MEMUPUK UKHUWWAH WATHANIYAH DAN KECINTAAN TERHADAP TANAH AIR:
MERAWAT KEISLAMAN DAN KEINDONESIAAN
Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
(Jum'at, 11 Agustus 2017 M / 18 Dzulqa'dah 1438 H)
KHUTBAH
I
اَلْحَمْدُ
للهِ الَّذِي جَعَلَ الْاِسْلَامَ طَرِيْقًا سَوِيًّا، وَوَعَدَ
لِلْمُتَمَسِّكِيْنَ بِهِ وَيَنْهَوْنَ الْفَسَادَ مَكَانًا عَلِيًّا. أَشْهَدُ
أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ
خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا محمّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا.
اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ
الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ
يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا، أَمَّا بَعْدُ،
فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ
وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.قَالَ اللهُ تَعَالَى : يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ
آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ
مُسْلِمُوْنَ.
Hadirin sidang Jum’ah yang dirahmati Allah,
Segala puji dan rasa syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT,
karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kita dapat kembali berkumpul di
masjid ini, dalam keadaan sehat wal ‘afiat baik jasmani maupun ruhani. Dan
berkumpulnya kita di masjid ini, semoga menjadi pertanda masih adanya iman dan
Islam yang terpatri di dalam hati. Ini semua tentu tak lain merupakan hidayah
dan ‘inayah-Nya yang juga patut kita syukuri, dengan cara senantiasa bertaqwa
kepada Allah Rabbul ‘Izzati, yakni menunaikan segala perintah-Nya dan
menjauhi larangan-larangan-Nya. Sikap taqwa yang kita miliki itu sudah
seharusnya kita jaga dan pelihara dengan istiqamah sehidup semati, seraya
berharap semoga kelak pada saatnya kita semua mampu menutup usia dan
meninggalkan dunia fana’ ini dalam keadaan husnul khatimah. Amin ya Rabbal
‘Alamin.
Jama’ah Jum’at rahimakumullah,
Dalam manhaj al-fikr
al-ijtima’iy (kerangka pemikiran kemasyarakatan) yang diusung oleh Nahdhatul
Ulama (NU), sebagaimana dirumuskan dalam konsep ukhuwwah nahdhiyyah, ada
3 macam ukhuwah (persaudaraan) yang senantiasa harus kita jaga dan
pelihara, yaitu: pertama, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat muslim); kedua, ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa dan setanah air);
dan ketiga, ukhuwah basyariyah atau ukhuwah insaniyah (persaudaraan
sesama umat manusia). Pada kesempatan khutbah ini, seiring dengan momentum
menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan bangsa kita pada tanggal 17 Agustus mendatang,
khathib akan menekankan pentingnya memahami ukhuwah wathaniyah (persaudaraan
sebangsa dan setanah air). Karena sebagaimana dinyatakan oleh Ketua Umum PBNU
(Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA), menjaga tali ukhuwah wathaniyah ini
bahkan harus lebih diprioritaskan ketimbang sebatas ukhuwah Islamiyah. Sebab,
dari jalinan ukhuwwah wathaniyah inilah akan lahir kecintaan terhadap
tanah air, dan dari kecintaan atas tanah air itu akan muncul upaya untuk
membela eksistensi tanah air tersebut dari berbagai bentuk rongrongan dan ancaman,
baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Karena tanpa memiliki tanah air, atau
menjadi sebuah bangsa dan negara yang kuat dan berdaulat, akan sulit bagi kita
sebagai umat untuk dapat mengamalkan ajaran agama secara damai dan aman. Atau
dengan kata lain, untuk memelihara iman itu dibutuhkan rasa aman.
Terkait makna tanah air atau
yang dalam bahasa Arab disebut “al-wathan”, Syaikh Syarief Ali bin
Muhammad bin Ali al-Jurjani, dalam kitabnya At-Ta’rifat, ia menjelaskan makna
“al-wathan” sebagai berikut:
الوطن هو مولد الرجل
والبلد الذي هو فيه
“Tanah air adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia
tinggal di dalamnya”. (Lihat: Ali bin Muhammad bin Ali Al-Jurjani, At-Ta`rifat,
Beirut, Darul Kitab Al-‘Arabi, cet ke-1, 1405 H, halaman 327).
Jama’ah sekalian
yang dirahmati Allah,
Dalam perjalanan sejarah awal dakwah
Islam, pentingnya tanah air ini dapat kita pahami misalnya dari kisah perjalanan
hijrah Nabi. Peristiwa hijrah sesungguhnya menyiratkan harapan Nabi untuk
memiliki tanah air atau tempat tinggal yang aman dan berdaulat, sehingga ajaran
dan dakwah Islam akan dapat berkembang dengan baik. Dalam riwayat lain, Nabi
pun pernah mengungkapkan rasa cintanya pada tanah kelahiran beliau, Mekkah. Hal
ini bisa kita ketahui dari riwayat Imam Ibnu Hibban yang bersumber dari
penuturan Abdullah Ibnu Abbas RA, bahwa Nabi pernah bersabda:
مَا أَطْيَبَكِ مِنْ
بَلْدَةٍ وأَحَبَّكِ إِلَيَّ, وَلَوْلاَ أَنَّ قَوْمِيْ أَخْرَجُوْنِيْ مِنْكِ مَا
سَكَنْتُ غَيْرَكِ
“Alangkah baiknya engkau (wahai Mekkah) sebagai sebuah negeri, dan
engkau merupakan negeri yang aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku
darimu, niscaya aku tidak akan tinggal di negeri selainmu”.
