, ولا تموتنّ إلاّ وأنتم مسلمون. واعلموا أنَّ الله أمَركم بأمرٍ بدأ فيه بنفسه وثـنّى بملآئكته بقدسه, وقال تعالى إنَّ الله وملآئكته يصلّون على النبى يآأيها الذين آمنوا صلّوا عليه وسلّموا تسليما. اللهمّ صلّ على سيدنا محمد وعلى أنبيآئك ورسلك وملآئكتك المقرّبين, وارضَ اللهمّ عن الخلفاء الراشدين أبي بكر وعمر وعثمان وعليّ وعن بقيّة الصحابة والتابعين وتابعي التابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين, وارض عنّا معهم برحمتك ياأرحم الراحمين. اللهمّ اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحيآء منهم والأموات, إنّك سميع قريب مجيبُ الدعوات. اللهمّ أعزّ الإسلام والمسلمين وَأَذِلَّ الشّركَ والمشركين وانصر عبادَك الْمُوَحِّدِين المخلِصين واخذُل مَن خذَل المسلمين ودَمِّرْ أعدآئَنا وأعدآءَ الدّين وأَعْلِ كلماتِك إلى يوم الدين. اللهمّ ادفع عنّا البلاءَ والوَباءَ والزَّلازِلَ والْمِحَنَ وسوءَ الفتنة ما ظهر منها وما بطن عن بَلَدِنا إندونيسيا خآصةً وعن سائرِ البُلدانِ المسلمين عآمة يَا ربّ العالمين. ربّنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار. عبادَ الله! إنَّ الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتآء ذي القربى وينهى عن الفحشآء والمنكر والبغي يعظكم لعلّكم تذكّرون, واذكروا الله العظيم يَذْكُرْكُمْ واشكروه على نِعَمِهِ يَزِدْكم واسئلوه من فضله يُعْطِكم, وَلَذِكرُ اللهِ أكبر.

Kamis, 02 April 2015

Naskah Khutbah Jum'at: "Memfungsikan Hati Sebagai 'Rumah Tuhan' (Baitullah)"



Naskah Khutbah Jum’at:
“MEMFUNGSIKAN HATI SEBAGAI 'RUMAH TUHAN' (BAITULLAH)”
Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
(Ketua Lajnah Ta’lief wan Nasyr (LTN) PCNU Kab. Indramayu)
(Disampaikan di Masjid Jami’ Al-Ikhlash Dukuhjeruk Kec. Karangampel Kab. Indramayu,
Tanggal 3 April 2015 M. / 14 Jumadil Akhir 1436 H.)

Khutbah Pertama:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ؛ فَيَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَقُوا اللهَ, وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍّ, وَاتَّقُوا اللهَ, إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ.

Hadirin sidang Jum’at rahimakumullah,
Mengawali khutbah pada siang hari ini, ada satu kisah menarik dalam kitab Thaharatul Qulub wal Khudhu’ li ’Allaami al-Ghuyub karya seorang ulama sufi, al-‘Arif billah Syeikh Abdul Aziz bin Ahmad bin Said ad-Darainiy RA. Kisah tersebut berdasarkan pengalaman yang dialami oleh sufi lain yang bernama Syeikh Abdul Warid bin Zubad RA. Dikisahkan, bahwa Syeikh Abdul Warid dalam satu waktu pernah melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, naik-turun dari satu bukit ke bukit lain, menyusuri pegunungan dan perkampungan di berbagai tempat yang dikunjungi, dalam rangka mencari ilmu dan hikmah dari para ulama sufi. Hingga satu ketika di sebuah puncak gunung, Syeikh Abdul Warid bertemu seorang kakek tua yang buta dan tuli serta tidak memiliki sepasang kaki dan tangan. Kakek itu sedang beribadah dengan sangat khusuk. Setelah Syeikh Abdul Warid mendekat, ia mendengar sang kakek sedang mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT: “ya ilaahi wa ya sayyidi (wahai Tuhanku dan Tuanku), matta’tani bijawaarihii haitsu syi’ta (Kau anugerahkan anggota tubuh untukku pada saat yang Engkau kehendaki), wa akhadztaha haitsu syi’ta (dan Kau ambil kembali semuanya saat Kau inginkan), wa tarakta lii husnadzonni fiika, ya birru ya washuul (namun Engkau tetap membuatku dapat selalu berbaik sangka pada-Mu, wahai Dzat yang Maha Baik dan Maha Menyampaikan Maksud).

