Minggu, 10 Februari 2013

"Islam Tidak Mengenal Dikotomi Keilmuan: Ilmu Agama - Ilmu Umum"



“ISLAM TIDAK MENGENAL DIKOTOMI KEILMUAN:
ILMU AGAMA – ILMU UMUM”
Hasil Tela’ah Kitab “Manhaj At-Tarbiyah fi At-Tashawwur Al-Islamiy
Karya Dr. Ali Ahmad Madkur (Cairo, 2002: 290-294)

Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
(Tulisan dimuat dalam Jurnal "Media Pembinaan" Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, Februari 2013)



Pada prinsipnya, semua bidang ilmu dirumuskan dan dikembangkan dalam rangka memberikan kontribusi bagi upaya pengembangan fitrah (potensi) manusia, baik dalam posisinya sebagai ‘abdullah (hamba Allah) maupun khalifatullah (pemegang amanat Allah di muka bumi), agar ia dapat berinteraksi secara aktif dan positif dengan lingkungannya, sekaligus turut membangun dan melestarikan kehidupan sesuai anjuran-Nya. Demikianlah sesungguhnya inti dan hakikat “ilmu agama (Islam)”, baik yang berkaitan secara langsung dengan bidang ilmu-ilmu syari’at (agama) maupun ilmu-ilmu modern (umum) seperti fisika, kimia, teknik, dan sebagainya.

Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh banyak pemikir Muslim yang tidak sekedar tahu “teks-teks” keislaman, namun juga memahami “ruh atau spirit” yang terkandung di balik teks tersebut. Abul A’la al-Maududi misalnya, ia menyatakan: “Pada dasarnya, munculnya dikotomi keilmuan (ilmu agama dan ilmu umum) disebabkan adanya paradigma yang memisahkan antara masalah agama dan kehidupan. Pandangan ini sesungguhnya justeru bertentangan dengan substansi ajaran Islam itu sendiri. Karena dalam Islam, persoalan agama bukanlah persoalan yang terpisah dari kehidupan. Alam semesta beserta segala isinya adalah milik Allah, demikian pula manusia yang ada di dalamnya. Sebagai hamba Allah, manusia dituntut mampu menjalani misi kehidupannya sesuai titah Allah, serta menghayati segala bentuk pengajaran-Nya. Demikianlah sesungguhnya pemaknaan “agama” yang lebih tepat dan selaras dengan prinsip syariat Islam. Maka, ilmu-ilmu yang selama ini dianggap sebagai “ilmu dunia (umum)”, pun pada hakikatnya juga merupakan “ilmu agama”. Pembedaan ilmu menjadi 2 (dua) bagian yang saling terpisah, yakni: “ilmu agama” yang mengkaji persoalan ukhrawi di satu sisi, dan “ilmu umum” yang membahas persoalan duniawi di sisi yang lain, hanya akan mengantarkan kita pada asumsi bahwa antara agama dan kehidupan merupakan 2 (dua) hal yang sama sekali berbeda dan tidak memiliki keterkaitan. Kondisi inilah yang pada akhirnya mengakibatkan upaya sinkronisasi antara keduanya (ilmu agama dan ilmu umum) yang notabene merupakan bentuk pengamalan terhadap perintah Allah secara komprehensif sebagaimana firman-Nya “masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah (total)”, menjadi sulit. (Lihat: Abul A’la Al-Maududi, Al-Manhaj Al-Islamiy Al-Jadid li At-Tarbiyah wa At-Ta’lim, Beirut: Al-Maktab Al-Islamiy, 1982, hlm. 23).

Namun demikian, sebagai Muslim kita tidak harus mengadopsi ilmu-ilmu modern itu apa adanya. Karena bagaimanapun ilmu-ilmu modern itu dibangun di atas kerangka teoritis dan filsafat Barat yang tidak seluruhnya selaras dengan pandangan dan esensi ajaran Islam. Oleh karenanya, upaya rekonstruksi dan kajian secara kritis terhadap ilmu-ilmu tersebut (dalam arti membersihkan ilmu-ilmu modern itu dari bias teori-teori dan pandangan filsafat Barat terkait konsep ketuhanan, alam semesta, manusia, dan kehidupan yang seringkali tidak sejalan dengan ajaran moral Islam) agar selaras dengan orientasi pendidikan Islam, merupakan keharusan. Karena, jika kita mengadopsi ilmu-ilmu tersebut apa adanya dari luar (tanpa upaya rekonstruksi dan penyelarasan dengan ajaran Islam terlebih dulu) dan menerapkannya begitu saja dalam muatan kurikulum pendidikan Islam, maka dapat dipastikan akan berimplikasi pada kerusakan akal dan mental generasi muda yang sebelumnya telah dibangun oleh ilmu-ilmu syariat, khususnya terkait akidah dan penanaman nilai-nilai. Selain itu, mereka (generasi muda) juga tidak menutup kemungkinan akan lebih condong kepada pandangan-pandangan yang bertentangan dengan pandangan Islam dalam memahami alam semesta, kehidupan, dan pola prilaku manusia.