Demikian pentingnya tanah air
ini, dalam pepatah Arab dikatakan:
من ليس له أرض ليس له
تاريخ, ومن ليس له تاريخ ليس له ذاكرة.
"Barang siapa tidak memiliki tanah air, ia
tidak memiliki sejarah. Dan barang siapa yang tidak memiliki sejarah, maka ia
akan terlupakan.” Dalam pepatah Arab yang lain juga dikatakan:
لو ضاع منك الذهب, في
سوق الذهب تلقاه. لو ضاع منك الحبيب, يمكن في سنة أو سنتين تنساه. لكن لو ضاع منك
الوطن, آه يا وطن وينك تلقاه.
“Jika engkau kehilangan emas, di pasar emas kan kau
dapatkan gantinya. Jika engkau kehilangan kekasih, mungkin setahun – dua tahun
kau bisa melupakannya. Namun jika engkau kehilangan tanah air, maka dari mana
kau kan temukan gantinya?!”.
Jama’ah
jum’at hadaniyallahu wa iyyakum,
Maka, adalah fenomena yang
memprihatinkan, apabila hingga saat ini di kalangan sebagian kelompok keagamaan
masih kerap muncul pandangan yang mempertentangkan antara kecintaan terhadap
tanah air atau sikap nasionalisme dengan agama. Bahkan, tak jarang sebagian
dari mereka secara terang-terangan menolak nasionalisme dan menganggapnya bukan
bagian dari ajaran agama. Padahal, Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari
beserta para ulama dan kiai lain yang tak diragukan lagi keluasan dan kedalaman
ilmunya, telah sejak lama, sejak masa-masa perjuangan merebut kemerdekaan, menggelorakan
semangat kecintaan terhadap tanah air melalui satu ungkapan yang sangat
fenomenal: “hubbul wathan minal iman”, bahwa mencintai tanah air adalah
bagian dari iman, sehingga karenanya bangsa kita dapat merebut dan
mempertahankan kemerdekaannya hingga sekarang.
Dalam hal ini kita juga patut merenungkan,
bagaimana kondisi bangsa-bangsa lain di dunia yang meski mayoritas penduduknya adalah
umat muslim tetapi justru tak pernah sepi dari konflik dan peperangan antar
sesama mereka. Contoh nyata yang dapat kita saksikan, misalnya: Afganistan,
Somalia, Irak, Suriah dan Yaman. Konflik berkepanjangan dan perang yang tak berkesudahan
di negeri-negeri berpenduduk muslim tersebut telah menunjukkan kenyataan kepada
kita, betapa aspek kesamaan agama, pun agama dijadikan sebagai ideologi formal negara,
belum tentu mampu menyatukan masyarakat dalam kehidupan yang damai dan
harmonis, apabila agama hanya dipahami secara sempit, literalistik atau tekstual, kaku
dan radikal sebagaimana yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok garis keras yang menyukai teror dan kekerasan.
Hadirin jama’ah jum’at yang dirahmati Allah,
Kita patut bersyukur, bahwa
wajah Islam yang tumbuh di negeri yang kita cintai ini berkebalikan dengan apa
yang digambarkan di atas. Karena memang sejak awal Islam masuk dan disebarkan di
wilayah Nusantara oleh Wali Songo dan kemudian dilanjutkan oleh para kiai
pesantren, tidak pernah secara frontal mempertentangkan antara doktrin ajaran
Islam dengan nilai luhur budaya bangsa atau kearifan dan tradisi lokal yang
sudah ada. Dakwah Islam yang dilakukan oleh Wali Songo dan para penerusnya itu,
ditempuh melalui pendekatan budaya yang ramah dengan menampilkan keteladanan
dan akhlak luhur. Karena mereka sangat menyadari bahwa keberhasilan dakwah
haruslah ditopang oleh kondisi tanah air dan kehidupan masyarakat yang damai
dan kondusif. Oleh karenanya, para penyebar Islam itu selain dikenal sebagai
ulama yang sangat mumpuni, mereka juga seorang pelestari budaya sekaligus pakar-pakar
pendidikan yang sangat piawai. Mereka lebih memprioritaskan aspek substansi
atau ruh ajaran Islam dibanding kemasan, label, atau jargon-jargon yang belum
tentu sesuai dengan konteks dan essensinya, sebagaimana yang kerap dikembangkan
oleh kelompok-kelompok ekstremis radikal. Maka tidak aneh misalnya, nama-nama pesantren
tertua yang kita kenal pun adalah justru karena penyematan nama dusun atau
daerah di mana pesantren itu berada, seperti Pesantren Tebuireng, Pesantren Krapyak,
Pesantren Termas, Pesantren Langitan, Pesantren Buntet, Pesantren Lirboyo, Pesantren
Suryalaya, Pesantren Cipasung, dan sebagainya. Itu adalah simbol betapa para
kiai pesantren sangat memahami, bahwa upaya mengembangkan dakwah Islam melalui
lembaga pesantren harus pula mempertimbangkan dan menghargai aspek kesejarahan
dan lokalitas di mana pesantren itu berada.
