Kamis, 28 Maret 2013

Biografi Imam Jalaluddin As-Suyuthi


“BIOGRAFI IMAM JALALUDDIN AS-SUYUTHI”


Nama lengkap beliau adalah:
أبو الفضل جلال الدين عبد الرحمن بن الكمال أبي بكر بن محمد بن سا بق الدين بن الفخر بن عثمان بن ناظر الدين محمد بن سيف الدين حضر بن نجم الدين أبي صلاح أيوب بن ناصر الدين محمد بن الشيخ همام الدين الهمّام الخضيري السيوطي.

Adapun nama kunyahnya adalah “Abu al-Fadhl”, sedangkan nama laqabnya adalah Jalaluddin As-Suyuthi. Beliau dilahirkan setelah maghrib pada malam ahad di awal bulan Rajab, tepatnya pada tahun 849 H, di Kairo, Mesir. Imam As-Suyuthi pernah melakukan perjalanan ke beberapa negeri seperti Syam, Hijaz, Yaman, Hindi, Maghrib, dan Takrur hanya untuk menimba ilmu. Ayah Imam As-Suyuthi meninggal dunia ketika umur beliau menginjak 5 tahun 7 bulan. Imam As-Suyuthi telah mengkhatamkan Al-Qur’an ketika umurnya baru 8 tahun, ia banyak menghafal matan-matan hadis yang ia ambil dari banyak guru, jumlah mereka itu menurut muridnya, al-Dawudi, mencapai 51 orang.

Karya-karya Imam As-Suyuthi mencapai tak kurang dari 500 kitab. Ia mempunyai keistimewaan dalam kecepatannya mengarang kitab, sehingga muridnya, al-Dawudi, menceritakan: “aku melihat Syaikh (Imam As-Suyuthi) menulis kitab dalam satu hari sebanyak 3 bab”. Adapun mengenai nisbah kepada الخضيري ia berkomentar bahwa tidak ada yang lebih mengetahuinya kecuali al-khudairiyah (الخضيرية), yaitu tempat kering di Baghdad. Imam As-Suyuthi pada umur 8 tahun sudah hafal al-Quran, kemudian beliau menghafal kitab al-Umdah, Manhaj, Fikih, Ushul, dan Alfiyah bin Malik. Beliau mulai berkecimpung dalam kesibukan ilmu pengetahuan dari tahun 864 H, yaitu ketika umur beliau 15 tahun. Beliau belajar Fikih dan Nahwu serta belajar ilmu Faraidh dari Syeikh Syihabuddin al-Syarimasahi, beliau belajar bersama Syaikhul Islam Ilmuddin al-Bulqini dalam bidang Fikih sampai beliau meninggal dunia. Beliau membacakan kepada anaknya al-Bulkini dari awal al-Tadrib sampai al-Wakalah, beliau juga mendengarkan kepadanya dari awal al-Hâwi al-Shagîr sampai berkali-kali, beliau juga mendengar dari al-Bulkini isi kitab al-Manhâj dari awal sampai bab zakat, dan sebagian dari kitab al-Raudhah dari bab Qadha, serta sebagian syarah al-Manhâj Imam Zarkasyi. Beliau belajar bersama Syaikhul Islam Syarafuddin al-Manawi lalu beliau membacakan kepadanya sebagian dari isi kitab al-Manhâj, beliau juga belajar syarah al-Bahjah dan Hasyiah Tafsir al-Hanafi, di samping itu beliau juga belajar hadis dan Bahasa Arab kepada Taqiyuddin al-Hanafi. Beliau menekuninya dalam waktu 4 tahun, dan beliau sempat belajar bersama Al-‘Allamah Ustadz Mahyuddin al-Kafiji selama 14 tahun, beliau belajar darinya berbagai macam ilmu, mulai dari Tafsir, Ushul, Bahasa Arab, Ma’ani, dll.

