Selasa, 23 Oktober 2012

Ketika Haji Sekedar Rekreasi Spiritual


KETIKA HAJI SEKEDAR “REKREASI SPIRITUAL”
(Sebuah Catatan Reflektif Menyambut Musim Haji 1433 H)

Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
(Tulisan dimuat dalam Surat Kabar Harian Radar Cirebon, 4 Oktober 2012)
 
****************

Pada bulan ini, jutaan jama’ah haji dari berbagai negara akan terkonsentrasi di Tanah Haram, tak terkecuali ratusan ribu di antaranya adalah jama’ah haji dari Indonesia. Dari sekian ratus ribu jama’ah haji Indonesia tersebut, boleh jadi seperempat, sepertiga, atau bahkan separuhnya, melakukan ibadah haji untuk yang kedua, ketiga, atau entah yang ke berapa kalinya. Sementara di sisi lain, ratusan ribu bahkan jutaan pendaftar atau calon haji lain sudah mengantri sangat panjang dalam deretan daftar tunggu (waiting list) untuk tahun-tahun berikutnya.
Hal ini terjadi lantaran haji memang merupakan ibadah yang memiliki “daya pikat” luar biasa. Bagi yang belum berhaji, mereka “termimpi-mimpi” untuk segera berziarah ke Tanah Suci memenuhi panggilan Ilahi. Segala daya dan upaya pun dikerahkan untuk bisa mewujudkan mimpi itu, termasuk dengan menjual tanah, sawah, kebun, atau dengan cara meminjam. Dan ketika mimpi itu terwujud, pun yang terjadi umumnya bukan “kepuasan” dengan cukup berhaji satu kali sebagaimana perintah agama. Sebaliknya, mencuat dorongan untuk kembali mengunjungi Tanah Suci untuk yang kedua, ketiga, atau bahkan kesepuluh kali. Bagi mereka yang “berkantong tebal”, jika keinginan kembali berhaji itu sulit terkabul atau harus menunggu waktu terlalu lama, maka umroh menjadi alternatif lainnya. Hingga tak mengherankan jika jama’ah umroh pun, yang kerap disebut haji kecil, selalu membludak sepanjang tahun. Lebih-lebih di bulan Ramadhan. Salah satu indikatornya adalah menjamurnya biro perjalanan haji dan umroh dengan aneka tawaran paket dan fasilitas yang semakin menggiurkan.  
Fenomena di atas semestinya bisa membuat kita tersenyum gembira, karena setidaknya hal itu menyiratkan 2 alasan. Pertama, pertanda bahwa penduduk Indonesia adalah warga dunia yang termasuk mapan dan sejahtera, karena untuk berhaji atau umroh dibutuhkan biaya yang cukup besar. Kedua, pertanda bahwa Indonesia termasuk negeri para orang sholeh yang moralis, jujur, adil dan layak diteladani. Betapa tidak, jika misalnya setiap tahun ada 300-an ribu jama’ah haji, ditambah ratusan ribu lagi jama’ah umroh, berarti Indonesia menyimpan stock jutaan orang sholeh dan figur-figur teladan “produk haji atau umroh”. Bukankah di dalam sabda Nabi ditegaskan, bahwa tiada balasan yang layak bagi ibadah haji yang mabrur selain surga. Dan tentunya tidak akan masuk surga kecuali mereka yang sholeh dan menjadi teladan. Namun apakah benar kenyataannya demikian?. Inilah yang akan coba dikaji lebih mendalam di dalam tulisan ini.
Pada faktanya, kenyataan yang terjadi di negeri ini justeru sebuah ironi yang cukup besar. Jangankan menjadi negeri yang makmur dan mapan, untuk sekedar cukup pun tidak. Di tengah berjubelnya jama’ah haji dan umroh sepanjang tahun, rona kemiskinan dan kemelaratan bangsa ini justeru terpampang jelas. Bayi dengan gizi buruk, anak-anak yang menderita busung lapar, orang miskin yang tak mampu berobat, para tunawisma (gelandangan dan pengemis) dan lain-lain senantiasa berseliweran setiap saat di depan mata. Adanya stock jutaan “pak dan bu haji” serta “pak dan bu umroh” di negeri ini tak berbanding lurus dengan terwujudnya masyarakat madani yang jujur, bersih, egaliter, beradab dan berkeadilan. Yang senantiasa mencuat ke permukaan justeru wajah bangsa Indonesia yang korup, culas, egois, tak peduli nasib orang lain, memuja penampilan ketimbang isi, serta gila hormat dan jabatan meski dengan cara menjilat, menyuap, dan seterusnya.
Kondisi ini sangat kontras dengan apa yang terjadi pada rekam jejak salafus shaleh dari zaman ke zaman maupun “pak dan bu haji” Indonesia di masa lalu, ketika jumlah haji saat itu masih beberapa “gelintir”. Sejarah mencatat, hampir semua pejuang dakwah dan tokoh pergerakan di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia, pada masa itu adalah para “hujjaj”.
Perjalanan mereka ke Tanah Suci bahkan dengan bermukim di sana selama beberapa waktu, telah membentuk hati, pikiran, jiwa dan prilaku mereka sebagai para pejuang kebenaran. Sebut saja misalnya tokoh-tokoh hujjaj dari Nusantara seperti Tuanku Imam Bonjol, Haji Miskin, Syekh Ahmad Khathib, Syekh Kholil Bangkalan, Syekh Mahfudz Termas, Hadhratus Syekh Hayim Asy’ari, Syekh Nawawi Al-Bantani, KH. Achmad Dahlan, dan lain-lain. Singkatnya, haji pada masa itu menjadi semacam madrasah untuk membentuk kader-kader terbaik sekaligus mencetak generasi pejuang dan pembela kebenaran.
Hal itu karena di sana berkumpul banyak ulama, mujahid, dan aktivis dakwah dari berbagai penjuru dunia. Ibadah haji tak sekedar untuk melakukan ritual rukun Islam yang kelima, tetapi juga menjadi “muktamar” umat Islam seluruh dunia untuk merancang dan menggagas visi dan gerakan bersama. Tak heran, jika kaum kolonial pada masa itu sangat membatasi bahkan mempersulit kaum muslim untuk berhaji.