Syeikh Abdul Warid lalu bertanya dalam hati: “Aneh sekali kakek ini, kebaikan apakah gerangan yang telah Allah berikan?, dan Allah telah menyampaikan tujuan apa kepadanya, bukankah ia telah tuli dan buta sehingga tidak bisa melakukan banyak hal?. Tiba-tiba sang kakek berkata kepada Syeikh Abdul Warid hingga ia sangat terkejut karena kakek yang buta dan tuli itu ternyata mengetahui apa yang tengah ia pikirkan. Kakek itu berkata: ilaika anni ya baththool, alaisa taraka lii qolban ya’rifuhu? wa lisaanan yadzkuruhu? fahuwa na’iimu ad-daaraini jami’an (akan aku jelaskan kepadamu kebahagiaan apa yang telah aku dapatkan wahai lelaki asing. Bukankah Tuhan telah menganugerahkan qalb/hati kepadaku yang dengan hati itu aku dapat selalu mengenal-Nya?, bukankah Tuhan juga telah memberiku lidah sehingga dengan lidah itu aku mampu untuk selalu mengagungkan-Nya?, ketahuilah, semua itu adalah nikmat dunia dan akhirat yang tak terhingga.

Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,
Kisah di atas sungguh mengandung hikmah dan pelajaran yang sangat menakjubkan. Bagaimana tidak?, dari seorang kakek tua yang buta, tuli dan cacat, kita dapat mengambil satu pelajaran yang sangat berharga. Di mana hati nurani (qalb) adalah sesuatu yang ada dalam diri manusia yang selalu takut dan tunduk kepada Allah. Hati adalah organ manusia yang penuh dengan pancaran cahaya ilahi, sebagai anugerah terbesar dari Allah SWT melebihi anugerah apapun. Apalah arti kesempurnaan fisik dan materi, jika ternyata hati yang kita miliki adalah hati yang tumpul; hati yang keras; hati yang tidak terisi oleh pancaran cahaya ilahi. Betapa dalam kisah tersebut sang kakek mengingatkan kita agar tidak terperangkap dalam perspesi dan standar kebahagiaan duniawi yang lebih cenderung bersifat materi, di mana semakin materi itu dikejar justeru akan semakin membuat kita merasa hampa dan terasing, bahkan kita kehilangan diri kita sendiri. Maka sudah seharusnya hati itu kita hidupkan agar dapat berperan penting dalam diri kita, bukan hanya akal dan nafsu belaka. Hati yang dimaksud di sini adalah hati dalam pengertian ruhani, bukan hati dalam pengertian organ tubuh yang berwujud fisik.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah,
Dalam memahami konsep hati ini, kita terlebih dahulu perlu membedakan hati dalam arti fisik dan hati dalam arti ruhani. Hati dalam arti fisik menurut hadits Nabi adalah mudghoh (segumpal darah) yang sangat berpengaruh bagi kesehatan diri setiap manusia. Apabila kondisi segumpal darah itu baik, maka akan baiklah seluruh bagian tubuhnya, sebaliknya, apabila segumpal darah itu rusak maka akan rusaklah seluruh bagian tubuh tersebut. Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat mengenai makna kata mudghoh. Sebagian ulama menafsirkannya sebagai organ bagian dalam manusia yang disebut liver, sebagian yang lain menafsirkannya dengan jantung.

Adapun hati dalam pengertian ruhani, seorang ulama besar sekaligus Filosof Muslim, Syeikh Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy, yang bergelar ‘Shadr al-Din’ dan lebih populer dengan sebutan Mulla Shadra (lahir: 979-80 H/ 1571-72 M), dalam salah satu kitabnya yang berjudul Mafatihul Ghaib, ia menjelaskan bahwa hati dalam pengertian ruhani memiliki 3 (tiga) macam tingkatan. Di mana antara manusia yang satu dengan manusia yang lain bisa saja berada dalam tingkatan yang berbeda.