Imam As-Suyuthi adalah orang yang paling alim di zamannya di bidang ilmu hadis dan berbagai cabangnya, rijalul hadis, gharib, matan hadis, sanad, serta istimbat kepada hukum-hukumnya. Beliau telah mengkhabarkan bahwa dirinya telah menghapal 200 ribu hadis. Beliau berkata: “Seandainya aku mendapati lebih banyak hadis niscaya akan lebih banyak yang bisa aku hapal”. Ketika umur beliau mencapai 40 tahun, beliau mengosongkan segala aktivitasnya, hanya untuk beribadah, dan beliau berpaling dari dunia dan masyarakatnya, beliau juga meninggalkan untuk berfatwa dan tidak juga menjalani ativitas mengajar, beliau mengemukakan semua itu dalam karyanya yang berjudul al-Tanfis. Imam As-Suyuthi bermukim di Raudhah al-Miqyas dan tidak berpindah sampai beliau meninggal dunia. Beliau mempunyai sifat-sifat yang baik dan karamah yang banyak, beliau juga banyak sekali mempunyai pengetahuan syair, beliau menguasai secara mendalam faedah-faedah keilmuan, dan hukum-hukum syara’. Adapun Suyuth adalah nama negeri kelahiran ayahnya. Beliau belajar dan menimba berbagai macam ilmu pengetahuan dari para tokoh ulama pada masa itu, sehingga beliau banyak menguasainya dan menjadi tokoh yang paling menonjol di antara teman-temannya. Beliau pernah menjabat mufti selama beberapa tahun dan mengajar di madrasah Al-Syaikhuniyah, kemudian di madrasah Al-Bibersiyah.

Pada usia tuanya beliau banyak beristirahat dan ber’uzlah di rumahnya, yaitu di Raudhah, beliau menekuni ibadah dan menulis kitab. Banyak sekali ulama yang membuat biografi Imam As-Suyuthi, di antara mereka adalah muridnya Al-Hafidz al-Dawudi membuat biografi tersendiri dari kitab gurunya Al-Hafidz As-Suyuthi, Imam As-Suyuthi sendiri juga membuat biografi tentang dirinya dalam banyak kitab, dan salah satu kitab itu menyebutkan sesuatu yang tidak dijelaskan dalam kitab lainnya. Banyak juga yang membuat biografi beliau dari kalangan pendukung bahkan penentang beliau, demikian juga orang yang bersikap moderat di antara keduannya. Di antara ulama dahulu yang membuat biografi beliau adalah Imam Ibnu Iyas dalam kitab sejarahnya. Juga pemilik kitab al-Kawâkib al-Sirâh, dan Abdul Ghani al-Nablisy. Salah seorang dari ulama modern yang membuat biografi Imam Sayuthi adalah Imam al-Muhaqqiq Sayid Abdul Hay al-Kanani. Jalaluddin As-Suyuthi merupakan puncak dari tokoh-tokoh ulama yang berpengaruh sehingga banyak yang mengomentarinya baik orang yang mencela maupun orang yang memujinya.

Beliau adalah orang yang produktif dalam karyanya, beliau juga memiliki daya ingat yang kuat dan semangat tinggi sejak kecil. Beliau belajar dan nyantri kepada guru-gurunya yang jumlahnya mencapai 600 orang. Keagungan dan kemuliaan yang didapat As-Suyuthi, serta lautan ilmu yang begitu luas, tak lepas dari do’a orang-orang shalih dan guru-guru beliau yang senantiasa menjadi pembimbingnya, hal ini beliau ungkapkan sendiri, katanya: “semasa ayahku masih hidup, aku dibawa kepada Syaikh Muhammad al-Majdzub, yaitu seorang wali yang terkenal di dekat al-Masyhad al-Nufaisi, lalu beliau memberkatiku. Manakala aku berhaji dan minum air zam-zam, itu karena beberapa motivasi, di antaranya: 1) supaya di dalam fikih aku disampaikan kepada derajat guruku Sirajuddin al-Bulqini, 2) di bidang hadis mencapai derajat al-Hafidz Ibnu Hajar.