Haji dan Keshalehan Sosial

Berdasarkan gambaran kondisi di atas, sebuah pertanyaan penting yang dapat dikemukakan adalah, mengapa saat ini ibadah haji tak lagi memberi makna dalam kehidupan sosial kita?, bahkan meskipun “pak dan bu haji” itu sudah bolak-balik pergi haji dan umroh?. Jawabannya terletak pada paradigma dan pemahaman keagamaan yang sering dipahami secara keliru oleh kebanyakan umat Islam. Haji sebagai rukun Islam terakhir yang hanya diwajibkan sekali seumur hidup, semestinya menjadi tahapan akhir dalam proses pembentukan pribadi dan karakter muslim yang sejati.
Diawali dengan pembentukan komitmen melalui 2 kalimat syahadat, dilanjutkan dengan penanaman disiplin yang utuh melalui shalat, ditambah dengan semangat berbagi dan membangun kepekaan sosial melalui zakat, lalu diimbangi dengan latihan pengendalian diri, sabar menahan derita, serta berempati terhadap sesama melalui ibadah puasa, dan terakhir menguji kepasrahan diri memenuhi panggilan Allah melalui haji.
Dengan kata lain, pada masa-masa sebelumnya jama’ah haji tersebut setidaknya telah diasumsikan sebagai kader-kader terbaik umat sehingga telah siap sedia memenuhi panggilan Allah pasca kelulusan mereka dari ujian teori maupun praktek melalui 4 rukun Islam sebelumnya. Dan wujud dari kesediaan memenuhi panggilan Allah itu hakikatnya adalah dengan mengabdikan diri sebagai pejuang kebenaran di tengah-tengah masyarakatnya kelak. Artinya, semua pelaksanaan rukun-rukun Islam yang nampaknya bersifat individual itu hakikatnya bermuara pada tujuan pembentukan keshalehan sosial. Dan itulah sesungguhnya makna hakiki dari tugas hidup manusia di muka bumi, baik sebagai ‘abdullah (hamba Allah) maupun khalifatullah fi al-ardh (pemegang amanat Allah di muka bumi).
Prof. Dr. H. Ali Mushtofa Ya’kub (Pakar Ilmu Hadits, Imam Besar Masjid Istiqlal, Alumni Pesantren Tebuireng Jombang) menjelaskan, dalam Islam ada 2 kategori ibadah, yaitu ibadah qashirah (individual) yang manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunya, dan ibadah muta’addiyah (sosial) yang manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh pelakunya tetapi juga oleh orang lain. Ketika kedua macam ibadah itu berbarengan, Rasulullah SAW lebih memilih ibadah yang manfaatnya berdimensi sosial ketimbang individual. Di dalam salah satu haditsnya, Rasulullah SAW menerangkan bahwa orang yang suka memberi bantuan kepada orang miskin, di akhirat kelak dijanjikan akan bersanding bersama beliau di surga. Sementara untuk pahala haji mabrur, Rasulullah SAW hanya menyebutkan surga, tanpa janji akan berdampingan bersama beliau. Hal ini merupakan salah satu bukti betapa ibadah sosial itu dipandang lebih utama ketimbang ibadah individual.
Ini berbeda dengan fenomena sebagian hujjaj saat ini yang pergi haji tapi tanpa ditopang oleh ilmu yang cukup apalagi implementasinya terkait nilai-nilai dasar Islam. Akibatnya, dengan “atas nama” ibadah para hujjaj misalnya saling berebut mencium hajar aswad meski harus dengan cara menyikut, menarik, menginjak, dan mendorong sesama jama’ah haji. Padahal kita tahu, mencium hajar aswad itu bukan suatu keharusan melainkan sekedar afdholiyat (jika memungkinkan dilakukan, itu lebih baik). Itu pun dengan syarat situasinya memungkinkan dan tanpa melanggar hak orang lain. Sedangkan menyikut, menarik, menginjak, mendorong, apalagi menyakiti sesama kaum muslim jelas-jelas merupakan perbuatan terlarang atau diharamkan.
Contoh lain, kita bisa menyaksikan bagaimana para hujjaj saling berebut untuk melaksanakan shalat di Raudhah di dalam masjid Nabawi, dan setelah dapat peluang mereka asyik berlama-lama di situ (lagi-lagi atas nama ibadah kepada Allah), padahal mereka tahu puluhan ribu jama’ah haji yang lain telah menunggu karena mereka pun sama-sama ingin merasakan shalat di tempat mulia tersebut.
Contoh perbuatan-perbuatan di atas sesungguhnya cermin dari sikap egoisme dan individualisme “berbungkus” ibadah yang justeru membuahkan dosa. Padahal jika mereka memahami nilai-nilai ajaran Islam dengan benar, seharusnya mereka cukup shalat dan berdo’a sebentar saja, kemudian segera keluar agar tempat shalatnya bisa digantikan oleh orang lain secara bergiliran. Dengan begitu, ia tidak hanya mendapat pahala dari ibadah yang dilakukannya, tetapi juga pahala dari orang lain yang shalat dan berdzikir di bekas tempat shalatnya itu.
Lebih dari itu, terdapat kekeliruan paradigma yang lebih mendasar terkait pemahaman tentang Islam. Islam dipahami lebih pada persoalan ritual-seremonial. Akibatnya, banyak orang yang “merasa telah menjadi shaleh” ketika mereka sudah menunaikan berbagai ritual-seremonial, tanpa peduli bagaimana implementasi dan konsekuensi dari ritual-seremonialnya itu dalam praktek kehidupan nyata sehari-hari. Padahal cara pandang semacam itu merupakan ciri khas penganut paganisme. Dalam Islam, nilai sebuah ritual-seremonial tidak diukur hanya dari tatacara pelaksanaanya semata (fiqh oriented), tetapi lebih pada implementasi dan konsekuensi logisnya (akhlak). Karena Islam sejatinya merupakan agama rahmatan lil ‘alamin yang tentunya berorientasi sosial.

Mendalami Fenomena Haji Berulang Kali

Menurut Ahzami, dosen Pascasarjana UIN Syahid Jakarta, seseorang yang pergi melaksanakan haji berulang kali bisa jadi ibadah tersebut tidak lagi dianggap sunnah, tetapi malah makruh dan bahkan bisa diharamkan, yaitu ketika ia mengabaikan persoalan sosial yang terjadi di sekelilingnya.  
Secara lebih detail beliau juga mempertanyakan, “ketika banyak anak yatim terlantar, puluhan ribu orang menjadi tunawisma akibat bencana alam, banyak anak-anak menderita busung lapar, bayi-bayi mengalami gizi buruk, rumah-rumah Allah rusak dan roboh, banyak orang terkena PHK, banyak rumah yatim, sekolah, madrasah dan pesantren yang terbengkalai, lalu kita justeru sibuk pergi haji untuk yang kedua, ketiga, bahkan entah yang ke berapa kali, maka kita patut bertanya pada diri sendiri, apakah haji kita tersebut betul-betul karena melaksanakan perintah Allah?!”.
Padahal menurutnya, “tak ada satu pun ayat al-Qur’an yang memerintahkan seseorang untuk melaksanakan haji berkali-kali. Bahkan Nabi SAW pun tidak pernah memberi teladan atau perintah seperti itu. Karena jika haji berkali-kali itu sangat baik, tentu Nabi SAW adalah orang yang pertama melakukannya. Faktanya, sepanjang hidup Nabi SAW hanya sekali melakukan ibadah haji, padahal kesempatan dan kemampuan untuk melakukan haji berkali-kali sangat terbuka lebar. Ini merupakan bukti yang sangat jelas betapa Nabi SAW lebih mengutamakan ibadah sosial ketimbang ibadah yang sekedar bersifat personal. Atau, jangan-jangan sejatinya hal itu (melakukan haji berkali-kali) merupakan bagian dari tipu daya setan melalui dorongan hawa nafsu bernama ‘ujb (membanggakan diri sendiri). Apabila betul motivasi ini yang mendorong, maka berarti ibadah haji tersebut tidak lagi dilandasi karena Allah, tetapi karena terjebak oleh tipu daya setan.” Na’udzu billah.
Berbicara tentang tipu daya setan ini, perlu dipahami bahwa setan dalam upayanya menjebak manusia tidak melulu berupa perintah untuk bermaksiat. Tetapi juga sering kali menyusup dalam bentuk ibadah. Pengalaman dan jam terbang setan dalam menggoda manusia sudah sangat lama dan tak perlu dipertanyakan lagi. Ia paham betul apa kesukaan dan kecenderungan manusia. Setan tentunya tidak akan menyuruh orang yang jelas-jelas taat beribadah untuk melakukan hal-hal yang secara nyata dan terang dilarang, tetapi ia akan menggodanya antara lain agar melaksanakan dosa-dosa yang tidak disadarinya dalam bentuk ibadah.
Ibadah haji merupakan ibadah yang sangat mulia dan suci. Maka tak sepatutnya dikotori oleh hal-hal yang tidak baik. Dengan melakukan haji berulang kali misalnya, bukan tidak mungkin pelakunya justeru menjadi penyebab terhalangnya sebagian orang yang belum pernah berangkat haji hingga akhirnya menjadi batal berangkat. Haji berkali-kali memang tidak dilarang oleh Allah, namun apabila dengan keberangkatan hajinya tersebut ada hak-hak orang lain yang dirugikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, maka itu bisa dikatakan mendzalimi orang lain.

Predikat Haji Mabrur

Dalam pandangan Ahzami, haji mabrur adalah ibadah haji yang tidak tercampur sedikit pun dengan kemaksiatan, dan yang bersangkutan mampu menahan diri untuk tidak berbuat maksiat. Di samping itu, ia menghimpun kebaikan-kebaikan untuk keluarganya, jama’ahnya, dan negaranya.
Menjadi seorang haji yang mabrur juga berarti harus memiliki kontribusi yang luar biasa dalam menciptakan perubahan di lingkungannya. Dengan adanya para haji yang baru pulang dari Tanah Suci, diharapkan akan membawa dampak yang baik untuk semua kalangan, minimal bagi lingkungan di sekitarnya.
Haji mabrur merupakan haji yang dapat membawa dampak kebaikan spiritual dan sosial. Seorang haji yang mabrur akan memiliki hubungan dengan Allah (habl min Allah) dengan tingkat kualitas yang semakin baik, tidak hanya pada saat pelaksanaan ibadah haji, tetapi juga setelah pulang dari Tanah Suci. Di samping itu, pelakunya juga memiliki kualitas yang lebih baik dalam konteks hubungannya dengan sesama (habl min an-nas). Demikian. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis showab.         
       