Tingkatan hati yang pertama disebut Qalb. Qalb, sesuai dengan arti harfiyahnya: bolak balik, memiliki sifat tidak stabil. Masih selalu terjadi tarik menarik antara dorongan kebaikan dan keburukan. Coba sejenak kita renungkan, bagaimana dengan kondisi diri kita?. Apakah kita sering berada dalam kondisi ini, yakni tarik menarik antara yang hak dengan yang batil?. Misalnya, ibadah kita laksanakan dengan baik, namun di sisi lain kemaksiatan juga masih sering kita lakukan. Atau, kadang dalam bekerja kita kerap muncul keinginan untuk melakukan kecurangan setiap kali ada kesempatan, meski di saat yang sama kita juga masih mengingat akan dosa. Lalu akhirnya kita menjadi bingung dan ragu-ragu apakah mau melakukan atau tidak. Di sini terjadi tarik menarik antara qalb dan nafsu. Jika yang terjadi adalah demikian, maka sesungguhnya tingkatan hati kita masih berada dalam posisi ini. Oleh karenanya, kita dianjurkan agar di dalam shalat di akhir bacaan tasyahud akhir kita memohon kepada Allah dengan membaca do’a: Ya muqalliba al-quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika (wahai Dzat yang maha membolak-balik hati, mantapkanlah hati kami dalam meniti agama-Mu).

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Kemudian, tingkatan hati yang kedua disebut al-fuad. Makna al-fuad sebenarnya lebih dekat kepada makna aql. Yakni hati yang sudah mampu mempertimbangkan secara matang sisi baik dan buruk dari setiap perbuatan; hati yang sudah berani secara tegas memilih jalan kebaikan dan meninggalkan jalan keburukan; hati yang lebih mengedepankan suara kebenaran dan menanggalkan kebatilan.

Adapun hati yang berada dalam tingkatan ketiga atau tingkatan yang paling tinggi adalah al-lub. Lub adalah hati yang selain sudah mampu memilih kebaikan dan meninggalkan keburukan, juga telah terisi dengan kesadaran bahwa setiap kebaikan yang dilakukan adalah bentuk kecintaannya kepada Allah SWT, sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Hati pada tingkatan inilah yang dimaksudkan dalam kisah si kakek di atas. Yakni, hati yang sudah benar-benar mengenal Tuhannya; hati yang telah terisi dengan pancaran nur ilahi. Hati seperti inilah yang kemudian dalam dunia tasawuf sering disebut dengan istilah “baitullah” (singgasana Allah). Dalam hal ini, perlu dipahami secara berbeda antara baitullah yang ada dalam diri manusia dan baitullah dalam pengertian Ka’bah yang menjadi kiblat sekaligus pusat kegiatan ritual ibadah haji.

Istilah baitullah dan haji, sesungguhnya mengandung 2 (dua) makna: makna syar’i dan makna hakiki. Haji dalam pengertian syar’i sebagaimana yang sudah sangat kita pahami, adalah perjalanan ibadah ke baitullah. Adapun haji dalam makna hakiki adalah perjalanan manusia ke dalam dirinya sendiri untuk sampai pada tingkatan hati yang sempurna, yakni lub. Karena lub inilah yang merupakan inti dari baitullah yang simbolisasinya berupa Ka’bah yang berada di Tanah Suci Mekkah. Maka, perjalanan ibadah haji ke Mekkah yang begitu berat, dengan keharusan memiliki kesiapan mental, fisik, pengetahuan, dan waktu yang matang, adalah “simbol” betapa sulitnya seseorang mencapai tingkatan lub yang notabene ada dalam dirinya sendiri, sehingga diperlukan perjuangan secara terus-menerus.