Di samping ilmunya yang banyak, ia adalah seorang yang mulia, dermawan, shalih, tidak pernah berambisi pada kekuasaan dan tidak pernah minta bantuan kepada pemerintah atau raja-raja. Diriwayatkan bahwa Sultan al-Ghuri pernah mengirim kepadanya seorang budak bersama uang seribu dinar. Tetapi ia menolak uang seribu dinar tersebut dan menerima budak untuk dimerdekakannya dan dijadikan sebagai pelayan masjid Nabawi, ia sering dikunjungi oleh para penguasa, Amir dan menteri dengan membawa berbagai pemberian dan hadiah, namun ia selalu menolaknya. Dia juga berkata kepada para pejabat, “jangan datang kepadaku selalu membawa hadiah, karena Allah telah mencukupiku dari hal seperti itu”. Ia tidak mondar-mandir kepada raja, juga tidak kepada lainnya. Raja selalu mengundangnya dan dikatakan kepadanya, bahwa sebagian wali Allah mondar-mandir menemui raja-raja dan pejabat dalam kebutuhan manusia. Dia menjawab: “mengikuti ulama salaf serta tidak mondar-mandir kepada raja dan pejabat adalah lebih selamat bagi agama orang Islam”. Imam As-Suyuthi berkata: “Aku dianugerahi oleh Allah lautan dalam 7 ilmu, yaitu: Tasir, Hadis, Fikih, Nahwu, Ma’ani, Bayan dan Badi’. Dengan banyaknya ilmu yang dikuasai, Imam As-Suyuthi telah sampai pada derajat yang tinggi, beliau menghimpun dengan tangannya sendiri berbagai macam kitab dan karangan, maka jadilah beliau seorang yang mempunyai pengetahuan dan pandangan yang luas, sampai-sampai beliau diberi gelar “Ibn Kutub”(إبن الكتب).

Imam As-Suyuthi tidak akan pernah menjadi apa-apa tanpa peran seorang guru, berikut adalah guru-guru beliau yang masyhur: Syaikh Ilmuddin al-Bulkini, kepadanya beliau belajar Fiqih Asy-Syafi’i; Syaikh Syarafuddin al-Manawi, guru beliau dalam bidang ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab; Syaikh Mahyuddin al-Kafiji (W. 879 H); Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Musa al-Sairami, kepadanya beliau membaca Shahih Muslim dan al-Syifa serta yang lainnya; dan Taqiyuddin al-Hanafi, guru Imam As-Suyuthi dibidang hadis dan Bahasa Arab.

Adapun murid-murid Imam As-Suyuthi yang menjadi pelengkap bagi kemasyhuran beliau di antara mereka yang terkenal adalah: 1. Muhammad bin Ali al-Dawudi (W. 945 H) 2. Zainuddin Abu Hafash Umar bin Ahmad al-Syima’i (W. 936 H) 3. Muhammad bin Ahmad bin Iyas (W. 930 H) 4. Muhammad bin Yusuf al-Syami al-Shalihi al-Mishri (W. 942 H) 5. Ibnu Thulun Muhammad bin Ali bin Ahmad (W. 953 H) 6. Al-Syarani, Abdul Wahab bin Ahmad (W. 973 H), beliau wafat di Kairo.

Imam As-Suyuthi diklasifikasikan sebagai salah seorang aulia Allah oleh Al-Nabhani dalam kitabnya Jami’ Karamat al-Auliya. Salah satu cerita yang menarik adalah Imam As-Suyuthi pernah melihat Nabi SAW di dalam mimpi, dan beliau bertanya kepada Nabi SAW tentang sebagian hadis, dan Nabi SAW berkata kepadanya “Bawalah kemari yaa syaikhussunnah”. Dia melihat dirinya ini di dalam mimpi dan Nabi berkata kepadanya: “bawalah kemari yaa syaikhul hadis”. Muridnya, al-Syaikh Abd al-Qadir al-Syadzili, di dalam kitab terjemahnya menyebutkan bahwa gurunya Imam As-Suyuthi berkata: “Aku melihat Nabi di waktu jaga, lalu Nabi berkata kepadaku “yaa syaikh al-hadis”, lalu aku bertanya kepada beliau: “yaa Rasulallah, apakah aku ini termasuk golongan ahli surga?”. Nabi menjawab: ya. Syaikh Abd al-Qadir bertanya kepada gurunya: “yaa tuanku, berapa kalikah engkau melihat Nabi dalam keadaan jaga?”, Beliau menjawab: “lebih dari 70 kali”.

Di akhir hayatnya, Imam As-Suyuthi ditimpa sakit keras, dan di tangan kirinya terdapat bengkak, akhirnya beliau harus mengakhiri serangkaian warna kehidupannya pada waktu menjelang subuh, malam Jum’at 29 Jumadil Awal pada tahun 911 H. Sang Imam Besar abad ke 10 H berpulang ke rahmatullah, di rumahnya di Raudhah al-Miqyas.