***************

Sabtu, 22 September 2012

Dari Pembelajaran Kognisi (Cognitive Oriented) Menuju Pendidikan Karakter

DARI PEMBELAJARAN KOGNISI (COGNITIVE ORIENTED)
MENUJU PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
(Tulisan dimuat dalam Majalah Media Pembinaan, Kanwil. Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, November 2012)



A.    Konsep Pendidikan Karakter

Karakter merupakan nilai-nilai prilaku manusia yang memiliki dimensi multi-relasional, terkait hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (habl min Allah), diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan, berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada seluruh warga sekolah/madrasah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia seutuhnya (insan kamil). Dalam pelaksanaan pendidikan karakter, semua komponen atau subyek sekolah/madrasah (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen substansi pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan kelas dan sekolah/madrasah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah/madrasah.
Singkatnya, sebagaimana diungkapkan Doni Koesoema A, M.Ed., “Pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh tidak sekedar membentuk anak-anak muda menjadi pribadi-pribadi yang cerdas dan baik, melainkan juga membentuk mereka menjadi “pelaku” bagi perubahan dalam hidupnya sendiri, yang pada gilirannya akan menyumbangkan perubahan bagi tatanan sosial kemasyarakatan menjadi lebih adil, baik, dan manusiawi.”.

B.     Pendidikan Karakter: Modal Membangun Peradaban dan Keadaban Bangsa

Dunia pendidikan saat ini diharapkan dapat menjadi motor penggerak sekaligus fasilitator dalam pelaksanaan pendidikan karakter, sehingga pada gilirannya secara umum masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama.
”Dari mana asalmu tidaklah penting, ukuran tubuhmu juga tidak penting. Namun ukuran otakmu yang cukup penting. Dan ukuran hatimu, itulah yang sangat penting”. Karena otak (pikiran) dan qalbu (hati) merupakan organ yang menyimpan potensi manusia paling kuat dalam menggerakkan seseorang dapat ”bertutur kata dan bertindak”.
Mungkin hal yang patut kita telaah dan renungkan dalam hati adalah, apakah telah memadai ”wahana” pembelajaran yang ada saat ini dalam memberikan peluang bagi peserta didik untuk meraih multi-kecerdasan yang mampu mengembangkan sikap-sikap mental mereka seperti: kejujuran, toleransi, integritas, komitmen, kerja keras, kedisipilinan, visioner, dan kemandirian?.
Potret sejarah bangsa Indonesia sesungguhnya telah memberikan pelajaran sangat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran, itulah yang sesungguhnya mengantarkan bangsa ini ke gerbang kemerdekaan. Melalui perdebatan tersebut kita banyak belajar, bagaimana toleransi dan keterbukaan para pendiri bangsa ini dalam menerima pendapat dan berbagai kritik saat itu. Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa mencermati, betapa kuat keinginan para pemimpin bangsa itu untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan, sehingga perbedaan-perbedaan tidak menjadi persoalan bagi mereka.
Karena itu pendidikan karakter dan kebangsaan harus digali dari landasan ideal “Pancasila” dan landasan konstitusional “UUD 1945” sebagai landasan berbangsa dan bernegara. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk Negara Kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak “pluralisme” tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia.
Pendidikan nilai-nilai karakter bangsa harus dimulai dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan non-formal. Tantangan saat ini dan ke depan adalah, bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai satu “kekuatan bangsa”. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.
”Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa” adalah kearifan dari keanekaragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter bukan hanya sekedar wacana tetapi realita dan kebutuhan yang nyata; bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan; dan bukan hanya simbol atau slogan tetapi keberpihakan yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad bangsa: “sekali merdeka, tetap merdeka”. (Muktiono Waspodo).

C.    Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Karakter

Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP) dan implementasi pembelajarannya di sekolah/madrasah, tujuan pendidikan nasional sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya adalah, pendidikan karakter di sekolah/madrasah selama ini baru menyentuh pada tingkatan “pengenalan” norma-norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan “internalisasi” dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design tersebut menjadi rujukan konseptual dan operasional bagi pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: “Olah Hati” (spiritual and emotional development), “Olah Pikir” (intellectual development), “Olah Raga dan Kinestetik” (physical and kinestetic development), dan “Olah Rasa dan Karsa” (affective and creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut. Secara lebih rinci, aspek-aspek dalam pendidikan karakter memuat 12 point, yaitu: Pendidikan Agama, Kejujuran, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai Prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta Damai, Gemar Membaca.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 disebutkan, bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non-formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah/madrasah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah/madrasah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter yang terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal di lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah/madrasah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah/madrasah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik.
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh sekolah/madrasah di Indonesia. Semua warga sekolah/madrasah tanpa kecuali, yang meliputi para peserta didik, guru, tenaga administratif, dan pimpinan menjadi sasaran program ini. Lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik bisa dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah/madrasah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan mendayagunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke “pengenalan nilai” secara kognitif, “penghayatan nilai” secara afektif, dan akhirnya ke “pengamalan nilai” secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada perlu segera dikaji dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkan secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah/madrasah.
Melalui program ini diharapkan lulusan-lulusan dari peserta didik dapat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, memiliki kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah/madrasah yang terpatri secara kokoh dan positif.

D.    Mengukur Keberhasilan Pendidikan Karakter

Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik, yang antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
1)      Mengamalkan nilai-nilai dan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik.
2)      Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri.
3)      Menunjukkan sikap percaya diri.
4)      Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas.
5)      Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, golongan sosial/ekonomi dalam lingkup nasional.
6)      Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif.
7)      Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif.
8)      Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
9)      Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
10)  Mendeskripsikan gejala alam dan sosial.
11)  Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab.
12)  Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
13)  Menghargai karya seni dan budaya nasional.
14)  Menghargai tugas/pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya.
15)  Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik dan positif.
16)  Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun.
17)  Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat.
18)  Menghargai adanya perbedaan pendapat.
19)  Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana.
20)  Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana.
21)  Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan lanjutan.
22)  Memiliki jiwa kewirausahaan.

Adapun pada lingkup lembaga pendidikan (sekolah/madrasah), kriteria keberhasilan pendidikan karakter adalah terbentuknya “budaya sekolah/madrasah” (yang meliputi: prilaku, tradisi, kebiasaan sehari-hari, pola dan hubungan kerja, serta simbol-simbol yang dipraktekkan oleh semua civitas sekolah/madrasah, termasuk masyarakat sekitar) yang berlandaskan pada nilai-nilai pendidikan karakter sebagaimana tersebut di atas [ ].
Demikian. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi as-showab.

*********

(Disampaikan pada Forum Silaturahmi dan Halal Bi Halal
Keluarga Besar KKMI se-Wilayah Kec. Karangampel – Kedokan Bunder
Kab. Indramayu, Rabu, 12 September 2012/25 Syawal 1433 H)



”Apa yang aku pikirkan adalah suatu kebenaran yang mungkin mengandung kesalahan menurut orang lain. Dan apa yang orang lain pikirkan, bagiku adalah suatu kesalahan yang juga bisa mengandung kebenaran. Maka, raihlah hanya kebenaran itu saja, meski ia keluar dari mulut seekor keledai sekalipun. Dan kebenaran itu, selamanya tidak akan mampu diraih oleh orang-orang yang senantiasa sibuk membenarkan dirinya sendiri”

(Adapted from Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i RA.)

Rabu, 28 Maret 2012

Dinamika Kajian Al-Qur'an di Indonesia

Model Penelitian Tafsir:
DINAMIKA KAJIAN AL-QUR'AN DI INDONESIA
(Diadaptasi dari Karya Howard M Federspiel: Popular Indonesian Literature of the Qur'an, Edisi Bahasa Indonesia: Kajian Al-Qur’an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga Quraisy Syihab, Terjemah: Tajul Arifin,
(Bandung: Mizan Press, 1996)

Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.



Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, sekaligus menjadi pusat studi keislaman (centre of Islamic learning) yang dianggap paling penting di Asia Tenggara. Sejak abad ke-16, bahkan jauh sebelumnya, yakni pada abad ke-12, di Indonesia telah muncul para ilmuan (ulama) yang berhasil menyusun buku-buku tentang kajian keislaman, yang pengaruhnya tidak hanya dirasakan di Indonesia, akan tetapi meluas hingga ke luar kawasan Asia Tenggara. Anthony H. Johns, dalam kesimpulan tulisannya “Islam in the Malay World: an Explanatory Survey with Some Reference to Qur'anic Exegesis” yang dimuat di dalam buku Islam in Asia (1984), menjelaskan bahwa pemikiran umat Islam di Indonesia pada waktu itu telah menunjukkan prestasi yang cukup gemilang, dan telah menghasilkan banyak tulisan tentang ilmu-ilmu Islam tradisional.[1] Diantara ilmuwan muslim (ulama) yang dianggap penting pada masa itu adalah Hamzah Fanshuri, Ar-Raniri, dan Syamsuddin dari Pasai.

Pada masa selanjutnya, yaitu pada masa pendudukan Belanda dari tahun 1600 sampai 1942, pemikiran umat Islam di Indonesia terus mengalami perkembangan dan memberi identitas tersendiri bagi wilayah tersebut. Tulisan-tulisan Van Ronkel, Snouck Hurgronje, dan lain-lain[2] yang disusun pada awal abad ke-20 menunjukkan bahwa telah terdapat banyak tulisan tentang Islam yang disusun dalam bahasa Arab, Melayu, dan bahasa lokal di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Sebagaimana di dunia Islam lainnya pada masa itu, banyak tulisan yang pandangan-pandangannya bernuansa mistis, dan sebagian lainnya terfokus pada masalah tingkah laku dan perbuatan baik (etika), pengungkapan kembali kisah-kisah, balada, dan cerita-cerita petualangan masa lalu dengan menggunakan ciri, simbol, dan istilah Islam. Beberapa dari literatur tersebut telah tersebar luas tidak hanya di wilayah Asia Tenggara, akan tetapi memiliki skala internasional, seperti pemikiran-pemikiran dalam bidang hukum (fiqih) dan teologi (tauhid) karya Nawawi Al-Bantani (ulama asal Banten, Jawa Barat).[3]

Begitu pun pada masa selanjutnya hingga memasuki abad ke-20, tradisi keilmuan dan pemikiran Islam di Indonesia terus mengalami perkembangan. Bahkan semakin banyak buku yang ditulis dan menjadi kontribusi penting bagi khazanah keislaman tidak hanya di wilayah Asia Tenggara. Namun demikian, berbeda dengan corak pemikiran Islam di Indonesia masa sebelumnya, pada masa itu buku-buku atau pemikiran Islam yang ditulis umumnya mulai menghindari mistisisme, serta lebih menekankan kajian seputar teologi tradisional dan doktrin-doktrin para ahli hukum serta praktek-praktek Islam kelompok Sunni. Para penulis pada masa itu lebih merefleksikan pemikiran-pemikiran Rasyid Ridha, Maududi, dan lain-lain dari kalangan muslim modernis dan neo-fundamentalis. Diantara mereka yang bisa disebutkan adalah Hamka, Hasan, dan Ash-Shiddiqi yang tulisan-tulisannya lebih banyak membahas ajaran Islam bagi sasaran pembaca yang telah dipengaruhi oleh jiwa nasionalisme dan pemikiran ilmiah.[4]

Namun demikian, jika dibandingkan dengan tema-tema kajian keislaman lainnya yang berkembang di Indonesia, kajian tentang al-Qur’an (tafsir) pada saat itu relatif kurang diminati. Hal ini diantaranya dilatarbelakangi oleh cara pandang umat Islam pada masa itu yang masih sangat dogmatis dan ortodoks dalam memahami keterangan hadits Nabi yang menyatakan, “barang siapa menafsirkan al-Qur’an dengan jalan pikirannya sendiri (hawa nafsunya), maka ia diancam masuk neraka”.
)مَنْ فَسَّرَ الْقُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ عَلَى النِّيْرَانِ(.
Kondisi demikian menjadikan kajian tentang al-Qur’an (tafsir) menjadi stagnan dan kurang berkembang di Indonesia, terutama pada masa-masa pra-kemerdekaan. Dalam terminologi sejarah, dapat dikatakan di sini bahwa dinamika pemikiran keislaman di Indonesia memiliki "trend"-nya sendiri-sendiri sesuai dengan konteks zamannya masing-masing, termasuk di dalamnya kajian tentang al-Qur'an (tafsir) yang akan dipaparkan secara lebih lanjut di dalam tulisan ini.

Rumusan dan Batasan Masalah

Terkait pokok-pokok pemikiran di atas, masalah yang akan dirumuskan di dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
  1. Bagaimanakah periodeisasi perkembangan kajian al-Qur'an di Indonesia pada masa modern, yang dimulai sejak permulaan abad ke-20 (tahun 1900-an) hingga sekarang?, dan
  2. Apakah tema-tema besar (mayor themes) yang berkembang serta karakteristik yang muncul dalam dinamika kajian al-Qur'an di Indonesia pada masa itu ?.
Di dalam tulisan ini, penulis membatasi ruang lingkup pembahasannya pada konteks Indonesia modern, yakni sejak munculnya semangat nasionalisme bangsa Indonesia pada permulaan abad ke-20 di masa penjajahan (awal tahun 1900-an) hingga masa kemerdekaan (tahun 1945) yang di ikuti dengan masa-masa selanjutnya, yakni masa pembangunan nasional di Indonesia hingga menjelang permulaan abad ke-21.

Metodologi

Berdasarkan sumber data dan cara pemaparan yang digunakan, penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian kualitatif-deskriptif yang berfokus pada aktifitas mengkaji literatur (library research). Di dalam penelitian ini, seluruh data yang diperoleh dari literatur kepustakaan, baik berupa buku, dokumen, artikel, atau hasil-hasil penelitian, dianalisis secara kualitatif menggunakan metode analisis induktif.

Adapun metode analisis yang dipakai di dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan 2 (dua) macam metode, yaitu Deskriptif-Historis (metode ini digunakan untuk mengidentifikasi dan menjabarkan unsur-unsur historisitas/latar belakang sosio-kultural terkait dengan objek penelitian), dan Content Analysis (metode ini digunakan untuk mengkaji secara kritis-analitis terhadap substansi-substansi). Dengan kata lain, metode atau analisis yang dilakukan oleh penulis terhadap objek kajian di dalam tulisan ini adalah menyangkut 2 aspek, intrinsik (aspek isi) dan ekstrinsik (aspek luar atau historisitas).

Landasan Teoritik dan Ukuran-Ukuran

Untuk mendekati atau mengkaji objek penelitian ini, penulis menerapkan suatu model atau perangkat teoritik yang telah lama dikembangkan dan dianggap lazim sejak tahun 1984 yang menjelaskan tentang ciri-ciri dasar pengkajian Islam, terutama Islam Sunni, dengan standar atau ukuran-ukuran sebagai berikut:[5]
  • Bahwa ulasan tentang prinsip-prinsip Islam sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits, telah diperluas dan dijabarkan oleh para ahli (ulama) terkemuka sejak masa-masa terdahulu dalam berbagai bidang keilmuan, antara lain oleh: Al-Asy'ari, Al-Bukhari, Al-Ghazali, Abu Hanifah, Ibnu Taimiyah, Asy-Syafi'i, Ath-Thabari, dan lain-lain. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam karya Brockelmann yang berjudul Geschichte des Arabischen Literatuur.
  • Bahwa bahasa Arab merupakan bahasa yang dianggap sakral dan secara sangat setia digunakan oleh umat Islam di dalam mengekspresikan masalah-masalah dan ritual keagamaan termasuk nama-nama, istilah-istilah, terminologi-terminologi, dan pengutipan-pengutipan dari sumber ajaran. Hal ini sebagaimana dijelaskan Padwich dalam bukunya Muslim Devotions (Ketaatan Orang-orang Islam), dan Hughes dalam bukunya Dictionary of Islam (Kamus Islam).
  • Adanya upaya para pakar Islam untuk mengaplikasikan nilai-nilai Islam (Al-Qur'an) dalam kehidupan sehari-hari dan mengkontekstualisasi-kannya dengan persoalan kontemporer. Hal ini sebagaimana dijelaskan Juynboll dalam karyanya Handleiding tot de kennis van de Mohammedaansche wet, dan Kadduri dengan bukunya Law in the Middle East (Hukum di Timur Tengah).
  • Adanya perhatian yang sangat besar dari para pakar Islam terhadap pandangan-pandangan yang meragukan pentingnya Islam di dalam kehidupan masyarakat, atau dipandang sebagai pengkhianatan terhadap posisi Islam yang penting. Hal ini sebagaimana dijelaskan Smith di dalam bukunya Islam in the Modern World (Islam di Dunia Modern), dan Haikal di dalam bukunya The Life of Muhammad (Kehidupan Nabi Muhammad).    