Jama’ah sekalian
yang dirahmati Allah,
Semua uraian di atas
menegaskan kepada kita, bahwa pemahaman keislaman dan keindonesiaan harus kita
pahami secara selaras dalam kerangka ukhuwwah wathaniyah, yakni menjaga
tali persaudaraan dan keharmonisan di tanah air meski di tengah banyaknya perbedaan.
Karena perbedaan adalah sunnatullah dan bukan merupakan sesuatu yang
terlarang, tetapi yang dilarang adalah pertikaian dan permusuhan. Dengan bekal
pemahaman seperti itulah ajaran Islam akan benar-benar mewujud menjadi rahmat
bagi seluruh alam, dan tanah air yang kita cintai ini pun tentunya diharapkan akan
terus damai dan sentosa, menjadi negeri yang senantiasa aman dan masyarakatnya
penuh iman, sebagaimana diistilahkan oleh al-Qur’an: baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafur.
Kemudian yang terakhir, sebagai
penutup khutbah pada siang hari ini, sebagai bangsa yang besar, ada 2 (dua) hal
yang harus selalu kita ingat, sebagaimana disimbolkan dalam 2 kata JAS, yaitu: JAS
MERAH dan JAS HIJAU. JAS MERAH artinya “JAngan Sekali-kali MElupakan SejaRAH”,
dan JAS HIJAU artinya “JAngan Sekali-kali HIlangkan JAsa Ulama”. [ ]
Demikian khutbah ini disampaikan, semoga bermanfaat bagi kita sekalian.
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم. أدع إلى سبيل ربك بالحكمة
والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن... وقال تعالى: ومآ أرسلناك إلا رحمة
للعالمين.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي
الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ
وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ
هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ
هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ
هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
KHUTBAH
II
الحمد
لله الذي أَكرَمَنا بِدِين الحقّ المبين، وأَفضَلَنا بِشريعة النّبي الكريم، أشهد
أن لا اله إلاّ اللهُ وحده لا شريك له الملِكُ الحقُّ المبين، وأشهد أنّ سيّدَنا
ونبيَّنا محمدا عبدُه و رسولُه سيّدُالأنبياء والمرسلين، اللهم صلّ وسلّم وبارك
على نبيِّنا محمد وعلى اله وصحبه والتابعين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما
بعد: فيأيّها الناس اتّقوا الله، وافعلوا الخيرات واجتنبوا عن السيئات، واعلموا
أنَّ الله أمَركم بأمرٍ بدأ فيه بنفسه وثـنّى بملآئكته بقدسه, وقال تعالى: إنَّ
الله وملآئكته يصلّون على النبى يآأيها الذين آمنوا صلّوا عليه وسلّموا تسليما.
اللهمّ صلّ على سيدنا محمد وعلى أنبيآئك ورُسُلِك وملآئكتِك المقرّبين, وارضَ
اللهمّ عن الخلفاء الراشدين أبي بكر وعمر وعثمان وعليّ وعن بقيّة الصحابة
والتابعين وتابعي التابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين, وارض عنّا معهم برحمتك
ياأرحم الراحمين.
اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ،
الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوات.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُوْمًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا
مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا
وَلا مَحْرُوْمًا. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ
وَالغِنَى. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَ كُلاًّ مِنَّا لِسَانًا
صَادِقًا ذَاكِرًا، وَقَلْبًا خَاشِعًا مُنِيْبًا، وَعَمَلاً صَالِحًا زَاكِيًا،
وَعِلْمًا نَافِعًا رَافِعًا، وَإِيْمَانًا رَاسِخًا ثَابِتًا، وَيَقِيْنًا
صَادِقًا خَالِصًا، وَرِزْقًا حَلاَلاً طَيِّبًا وَاسِعًا، يَا ذَا الْجَلاَلِ
وَالإِكْرَامِ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي
قُلُوبِنَا غِلاًّ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ. ربّنا
آتنا في الدّنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النّار. والحمد لله رب العالمين.
عبادالله، إنّ الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء
والمنكر والبغي يعظكم لعلّكم تذكّرون. فاذكروا الله العظيم يذكركم واشكروه على
نعمه يزدكم ولذكرالله اكبر.