Menyangkut masalah ini, Abul A’la Maududi menjelaskan secara lebih lanjut dalam pernyataannya: “Bahwa pembelajaran kita tentang sejarah, geografi, ilmu alam, fisika, botani, zoologi, geologi, astronomi, ekonomi, ilmu politik, dan ilmu-ilmu modern lainnya, apabila ditempuh melalui metode yang lepas sama sekali dari dimensi ketuhanan, maka tidak akan ditemukan korelasi apapun dari kehidupan ini dengan sesuatu yang dapat mengindikasikan sikap penghormatan kita terhadap syariat-syariat Allah, atau dengan kata lain, kita “melawan arus” kehendak-Nya. Sehingga dalam memahami persoalan “hukum alam” (teori ilmiah) misalnya, kita tidak memahaminya sampai pada taraf keyakinan tentang adanya kekuasaan Sang Pencipta. Di samping itu, kejadian-kejadian di alam semesta ini tidak pernah dipandang sebagai manifestasi dari kehendak Allah. Termasuk dalam menyikapi berbagai masalah dan dilema kehidupan, semuanya diselesaikan tanpa melibatkan solusi yang ditawarkan oleh syariat-Nya sama sekali. Hingga, tidak tersedia lagi ruang di dalam pikiran kita untuk mengeksplor pandangan-pandangan agama sejak awal terciptanya alam semesta hingga berakhirnya kehidupan.”

Pengelompokan “ilmu agama” dan “ilmu umum” yang telah tertanam kuat di alam pikiran peserta didik sekarang, telah membentuk pandangan (vision) mereka tentang kehidupan yang sunyi dari dimensi ilahiyah. Karena semua teori keilmuan modern hampir disajikan tanpa sedikitpun menyentuh dimensi al-qudrat al-ilahiyah yang notabene Dia-lah yang menciptakan segala sesuatu beserta hukum-hukum alam di dalamnya. Maka tidak mengherankan jika pada gilirannya peserta didik itu melakukan aktivitas-aktivitas kehidupannya tanpa landasan nilai-nilai keagamaan. Dengan kata lain, mereka menjadi acuh terhadap “bisikan suara” Allah yang bersumber dari hati nurani mereka sendiri yang fitri. Padahal, pada saat yang bersamaan mereka juga mempelajari ajaran Kitab Suci tentang bagaimana permulaan terciptanya alam semesta dan kehancurannya. Mereka seolah menemukan dirinya “kebingungan” dimanakah mereka harus “menempatkan” Allah di tengah teori-teori keilmuan modern yang dipelajarinya. Kebingungan tersebut (yang disebabkan oleh pesatnya perkembangan ilmu-ilmu modern), telah mengantarkan mereka pada pertanyaan tentang eksistensi Allah dan persoalan wahyu, termasuk menyangkut apakah aspek keimanan itu merupakan sesuatu yang urgent atau tidak dalam konteks ilmu-ilmu modern?. Pada fase selanjutnya, ketika pikiran mereka sedikit-sedikit mulai terangkat dari lingkaran kebingungan, pertanyaan penting yang perlu mereka pikirkan adalah: “bagaimanakah mengkompromikan antara ilmu-ilmu modern yang sering dipelajarinya itu dengan ajaran yang bersumber dari agama, khususnya terkait bagaimana pandangan agama tentang alam semesta dan kehidupan?”. Karena bagaimanapun, meski keimanan mereka (peserta didik) terhadap Allah telah begitu tertanam kuat sejak kecil dan tak tergoyahkan, namun kenyataannya tetap saja, agama selalu berada dalam posisi yang termarginalkan (terabaikan) dari kehidupan mereka serta tidak memiliki pengaruh apa-apa.

Maka, pemisahan antara ilmu-ilmu syariat (ilmu agama) dan ilmu-ilmu modern (ilmu umum) telah secara nyata menimbulkan kesulitan tersendiri bagi kemajuan umat Islam dalam merespons wacana-wacana modernitas. Pemisahan semacam ini tentunya tidak diajarkan dalam Islam. Oleh karenanya, umat Islam dalam hal ini perlu melakukan upaya rekonstruksi terhadap ilmu-ilmu modern tersebut. Ini penting dilakukan agar terjadi sinergitas antar berbagai bidang ilmu yang ada, demi tercapainya hakikat dan tujuan pendidikan sekaligus agar terwujud kebahagiaan hidup masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. [ ] Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis showab.


“Pendidikan yang ‘dikotomik’ hanya akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan tak bermoral
dan ulama-ulama yang tak mengenal zamannya”
(KH. A. Wahid Hasyim)

***********