Ruang Lingkup Pembahasan

Periodeisasi Perkembangan Kajian Al-Qur'an di Indonesia

Secara umum, periodeisasi kajian al-Qur'an di Indonesia dapat disejajarkan dengan alur sejarah Indonesia modern yang secara garis besar dibagi menjadi 2 masa, yaitu: masa penjajahan dan kaum nasionalis (yang meliputi jangka waktu dari permulaan abad ke-20 hingga tahun 1945), dan masa kemerdekaan dan pembangunan nasional (yang meliputi jangka waktu dari tahun 1945 hingga sekarang). Sketsa periodeisasi semacam ini memiliki alasan dan arti penting di dalam rangka mengungkap unsur-unsur historisitas (latar belakang pemikiran) kajian keislaman di Indonesia, khususnya kajian al-Qur'an, yang memang tidak pernah lepas dari konteks atau "trend" keindonesiaannya.

Masa Penjajahan dan Kaum Nasionalis (Permulaan Abad ke-20 sampai Tahun 1945)

Masa Kejayaan Sarekat Islam (1912-1926)

Periode ini merupakan masa munculnya 3 (tiga) kekuatan besar dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia, yang ketiga-tiganya lahir dari organisasi Sarekat Islam, yaitu: Nasionalis, Komunis, dan Muslim.

Pada periode ini, hampir semua sekolah Islam di Indonesia dalam mempelajari ajaran agama Islam bersandar sepenuhnya pada karya-karya Arab klasik. Di bidang tafsir al-Qur'an misalnya, Tafsir Jalalain merupakan tafsir yang paling populer pada saat itu. Meski karya-karya para penulis muslim modern dari Mesir telah mulai digunakan oleh para ilmuwan tertentu, seperti Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, namun teks semacam itu bukan merupakan trend umum. Selain itu, meski beberapa sekolah yang telah berinteraksi dengan pemikiran muslim modern mulai memperkenalkan beberapa buku teks berbahasa Indonesia ke dalam kelas-kelas mereka, namun ini pun bukan merupakan sesuatu yang umum.[6]

Pada masa ini, Hamka, di dalam bukunya Ilmu Sejati, telah mengemukakan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam dengan mengemukakan ayat-ayat tertentu dari al-Qur'an dan mengomentarinya. Karya ini merupakan embrio tafsir yang kemudian menjadi karya tafsirnya yang terkenal.[7]

Pada masa ini pula, Mahmud Yunus mulai mengerjakan tafsirnya. Dikemukakan bahwa dia mula-mula memulai penerjemahan al-Qur'an dengan menggunakan tulisan Jawi, yaitu dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia dalam bentuk tulisan Arab (Arab Melayu) yang memang lazim digunakan pada awal abad ke-20. Pada tahun 1922, Yunus telah berhasil menerbitkan 3 (tiga) bab karya terjemahan al-Qur'annya, yaitu ketika "…pada umumnya para sarjana agama di Indonesia menyatakan bahwa menerjemahkan al-Qur'an adalah diharamkan".[8] Hingga beberapa tahun kemudian, ketika ia menjadi mahasiswa di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, ia memperoleh dorongan dari salah seorang gurunya yang menjelaskan bahwa upaya penerjemahan yang dilakukan olehnya untuk memberitahu umat Islam adalah diperbolehkan (mubah), bahkan menjadi fardhu kifayah, karena penerjemahan al-Qur’an akan sangat membantu umat Islam non-Arab di dalam memahami ajaran Islam. Yunus mengemukakan bahwa interpretasi gurunya tersebut telah mendorongnya melanjutkan kegiatan penerjemahannya terhadap al-Qur'an.[9]       

Masa Munculnya Pluralitas dalam Aktifitas Kaum Nasionalis (1926-1945)

Periode ini merupakan masa munculnya pluralitas (perbedaan) paham nasionalisme kebangsaan di Indonesia, antara nasionalis murni yang dimotori oleh Soekarno dalam Partai Nasional Indonesia (PNI) di satu sisi, dan nasionalis Islam di sisi lain. Pada masa ini gerakan organisasi-organisasi masyarakat (ormas) Islam di Indonesia semakin menunjukkan eksistensinya, seperti Muhammadiyah yang tampil sebagai organisasi terbesar bagi kalangan Islam modernis, dan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi terbesar bagi kalangan muslim tradisionalis. Selain itu, muncul pula organisasi-organisasi Islam lain dalam skala yang lebih kecil (minoritas) seperti Persatuan Islam (Persis), Al-Irsyad Al-Islamiyah, Persatuan Umat Islam (PUI), dan lain-lain.

Masa ini merupakan era pertama dalam kajian al-Qur'an di Indonesia pada masa modern, yang ditandai dengan munculnya terjemahan-terjemahan dan komentar (tafsir) terhadap al-Qur'an dalam bahasa Indonesia. Karya-karya tersebut sangat dihargai dan digunakan secara luas oleh kaum modernis muslim.

Pada masa ini pula Hamka melanjutkan karyanya dalam bidang al-Qur'an dengan menerbitkan Tafsir Juz 'Amma yang diberinya judul Al-Burhan. Di dalam tafsirnya tersebut dia memadukan pendapat-pendapat para mufassir klasik dan abad pertengahan seperti Al-Baghdadi, Al-Razi, Ibnu Katsir, dan Ath-Thibi, dengan pendapat-pendapat kaum modernis dari Mesir seperti Muhammad Abduh dan Thanthawi Jauhari.[10]

Selain Hamka, Munawar Khalil juga mulai menyusun tafsir al-Qur'an yang terdiri atas beberapa jilid dalam bahasa Jawa yang diberi judul Tafsir Qur'an Hidjaatur Rahman. Pada masa ini, ada pula intelektual muslim yang menulis tentang al-Qur'an dengan menggunakan bahasa Belanda, seperti Syekh Ahmad Surkati dengan karyanya yang berjudul Zedeleer uit den Qur'an (Ajaran Kedisiplinan dari Al-Qur'an), dan karya Ibnu Idrus Gouden Regels uit den Qoeran (Aturan-aturan yang Indah dari Al-Qur'an).[11]

Di samping itu, muncul pula Tarikh Al-Qur'an (Sejarah Al-Qur'an) yang diterbitkan di Medan pada tahun 1941 oleh Adnan Lubis, lulusan Perguruan Tinggi Nadwa, India. Karya tersebut pada mulanya merupakan bagian terjemahan dari tafsir al-Qur'an karangan Maulvi Mohammed Ali, ulama Ahmadiyah cabang Lahore, yang diperkenalkan pertama kali oleh Cokroaminoto pada tahun 1920-an. Namun tafsir tersebut banyak dikritik oleh para ulama di Indonesia karena terjemahannya dianggap terlalu bebas dan bertentangan dengan hadits-hadits shahih.[12]  

Pada sekitar tahun 1930, Mahmud Yunus dan seorang kawannya, H.M.K. Bakri, telah pula menerbitkan terjemahan dan tafsir yang diberi judul Tafsir Al-Qur'an Al-Karim yang merupakan kelanjutan dari usaha Yunus yang telah dirintisnya pada masa-masa sebelumnya. Pada masa ini pula mulai dirintis upaya-upaya lain terkait dengan kajian dan penerjemahan al-Qur'an, seperti penyusunan Kamus Arab-Indonesia oleh Mahmud Yunus, dan sistem transliterasi Arab-Latin oleh Ahmad Hassan.[13] 
                
Masa Kemerdekaan dan Pembangunan Nasional (Tahun 1945 sampai sekarang)

Dibandingkan masa sebelumnya, secara politik, periode ini pada dasarnya menunjukkan stabilitas politik yang cukup baik bagi perpolitikan di Indonesia, meskipun goncangan-goncangan internal antar sesama bangsa Indonesia kerap kali meletup, terutama pada masa-masa awal kemerdekaan (Orde Lama). Namun, pada masa ini kekuatan asing sama sekali tidak lagi menguasai Indonesia.