Kitab-kitab karya beliau mencapai 500 kitab. Menurut Brokelmen, seorang orientalis Jerman menghitungnya sekitar 415 buah karya tulis Imam As-Suyuthi, ada yang sudah diterbitkan dan ada pula yang masih dalam bentuk manuskrip. Ibnu Ilyas berkata: “karya tulis beliau mencapai 600 buah membahas berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam, Arab, dan Sejarah.” Sebagian dari kitab Imam As-Suyuthi adalah karangan asli, sebagian dari rangkuman kitab-kitab lain sebelumnya, sebagian lagi adalah kumpulan tulisan dan susunan. Karakteristik tulisannya terdapat di semua kitabnya, dia memperhatikan karakteristik penulisan yang mudah, maka karya-karyanya tidak ditemukan komentar, baik yang karangan, himpunan atau susunannya.” Ibnu Imad berkata sebagaimana yang dikutip Mani Abd Halim Mahmud dalam beberapa catatan, bahwa muridnya Imam As-Suyuthi memiliki nama-nama kitab karyanya yang besar, yang utuh dan terhimpun, maka jumlahnya menghabiskan angka 500 karya. Karya-karyanya popular di seantero bumi baik timur dan barat, dan itu adalah mukjizat besar dalam kecepatannya menyusun kitab. Abul Hasanat, Muhammad Abdul Hay al-Kanwi dalam kitabnya Hasyiyah Muwaththa (seperti yang telah dikutip Halim Mahmud) setelah menuturkan biografi Imam As-Suyuthi mengatakan: “Karya-karyanya semua membuat faidah-faidah yang luas, hikmah yang mulia, semuanya digambarkan oleh kedalaman ilmunya, keluasan pandangan dan kejelian pemikirannya. Dan terbukti ia adalah termasuk dari pembaharu agama Islam di awal abad ke-10 dan akhir abad ke-9 H. Sebagaimana ia mengakuinya sendiri, dan kebenarannya disaksikan ulama yang datang sesudahnya seperti Ali Alqari Almakki dalam kitab al-Mirat Syarh al-Misykat.” Sayyid Muhammad Abdul Hay al-Kanani mengatakan: “Di Mesir penuh dengan kumpulan-kumpulan karya As-Suyuthi, di tahun 904 sebelum 7 tahun dari wafatnya tercatat karyanya berjumlah 538, jumlah karyanya di bidang tafsir sebanyak 73, dalam hadis 205, di bidang mushthalah al-hadis 32, fiqih 71, ushul fikih dan tasawwuf sebanyak 20, lughah, nahwu dan tashrif 66, al-ma’ani, bayan dan badi’ 6, kitab yang dihimpun dari berbagai disiplin ilmu 80, al-tabaqat wa tarikh 30, dan jami’ 37.

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa buah karya Imam As-Suyuthi sangatlah banyak, mencapai 500 buah menurut al-Dawudi, dan 600 buah menurut Ibnu Ilyas. Di antara karya-karya Imam as-Suyuthi yang dapat ditemukan antara lain : 1. Al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur 2. Al-Ashbah wa al-Nazhair 3. Hamm al-Awami’, Syarah Jum’ul Jawami’ 4. Al-Jami’ al-Kabir fi al-Hadis 5. Ainul Isbah fi Ma’rifah al-Shah-abah 6. Duur al-Shuhbah fi Man ‘Asya min al-Shahabah, Miatan wa ‘Isyrin 7. Rih al-Nasrin fi Man ‘Asya min al-Shahabah, Miatan wa ‘Isyrin 8. Is’af al-Mabda bi Rijal al-Muwaththa 9. Kasyf al-Talbis ‘an Qalbi Ahl al-Tadli 10. Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi 11. Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an 12. Tarikh al-Khulafa’, dan masih banyak lagi karya-karya beliau yang tidak tertuliskan di sini.














































Minggu, 10 Februari 2013

"Islam Tidak Mengenal Dikotomi Keilmuan: Ilmu Agama - Ilmu Umum"



“ISLAM TIDAK MENGENAL DIKOTOMI KEILMUAN:
ILMU AGAMA – ILMU UMUM”
Hasil Tela’ah Kitab “Manhaj At-Tarbiyah fi At-Tashawwur Al-Islamiy
Karya Dr. Ali Ahmad Madkur (Cairo, 2002: 290-294)

Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
(Tulisan dimuat dalam Jurnal "Media Pembinaan" Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, Februari 2013)



Pada prinsipnya, semua bidang ilmu dirumuskan dan dikembangkan dalam rangka memberikan kontribusi bagi upaya pengembangan fitrah (potensi) manusia, baik dalam posisinya sebagai ‘abdullah (hamba Allah) maupun khalifatullah (pemegang amanat Allah di muka bumi), agar ia dapat berinteraksi secara aktif dan positif dengan lingkungannya, sekaligus turut membangun dan melestarikan kehidupan sesuai anjuran-Nya. Demikianlah sesungguhnya inti dan hakikat “ilmu agama (Islam)”, baik yang berkaitan secara langsung dengan bidang ilmu-ilmu syari’at (agama) maupun ilmu-ilmu modern (umum) seperti fisika, kimia, teknik, dan sebagainya.

Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh banyak pemikir Muslim yang tidak sekedar tahu “teks-teks” keislaman, namun juga memahami “ruh atau spirit” yang terkandung di balik teks tersebut. Abul A’la al-Maududi misalnya, ia menyatakan: “Pada dasarnya, munculnya dikotomi keilmuan (ilmu agama dan ilmu umum) disebabkan adanya paradigma yang memisahkan antara masalah agama dan kehidupan. Pandangan ini sesungguhnya justeru bertentangan dengan substansi ajaran Islam itu sendiri. Karena dalam Islam, persoalan agama bukanlah persoalan yang terpisah dari kehidupan. Alam semesta beserta segala isinya adalah milik Allah, demikian pula manusia yang ada di dalamnya. Sebagai hamba Allah, manusia dituntut mampu menjalani misi kehidupannya sesuai titah Allah, serta menghayati segala bentuk pengajaran-Nya. Demikianlah sesungguhnya pemaknaan “agama” yang lebih tepat dan selaras dengan prinsip syariat Islam. Maka, ilmu-ilmu yang selama ini dianggap sebagai “ilmu dunia (umum)”, pun pada hakikatnya juga merupakan “ilmu agama”. Pembedaan ilmu menjadi 2 (dua) bagian yang saling terpisah, yakni: “ilmu agama” yang mengkaji persoalan ukhrawi di satu sisi, dan “ilmu umum” yang membahas persoalan duniawi di sisi yang lain, hanya akan mengantarkan kita pada asumsi bahwa antara agama dan kehidupan merupakan 2 (dua) hal yang sama sekali berbeda dan tidak memiliki keterkaitan. Kondisi inilah yang pada akhirnya mengakibatkan upaya sinkronisasi antara keduanya (ilmu agama dan ilmu umum) yang notabene merupakan bentuk pengamalan terhadap perintah Allah secara komprehensif sebagaimana firman-Nya “masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah (total)”, menjadi sulit. (Lihat: Abul A’la Al-Maududi, Al-Manhaj Al-Islamiy Al-Jadid li At-Tarbiyah wa At-Ta’lim, Beirut: Al-Maktab Al-Islamiy, 1982, hlm. 23).

Namun demikian, sebagai Muslim kita tidak harus mengadopsi ilmu-ilmu modern itu apa adanya. Karena bagaimanapun ilmu-ilmu modern itu dibangun di atas kerangka teoritis dan filsafat Barat yang tidak seluruhnya selaras dengan pandangan dan esensi ajaran Islam. Oleh karenanya, upaya rekonstruksi dan kajian secara kritis terhadap ilmu-ilmu tersebut (dalam arti membersihkan ilmu-ilmu modern itu dari bias teori-teori dan pandangan filsafat Barat terkait konsep ketuhanan, alam semesta, manusia, dan kehidupan yang seringkali tidak sejalan dengan ajaran moral Islam) agar selaras dengan orientasi pendidikan Islam, merupakan keharusan. Karena, jika kita mengadopsi ilmu-ilmu tersebut apa adanya dari luar (tanpa upaya rekonstruksi dan penyelarasan dengan ajaran Islam terlebih dulu) dan menerapkannya begitu saja dalam muatan kurikulum pendidikan Islam, maka dapat dipastikan akan berimplikasi pada kerusakan akal dan mental generasi muda yang sebelumnya telah dibangun oleh ilmu-ilmu syariat, khususnya terkait akidah dan penanaman nilai-nilai. Selain itu, mereka (generasi muda) juga tidak menutup kemungkinan akan lebih condong kepada pandangan-pandangan yang bertentangan dengan pandangan Islam dalam memahami alam semesta, kehidupan, dan pola prilaku manusia.