Mudah-mudahan, bagi saudara-saudara kita kaum Muslim yang telah melaksanakan haji ke Tanah Suci bisa mengambil pelajaran berharga dari ibadahnya tersebut. Bahwa, selain untuk memenuhi kewajiban syar’i, perjalanan haji yang lebih hakiki sesungguhnya adalah perjalanan ke dalam dirinya sendiri untuk menghidupkan lub atau hati nurani sehingga terisi oleh pancaran cahaya ilahi. Sehingga semua pikiran, sikap, dan perbuatannya senantiasa mencerminkan sifat-sifat ilahi. Demikian pula bagi kita yang belum memiliki kesempatan melaksanakan haji secara syar’i, masih ada kesempatan untuk mencapai derajat haji secara hakiki, yakni dengan senantiasa melatih diri agar hati kita sampai pada tingkatan yang paling tinggi, yaitu lub yang tak lain merupakan baitullah. Sehingga hati kita penuh dengan pancaran cahaya Ilahi; hati yang telah betul-betul mengenal Tuhannya dengan baik. Dalam konteks inilah, hujjatul Islam Imam al-Ghazali RA menyatakan: man ‘arafa nafsahu fa qod ‘arafa rabbahu (barang siapa yang mampu mengenali dirinya (yakni, hatinya telah sampai pada tingkatan lub), maka sesungguhnya ia telah mengenal Tuhannya.

Akhirnya, mengakhiri khutbah ini, marilah kita sama-sama berdo’a dan terus berusaha, jika hari ini hati kita masih berada dalam tingkatan qalb, semoga esok hati kita bisa meningkat menjadi al-fuad, dan lusa bisa sampai pada tingkatan lub. Dan semoga hati kita tidak termasuk hati yang mati atau hati yang buta. Yakni hati yang sudah tidak lagi merasa bersalah setiap kali melakukan dosa dan kesalahan. Sebagai firman Allah SWT (QS. al-Hajj: 46),
أَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِي الأَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَعْقِلُوْنَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُوْنَ بِهَا فَإِنَّهَا لاَ تَعْمَى الأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِي الصُّدُوْرِ
“Maka apakah mereka tidak mampu berjalan (dan mengambil pelajaran) di muka bumi, padahal mereka memiliki hati yang dengan hati itu mereka seharusnya dapat memahami; juga mempunyai telinga yang dengan telinga itu mereka seharusnya dapat mendengar?!, sesungguhnya bukanlah karena mata mereka yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada mereka”.

Dalam ayat lain (QS. al-Jatsiyah: 23), Allah SWT juga berfirman:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيْهِ مِنْ بَعْدِ اللهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan, dan Allah membiarkannya tersesat, juga Allah mengunci pendengaran dan hatinya serta menutup penglihatannya?!, siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya tersesat), tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?.”

Demikian khutbah ini, semoga bermanfaat.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
الْحَمْدُ الَّذِيْ خَلَقَ الْخَلْقَ لِيَعْبُدُوْهُ، وَأَبَانَ آيَاتِهِ لِيَعْرِفُوْهُ، وَسَهَّلَ لَهُمْ طَرِيْقَ اْلوُصُوْلِ إِلَيْهِ لِيَصِلُوْهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَرْسَلَهُ اللهُ بِاْلهُدَى وَدِيْنِ اْلحَقِّ لِيَكُوْنَ لِلْعَالَمِيْنَ نَذِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ, فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ, اِتَّقُوا اللهََ حَقَّ تُقَاتِهِ, وَاعْلَمُوْا أَنََّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ, وَقَالَ تَعَالَى إِنََّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَنْبِيَآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَتِكَ الْمُقَرَّبِيْنَ, وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ, وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ, إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَِّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ الْمُخْلِِصِيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ ودَمِّرْ أَعْدَآئَنَا وَأَعْدَآءَ الدِّيْنِ وأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلاََءَ وَالْوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ الْفِتْنَةِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنا إِنْدُوْنِيْسِيَا خَآصَّةً وَعَنْ سَائِرِ الْبُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَآمَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ! إِنََّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ, وَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكم, وَلَذِكرُ اللهِ أَكْبَرُ, وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.