Kajian Al-Qur'an di Masa Orde Lama

Pada masa awal-awal kemerdekaan, jarang sekali karya-karya atau kajian al-Qur'an yang muncul. Hal ini disebabkan iklim politik saat itu yang sangat buruk. Namun demikian, di sepanjang masa kejayaan Orde Lama, terdapat beberapa karya yang berhasil diterbitkan, diantaranya adalah:[14] Al-Wahyu dan Al-Qur'an karya Ali Alhamidy, Pelajaran Tafsir Qur'an (1955) karya H.M.K. Bakri dan M. Nur Idrus, Al-Djawahir (buku bacaan berisi ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits pilihan, terbit akhir 1955) karya Ahmad Hassan, Terjemah Shahih Muslim (1956) oleh Razak dan Lathief, Al-Qur'an dan Ajaran-ajarannya (berasal dari ceramah-ceramahnya di Universitas Indonesia yang merupakan analisisnya terhadap tema-tem al-Qur'an, terbit pada tahun 1965), Tafsir Al-Azhar (mereflksikan kekacauan politik saat itu, karena tafsir tersebut ditulis ketika penulisnya di penjara, dan mengekspresikan perhatiannya tentang menyusupnya komunis ke dalam pemerintahan) karya Hamka, Tafsir Qur'an Al-Majied (terbit tahun 1960-an) karya M. Hasbi Ashiddieqy, tafsir tersebut kemudian menjadi Tafsir An-Nur dan Al-Bayan.   

Kajian Al-Qur'an di Masa Orde Baru

Dibanding masa orde lama, suhu politik dan stabilitas masyarakat pada masa orde baru ini relatif lebih stabil. Kegiatan kajian terhadap al-Qur'an pun menjadi lebih terkonsentrasi. Di antara karya-karya kajian al-Qur'an yang muncul di sepanjang periode ini (Orde Baru) adalah:[15] Al-Qur'an dan Terjemahnya dan Al-Qur'an dan Tafsirnya (disusun atas prakarsa Mukti Ali, Menteri Agama saat itu, melalui suatu Badan yang ditunjuk yang terdiri atas ulama dan intelektual muslim IAIN. Kedua karya tersebut disusun sebagai upaya untuk menciptakan tafsir resmi yang diharapkan dapat mengarahkan para guru agama dalam menyesuaikan pelajaran-pelajaran al-Qur'an, khususnya dalam tulisan-tulisan, khutbah-khutbah, dan pengajaran mereka). Selain itu, pada periode ini juga mulai diadakan tradisi Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ), sebagai bagian dari program pemerintah tahap kedua saat itu, hingga melahirkan satu set petunjuk-petunjuk praktis dan metodologi baru dalam menghafal dan membaca al-Qur'an.

Tema dan Karakteristik Kajian Al-Qur'an di Indonesia

Secara garis besar, tema-tema besar (mayor themes) dalam kajian al-Qur'an di Indonesia pada era modern (sejak permulaan abad ke-20 hingga sekarang) dapat diklasifikasi sebagai berikut:

Tema Kajian Tentang Memahami Al-Qur'an

Diantara buku-buku yang ditulis terkait dengan tema di atas adalah sebagai berikut:[16]
Tafsir Al-Azhar, karya Dr. Hamka (1908-1981. Ia adalah seorang tokoh muslim penting sejak sebelum Perang Dunia II, dan kemudian lebih dikenal sebagai pemimpin masyarakat muslim Indonesia pada akhir tahun 1970-an. Ia menulis beberapa novel, sebuah biografi penting, dan beberapa karya dalam bidang akhlak dan penyesuaian agama terhadap masalah kontemporer).
  • Sejarah Al-Qur'an, karya Aboebakar Atjeh (1900-1970. Ia lebih terkenal karena karyanya tentang mistisisme Islam dan sebuah biografi penting, sekalipun ia juga menulis banyak buku dalam bidang-bidang keislaman lainnya).
  • Al-Qur'an: Mu'jizat Terbesar Kekal Abadi, karya H. Oemar Bakry (lahir 1916. Seorang pengusaha percetakan dan ilmuwan independen yang aktif dalam aktifitas dakwah, telah mempersiapkan banyak buku dan artikel tentang krisis kehidupaan beragama pada abad ke-20).
  • Tafsir Rahmat, karya H. Oemar Bakry.
  • Tafsir Qur'an, karya Zainuddin Hamidy (wafat 1957. Telah menulis bersama-sama dengan para penulis lainnya dari Sumatera dalam menyelesaikan tafsir al-Qur'an pada pertengahan abad ke-20, dan untuk membantu mengatasi larangan studi-studi seperti itu) dan Hs. Fachruddin.
  • Tafsir Al-Qur'anul Karim, karya A. Halim Hasan (1901-1969. Telah menulis bersama-sama dengan para penulis lainnya dari Sumatera dalam menyelesaikan tafsir al-Qur'an pada pertengahan abad ke-20, dan untuk membantu mengatasi larangan studi-studi seperti itu), Zainal Arifin Abbas, dan Abdul Rahim Haitamy.
  • Al-Furqan: Tafsir Qur'an, karya Ahmad Hasan (1887-1962. Ia adalah seorang fundamentalis muslim Indonesia terkemuka yang berkiprah mulai tahun 1920-1950-an, menulis sejumlah karya dalam bidang pembelaan terhadap Islam, dan sejumlah buku tentang ajaran-ajaran Islam).
  • Benarkah Al-Qur'an Buatan Muhammad? (Sebuah Analisa), karya Jamaluddin Kafie (Tidak ditemukan biografi tentangnya, selain bahwa ia pernah belajar di pesantren).
  • Al-Qur'an dari Masa ke Masa, karya Munawar Khalil (lahir 1908. Telah membangun reputasinya dengan menulis satu karya tersebut, meskipun dia juga menulis beberapa karya lainnya).
  • Ilmu Tafsir Al-Qur'an sebagai Pengetahuan Pokok Agama Islam, karya Hadi Permono (lahir 1945. Dosen IAIN, telah menerbitkan beberapa karya lain tentang al-Qur'an dan Hadits).
  • Al-Qur'an: Sejarah dan Kebudayaan, karya Bahrum Rangkuti (lahir 1919. Seorang pemimpin militer profesional, dan kemudian menjadi pejabat di Departemen Agama, menulis tentang peranan umat Islam dan beberapa karya lainnya tentang beberapa lembaga Islam).
  • Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an/Tafsir, karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (lahir 1904-1975. Seorang ilmuwan terkenal di IAIN pertama pada tahun 1950-1960-an. Buku-bukunya berhubungan dengan penjelasan tentang ilmu-ilmu al-Qur'an dan penggunaan hadits dalam pembentukan hukum Islam).     
  • Tafsir Al-Bayan, karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.   
  • Keajaiban Ayat-ayat Suci Al-Qur'an, karya Joesoef Sou'yb (lahir dan wafatnya tidak diketahui. Ia adalah seorang jurnalis yang memiliki beberapa karya lainnya tentang sejarah yang meningkatkan reputasinya).  
  • Terjemah dan Tafsir Al-Qur'an: Huruf Arab dan Latin, karya Bachtiar Surin (lahir dan wafatnya tidak diketahui. Ia agak kurang dikenal sebagai seorang pengarang selain dalam karya-karyanya yang baru tentang al-Qur'an).
  • Al-Qur'an dan Tafsirnya dan Al-Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur'an. (Proyek ini didanai oleh pemerintah dan menarik sekelompok ulama yang dikenal akrab oleh para pejabat Departemen Agama, sebagian besar memiliki hubungan dengan IAIN. Kedua karya tersebut berhubungan dengan karya Mukti Ali (lahir 1930) yang juga terlibat dalam penyusunan kedua karya tersebut, dan kemudian menerbitkannya ketika ia menjadi menteri agama pada tahun 1970-an. Tim tersebut terdiri atas: Bustami A Ghani (Ketua), T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi (Wakil Ketua), Kamal Muhtar (Sekretaris), Anggota: Gazali Thaib, A. Mukti Ali, M. Thoha Yahya Umar, Amin Nashir, Timur Jailani, Ibrahim Husen, A. Musaddad, Mukhtar Yahya, A. Soenaryo, Ali Maksum, Musyairi Majdi, Sanusi Latif, dan Abdur Rahim).
  • Tafsir Qur'an Karim, karya H. Mahmud Yunus (1899-1973. Ia populer karena beberapa karyanya yang penting tentang pendidikan Islam di Indonesia, dan buku-bukunya tentang penggunaan hadits).
  • Pengantar Ulumul Qur'an, karya Masjfuk Zuhdi (lahir 1932. Dosen IAIN, telah menerbitkan beberapa karya lain tentang al-Qur'an dan Hadits).
Sebagian besar pengarang (penulis) di atas dibesarkan dan bekerja dalam waktu yang cukup lama pada masa penjajahan, meskipun tahun-tahun masa produktifnya dalam menulis baru terjadi setelah Indonesia merdeka. Pendidikan mereka dijalani di madrasah swasta dan pesantren, dan dalam hubungan guru-murid secara pribadi. Sebagian kecil dari mereka mampu melanjutkan studi di universitas di luar negeri seperti Mesir dan Pakistan. Beberapa orang di antara mereka akrab dengan literatur-literatur dari Barat, namun semuanya menguasai sumber-sumber tentang Islam berbahasa Arab.[17]