Menyangkut masalah ini, Abul A’la Maududi menjelaskan secara lebih lanjut dalam pernyataannya: “Bahwa pembelajaran kita tentang sejarah, geografi, ilmu alam, fisika, botani, zoologi, geologi, astronomi, ekonomi, ilmu politik, dan ilmu-ilmu modern lainnya, apabila ditempuh melalui metode yang lepas sama sekali dari dimensi ketuhanan, maka tidak akan ditemukan korelasi apapun dari kehidupan ini dengan sesuatu yang dapat mengindikasikan sikap penghormatan kita terhadap syariat-syariat Allah, atau dengan kata lain, kita “melawan arus” kehendak-Nya. Sehingga dalam memahami persoalan “hukum alam” (teori ilmiah) misalnya, kita tidak memahaminya sampai pada taraf keyakinan tentang adanya kekuasaan Sang Pencipta. Di samping itu, kejadian-kejadian di alam semesta ini tidak pernah dipandang sebagai manifestasi dari kehendak Allah. Termasuk dalam menyikapi berbagai masalah dan dilema kehidupan, semuanya diselesaikan tanpa melibatkan solusi yang ditawarkan oleh syariat-Nya sama sekali. Hingga, tidak tersedia lagi ruang di dalam pikiran kita untuk mengeksplor pandangan-pandangan agama sejak awal terciptanya alam semesta hingga berakhirnya kehidupan.”

Pengelompokan “ilmu agama” dan “ilmu umum” yang telah tertanam kuat di alam pikiran peserta didik sekarang, telah membentuk pandangan (vision) mereka tentang kehidupan yang sunyi dari dimensi ilahiyah. Karena semua teori keilmuan modern hampir disajikan tanpa sedikitpun menyentuh dimensi al-qudrat al-ilahiyah yang notabene Dia-lah yang menciptakan segala sesuatu beserta hukum-hukum alam di dalamnya. Maka tidak mengherankan jika pada gilirannya peserta didik itu melakukan aktivitas-aktivitas kehidupannya tanpa landasan nilai-nilai keagamaan. Dengan kata lain, mereka menjadi acuh terhadap “bisikan suara” Allah yang bersumber dari hati nurani mereka sendiri yang fitri. Padahal, pada saat yang bersamaan mereka juga mempelajari ajaran Kitab Suci tentang bagaimana permulaan terciptanya alam semesta dan kehancurannya. Mereka seolah menemukan dirinya “kebingungan” dimanakah mereka harus “menempatkan” Allah di tengah teori-teori keilmuan modern yang dipelajarinya. Kebingungan tersebut (yang disebabkan oleh pesatnya perkembangan ilmu-ilmu modern), telah mengantarkan mereka pada pertanyaan tentang eksistensi Allah dan persoalan wahyu, termasuk menyangkut apakah aspek keimanan itu merupakan sesuatu yang urgent atau tidak dalam konteks ilmu-ilmu modern?. Pada fase selanjutnya, ketika pikiran mereka sedikit-sedikit mulai terangkat dari lingkaran kebingungan, pertanyaan penting yang perlu mereka pikirkan adalah: “bagaimanakah mengkompromikan antara ilmu-ilmu modern yang sering dipelajarinya itu dengan ajaran yang bersumber dari agama, khususnya terkait bagaimana pandangan agama tentang alam semesta dan kehidupan?”. Karena bagaimanapun, meski keimanan mereka (peserta didik) terhadap Allah telah begitu tertanam kuat sejak kecil dan tak tergoyahkan, namun kenyataannya tetap saja, agama selalu berada dalam posisi yang termarginalkan (terabaikan) dari kehidupan mereka serta tidak memiliki pengaruh apa-apa.

Maka, pemisahan antara ilmu-ilmu syariat (ilmu agama) dan ilmu-ilmu modern (ilmu umum) telah secara nyata menimbulkan kesulitan tersendiri bagi kemajuan umat Islam dalam merespons wacana-wacana modernitas. Pemisahan semacam ini tentunya tidak diajarkan dalam Islam. Oleh karenanya, umat Islam dalam hal ini perlu melakukan upaya rekonstruksi terhadap ilmu-ilmu modern tersebut. Ini penting dilakukan agar terjadi sinergitas antar berbagai bidang ilmu yang ada, demi tercapainya hakikat dan tujuan pendidikan sekaligus agar terwujud kebahagiaan hidup masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. [ ] Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis showab.


“Pendidikan yang ‘dikotomik’ hanya akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan tak bermoral
dan ulama-ulama yang tak mengenal zamannya”
(KH. A. Wahid Hasyim)

***********