Secara umum, karya-karya di atas memiliki beberapa persamaan sebagai berikut: pertama, karya-karya tersebut sangat bergantung kepada terminologi dan konsep-konsep Arab yang sering disajikan sebagai konsepsi Islam. Kedua, karya-karya di atas jarang menghubungkan apa yang ada di dalam al-Qur'an dengan kondisi-kondisi tertentu di Indonesia. Selain Hamka, karya-karya di atas mengacu ke situasi-situasi umum yang melibatkan seluruh umat Islam yang seakan-akan tidak ada perbedaan wilayah, ras, atau berbagai kondisi sosial di antara mereka.

Dalam hal perkembangan tafsir di Indonesia, Howard membaginya menjadi 3 (tiga) periode, yaitu:[18]

Periode pertama, dimulai sejak permulaan abad ke-20 hingga awal tahun 1960-an. Pada periode ini kegiatan penafsiran dan penerjemahan terhadap al-Qur'an masih dilakukan secara terpisah-pisah.

Periode kedua, merupakan penyempurnaan atas upaya penerjemahan dan penafsiran pada periode pertama. Pada periode ini karya terjemahan dan tafsir sudah dilengkapi beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan kata per kata, dan disertai suatu indeks yang sederhana. Di antara karya tafsir yang termasuk periode ini adalah Tafsir Al-Furqan karya Ahmad Hasan, Tafsir Al-Qur'an karya Hamidy, dan Tafsir Al-Qur'anul Karim karya Mahmud Yunus.

Periode ketiga, muncul pada tahun 1970-an, merupakan usaha penafsiran yang lengkap. Penafsiran pada generasi ini banyak memberikan komentar-komentar yang luas terhadap teks bersamaan dengan terjemahannya. Tafsir pada periode ini memiliki bagian pengantar dan indeks yang memiliki keluasan dalam hal isi, tema, dan latar belakang (asbabun nuzul) al-Qur'an. Di antara karya tafsir yang termasuk periode ini adalah Tafsir Al-Bayan karya Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur'anul Karim karya Halim Hasan, dan Tafsir Al-Azhar karya Hamka.

Tema Kajian Tentang Apresiasi dan Aplikasi Nilai-Nilai Al-Qur'an: Penggunaan Al-Qur'an Yang Populer di Masyarakat

Kajian al-Qur'an di dalam tema ini merupakan dimensi lain dari kajian tentang al-Qur'an, yang lebih bersifat tematik, teknis, dan menjadi panduan praktis bagi pemahaman masyarakat secara umum. Di antara karya-karya kajian al-Qur'an yang menyangkut tema ini adalah:[19]
  • Berita Besar, karya HB. Jassin (lahir 1917. Seorang pengarang dan kritikus sastera yang sangat terkenal. Meskipun lahir dan dibesarkan sebagai seorang muslim, pendidikan Islamnya tidak begitu luas dan dia tidak dinilai oleh banyak orang sebagai seorang intelektual muslim, melainkan hanya merupakan anggota dari kaum intelektual Indonesia. Akan tetapi dia memilih untuk ikut membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan al-Qur'an).
  • Isi Pokok Ajaran Al-Qur'an, karya Syahminan Zaini (lahir 1933. Seorang staf pengajar pada IAIN dan aktif sebagai muballigh).
  • Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-kisah Al-Qur'an, karya Ahmad Hanafi (wafat 1968. Dosen IAIN yang banyak menulis tentang fiqih, teologi, dan kebudayaan. Ia diangkat sebagai guru besar pada tahun 1967).
  • Samudera Al-Fatihah, dan Rangkaian Cerita dalam Al-Qur'an, karya Bey Arifin (Aktif sebagai seorang jurnalis muslim di Surabaya dan banyak menulis dalam bidang-bidang Islam-Kristen).
  • Tafsir Surat Yaa-Siin, karya Zainal Abidin Ahmad (lahir 1911. Aktif sebagai seorang tokoh politik dan ilmuwan muslim yang memfokuskan diri pada studi-studi tentang al-Qur'an dan Hadits).
  • Pedoman Pentashihan Mushaf Al-Qur'an tentang Penulisan dan Tanda Baca, Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama, Departemen Agama (1976).
Selain buku-buku di atas, masih banyak buku lain yang juga ditulis kaitannya dengan tema di atas, meskipun data-data tentang pengarangnya agak sulit ditemukan, seperti: Tatacara Problematika Menghafal Al-Qur'an dan Petunjuk-petunjuknya, karya H.A. Muhaimin Zen (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1985), Makhluk-Makhluk Halus Menurut Al-Qur'an, karya Muhammad Ali Usman (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), Tuntunan Irama Al-Qur'an, karya T. Atmadi Usman (Jakarta: Bumirestu, 1981), Pelajaran Tajwid Al-Qur'an, karya Ismail Tekan (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1980), Perkembangan Seni Baca Al-Qur'an dan Qira'at Tujuh di Indonesia, karya Khadijatus Shalihah (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983), Qishahshul Anbiya: Sejarah 25 Rasul, karya Hadiah Salim (Bandung: Al-Ma'arif, 1984).

Karya-karya di atas, tentunya memberikan perspektif tambahan terhadap kajian al-Qur'an di Indonesia. Karya-karya tersebut menjelaskan kegiatan-kegiatan umat Islam yang berarti (praktis), dan mengemukakan berbagai upaya yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia untuk menciptakan kondisi yang mendukung terhadap pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut. Dalam hal ini, karya-karya di atas menawarkan satu dimensi lain tentang posisi al-Qur'an dalam keyakinan dan praktek umat Islam di Indonesia.
  
Tema Kajian Tentang Upaya Mempertahankan dan Memperluas Nilai-Nilai Ajaran Islam (Al-Qur’an)

Kajian-kajian al-Qur'an yang termasuk ke dalam tema ini secara umum ditulis sebagai bentuk respons dan kepedulian penulisnya terhadap arus fenomena modernitas serta tekanan-tekanannya yang secara terus-menerus menciptakan situasi di mana umat Islam, sebagaimana umat-umat agama lain, dituntut mampu menerapkan agamanya seperti semula. Dengan kata lain, kajian al-Qur'an di dalam tema ini berupaya mempertahankan eksistensi, merasionalisasikan, sekaligus menyesuaikan konteks al-Qur'an dengan masalah-masalah kontemporer.  

Diantara karya-karya yang termasuk ke dalam kajian al-Qur'an jenis tema ini adalah:[20]
  • Kewajiban Orang Beriman Terhadap Al-Qur'an, karya Syahminan Zaini (lahir 1930).
  • Tinjauan Psikologis Larangan Mendekati Zina dalam Al-Qur'an, karya Z. Kasijan (lahir 1936. Dosen IAIN sekaligus juru dakwah).
  • Al-Qur'an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), karya Ahmad Syafi'i Ma'arif (lahir 1935. Tokoh agama dan intelektual pembaharu muslim Indonesia).
  • Gizi dalam Al-Qur'an, karya M. Ali Husain (Ahli Gizi di Institut Pertanian Bogor. Tanggal kelahirannya tidak diketahui).
  • Al-Qur'an adalah Kebenaran Mutlak, karya Azwar Anas (lahir 1931. Ilmuwan dan pejabat pemerintahan).
  • Salah Paham Terhadap Al-Qur'an, karya Imam Munawwir (lahir 1947. Ilmuwan dan pejabat pemerintahan).
  • Refleksi Sosiologi Al-Qur'an, karya Dawam Rahardjo (lahir 1942. Seorang peneliti yang bekerjasama dengan pemerintah).
  • Al-Qur'an dan Perkembangan Alam Raya, karya M. Munir Faurunnama (Surabaya: Bina Ilmu, 1979).
  • Pancaran Al-Qur'an terhadap Pola Kehidupan Bangsa Indonesia, Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an (1980).
Dari tema-tema yang diangkat, secara umum karya-karya di atas berusaha mengkorelasikan al-Qur'an dengan konteks kekinian terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan, persoalan kemasyarakatan, dan lain-lain, serta melakukan kritik terhadap masalah-masalah kontemporer yang dianggap tidak selaras dengan ajaran al-Qur'an.
   
Sumber Rujukan yang Lazim Digunakan dalam Kajian Al-Qur'an di Indonesia

Secara umum, kajian-kajian al-Qur'an di Indonesia mengambil rujukan literatur dari kitab-kitab sebagai berikut:[21]
  • Al-Jami' As-Shahih (Shahih Al-Bukhari), karya Imam Al-Bukhari.
  • Shahih Muslim, karya Imam Muslim.
  • Tafsir Al-Qur'an Al-'Adzim, karya Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi.
  • Al-Qur'an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI.
  • Tafsir, karya Thanthawi Jauhari.
  • Tafsir Al-Maraghi, karya Imam Ahmad Mushthafa Al-Maraghi.
  • Tafsir Mahasin At-Ta'wil, karya Muhammad Jalaluddin Al-Qasimy.
  • Al-Qur'anul Karim: Al-Mushaf As-Syarif, diterbitkan oleh pemerintah Mesir pada tahun 1924.
  • Tafsir Al-Manar, karya Muhammad Rasyid Ridho.
  • Al-Itqan fi Ulum Al-Qur'an, karya Jalaluddin As-Suyuthi.
  • Muqaddimah Jami' Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an, karya Ibnu Jarir At-Thabari.
  • Tafsir Al-Kabir, karya Fakhruddin Ar-Razi.
  • Al-Mu'jam Al-Mufahras, karya M. Fuad Abdul Baqi.
  • Fadlailul Qur'an, karya Ibnu Katsir.
  • Tafsir Al-Jalalain, karya As-Suyuthi dan Al-Mahalli.
  • Bibel, Qur'an, and Sains Modern, karya Maurice Bucaille.
  • Islamic Political Thought, karya Montgomery Watt.

Penutup

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa dari segi teknik dan pendekatan yang digunakan, kajian al-Qur'an di Indonesia secara umum memiliki karakter sebagai berikut:

Pertama, sumber-sumber rujukan di dalam literatur kajian al-Qur'an di Indonesia didominasi oleh karya-karya berbahasa Arab yang telah ditulis oleh para ulama terdahulu, terutama dari masa klasik.

Kedua, dalam hal pengutipan ayat al-Qur'an, kurang adanya upaya yang maksimal untuk menginterpretasikan kembali makna-maknanya, dan dibiarkan tetap apa adanya seperti dikutip dari aslinya.

Ketiga, pandangan-pandangan tentang masalah kontemporer selalu didahului oleh premis-premis (keterangan) bahwa nilai-nilai Islam adalah nilai-nilai sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ulama terdahulu. Sedikit sekali upaya yang dilakukan untuk menginterpretasi kembali nilai-nilai tersebut dalam konteks kekinian, bahkan di kalangan modernis sekali pun.

Keempat, Dalam hal perkembangan tafsir di Indonesia, Howard membaginya menjadi 3 (tiga) periode, yaitu:
  • Periode pertama, dimulai sejak permulaan abad ke-20 hingga awal tahun 1960-an. Pada periode ini kegiatan penafsiran dan penerjemahan terhadap al-Qur'an masih dilakukan secara terpisah-pisah.
  • Periode kedua, merupakan penyempurnaan atas upaya penerjemahan dan penafsiran pada periode pertama. Pada periode ini karya terjemahan dan tafsir sudah dilengkapi beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan kata per kata, dan disertai suatu indeks yang sederhana. Di antara karya tafsir yang termasuk periode ini adalah Tafsir Al-Furqan karya Ahmad Hasan, Tafsir Al-Qur'an karya Hamidy, dan Tafsir Al-Qur'anul Karim karya Mahmud Yunus.
  • Periode ketiga, muncul pada tahun 1970-an, merupakan usaha penafsiran yang lengkap. Penafsiran pada generasi ini banyak memberikan komentar-komentar yang luas terhadap teks bersamaan dengan terjemahannya. Tafsir pada periode ini memiliki bagian pengantar dan indeks yang memiliki keluasan dalam hal isi, tema, dan latar belakang (asbabun nuzul) al-Qur'an. Di antara karya tafsir yang termasuk periode ini adalah Tafsir Al-Bayan karya Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur'anul Karim karya Halim Hasan, dan Tafsir Al-Azhar karya Hamka.
Kelima, tema-tema kajian al-Qur’an di Indonesia yang berkembang sepanjang awal abad ke-20 hingga sekarang, secara umum meliputi: pertama, tema tentang pemahaman al-Qur’an, kedua, tema tentang apresiasi dan aplikasi nilai-nilai al-Qur’an dalam kehidupan masyarakat, dan ketiga, tema tentang upaya mempertahankan eksistensi al-Qur’an dan perluasan ajaran-ajaran Islam (al-Qur’an).


DAFTAR PUSTAKA

Ali, A. Mukti, The Muhammadiyah Movement: A Bibliographical Introduction, (Montreal: Institute of Islamic Studies, McGill University, 1957).

Amrullah, Haji Abdul Malik Karim (Hamka), Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agaman, (Jakarta: Widjaya, 1950).

Federspiel, Howard M., Kajian Al-Qur'an di Indonesia, terj. Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. I.  

_____________________, The Political and Social Language of Indonesian Muslim: The Case of Al-Muslimun, Indonesia 38, (tp: Oktober 1984).

Israeli, Raphael, dan Anthoni H. Johns, Islam in Asia, (Jerussalem: Magnes Press, 1984).

Johns, Anthony H., “Islam in the Malay World: An Explanatory Survey with Some Reference to Qur'anic Exegesis”, dalam Raphael Israeli dan Anthoni H. Johns, Islam in Asia, (Jerussalem: Magnes Press, 1984).

Ronkel, Van, Supplement-Catalogus der Maleische en Minangkabausche Handscriften in de Leidshe Universiteits Bibliothek, (Leiden: E.J. Brill, 1921).

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1979).

________________ , Tafsir Qur'an Karim, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1973).


Catatan Kaki:

[1] Anthony H. Johns, “Islam in the Malay World: An Explanatory Survey with Some Reference to Qur'anic Exegesis”, dalam Raphael Israeli dan Anthoni H. Johns, Islam in Asia, (Jerussalem: Magnes Press, 1984), hlm. 115-161.

[2] Keterangan lebih lanjut, baca: Van Ronkel, Supplement-Catalogus der Maleische en Minangkabausche Handscriften in de Leidshe Universiteits Bibliothek, (Leiden: E.J. Brill, 1921).

[3] Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur'an di Indonesia, terj. Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996), cet. I, hlm. 18.
  
[4] Ibid.
[5] Howard M. Federspiel, The Political and Social Language of Indonesian Muslim: The Case of Al-Muslimun, Indonesia 38, (tp: Oktober 1984), hlm. 55-73.
[6] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1979), hlm. 41-49.
[7] Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agaman, (Jakarta: Widjaya, 1950), hlm. 36.

[8] Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1973), hlm. iii.

[9] Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur'an di Indonesia, hlm. 34.
[10] Ibid., hlm. 38.  

[11] Ibid.

[12] Mukti Ali, The Muhammadiyah Movement: A Bibliographical Introduction, (Montreal: Institute of Islamic Studies, McGill University, 1957), hlm. 41.
[13] Howard M Federspiel, Kajian Al-Qur'an di Indonesia, hlm. 40.  

[14] Ibid., hlm. 42-57.  
[15] Ibid., hlm. 57-73.  

[16] Ibid., 102-106.
[17] Ibid., hlm. 103.
[18] Ibid., hlm. 129-143.
[19] Ibid., hlm. 162-164.

[20] Ibid., hlm. 224.

[21] Ibid., hlm. 113, 174, 232, 281.