Senin, 26 Januari 2015

Khutbah Jum'at: "Memaknai Hijrah"


Naskah Khutbah Jum’at:
“MEMAKNAI HIJRAH”
Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I. 
 (Disampaikan di Masjid al-Ikhlash Desa Dukuhjeruk Kec. Karangampel Kab. Indramayu,
Jum’at, 22 September 2017 M / 2 Muharram 1439 H)

Khutbah Pertama:
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الأزْمَانِ وَالآنَاءِ، فَلاَ ابْتِدَاءَ لِوُجُوْدِهِ وَلاَ انْتِهَاءَ، يَسْتَوِيْ بِعِلْمِهِ السِّرُّ وَالْخَفَاءُ، القَائِلِ: وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْكَبِيْرُ المُتَعَالِ، المُنَزَّهُ عَنِ الشَّبِيْهِ وَالْمِثَالِ، الَّذِيْ يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ كُلُّ شَيْءٍ فِي الْغُدُوِّ وَالآصَالِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ حَذَّرَنَا مِنْ دَارِ الفُتُوْنِ، المُنَزَّلُ عَلَيْهِ: إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُوْنَ. اللَّهُمَّ فصَلِّ وسلّم عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَاتَمِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِ الطَّيِّبِيْنَ وَأَصْحَابِهِ الأَخْيَارِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
Hadirin sidang Jum’ah yang semoga dirahmati Allah,

Mengawali khutbah siang hari ini, marilah kita memanjatkan puji dan rasa syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya yang sedetik pun tak pernah berhenti kita rasakan. Kebaikan dan kasih sayang-Nya senantiasa mengalir kepada kita, mengiringi tiap hembusan nafas dan langkah kaki kita menapaki kehidupan. Dan setiap saat, nikmat itu terus bertambah, nikmat yang satu, yang kadang belum sempat kita syukuri, sudah disusul dengan nikmat lainnya tanpa mungkin bisa kita hitung jumlahnya. Sebagaimana firman-Nya: “wa in ta’udduu ni’mata L-laahi laa tuhshuuhaa” (seandainya kalian diminta untuk menghitung berapa banyak jumlah nikmat Allah itu, niscaya kalian tidak akan pernah sanggup menghitungnya). Dan sebagai wujud rasa syukur itu, marilah kita terus berupaya meningkatkan kualitas taqwa kita kepada Allah SWT, dengan cara imtitsaalu awaamirillahi wa(i)jtinaabu nawaahihi (mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya). Terkait sikap taqwa ini, Sayyiduna Ali bin Abi Thalib KW pernah menyatakan bahwa salah satu ciri prilaku taqwa adalah:
الخوف من الجليل ، والعمل بالتنزيل ، والرضا بالقليل ، والاستعداد ليوم الرحيل
(Takut akan siksa dan kemurkaan Dzat Yang Maha Mulia (Allah SWT), mengamalkan ajaran atau perintah yang telah diturunkan oleh Allah, ridho atau nrimo atas segala anugerah Allah meskipun sedikit, dan mempersiapkan diri dengan amal sholeh untuk menghadapi saat hari kematian tiba).    

Tak lupa, shalawat dan salam semoga tetap tersampaikan kepada junjungan alam, baginda Nabi Agung Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya, serta seluruh pengikutnya, termasuk kita semua selaku ummatnya.

Kaum muslimin rahimakumullah,

Alhamdulillah, hari ini kita telah memasuki bulan Muharram 1439 H. Artinya, saat ini kita telah memasuki tahun baru dalam sistem kalender Islam, yang biasa kita sebut dengan istilah tahun baru hijriyah. Perhitungan tahun hijriyah ini dimulai dari hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah. Dan melalui mimbar Jum’at ini, Khathib ingin sedikit mengingatkan kembali peristiwa yang amat penting dalam sejarah Islam tersebut, sembari menyelami lebih jauh hakikat dan hikmah-hikmah yang bisa kita petik di dalamnya.

Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,

Sejarah telah mencatat, bahwa orang pertama yang meresmikan hijrah Nabi sebagai tonggak awal dalam sistem kalender Islam adalah Umar bin Khattab RA, yakni ketika beliau menjabat sebagai Khalifah ke-2 menggantikan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq RA. Peristiwa ini terjadi tepatnya pada 17 tahun setelah Nabi Hijrah. Sungguh pun demikian, Sayidina Umar bukanlah orang yang memaksakan pendapatnya pribadi dalam menentukan kalender hijriyah. Beliau adalah orang yang selalu bermusyawarah terlebih dahulu dengan para sahabat Nabi yang lain setiap menyikapi problematika umat, termasuk dalam merumuskan sistem kalender Islam. Karenanya, beberapa pendapat saat itu sempat bermunculan. Ada yang berpendapat, bahwa sistem penanggalan Islam sebaiknya berpijak pada tahun kelahiran Rasulullah. Ada juga yang mengusulkan, bahwa tahun diangkatnya Rasulullah sebagai utusan Allah adalah waktu yang paling tepat dalam menentukan awal kalender Islam. Bahkan, ada pula yang berpendapat agar tahun wafatnya Rasulullah yang dijadikan titik awal perhitungan penanggalan hijriyah. Dari beberapa usulan tersebut, Sayidina Umar akhirnya lebih condong kepada pendapat Sayidina Ali bin Abi Thalib, yang mengusulkan peristiwa hijrah Nabi sebagai tonggak sejarah paling penting dalam Islam, dibanding peristiwa lainnya. Dengan alasan, karena hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah merupakan simbol pembatas antara yang hak dan yang batil. Peristiwa ini (yakni, awal penentuan kalender Islam) terjadi pada tanggal 1 Muharam, bertepatan dengan hari Jum’at, tanggal 16 Juli 622 M.

Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah,

Jika kita mengulas sejarah, ada hal yang unik dalam sistem kalender hijriyah. Karena dalam catatan sejarah, peristiwa hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah sesungguhnya terjadi pada bulan Rabiul Awal, bukan pada bulan Muharram. Lalu mengapa justeru bulan Muharram yang dijadikan sebagai tonggak pertama bagi awal penanggalan Islam?.

Kaum muslimin yang berbahagia,

Dalam kitab-kitab Tarikh atau sejarah Islam, banyak dijelaskan bahwa Nabi bertolak dari Mekkah menuju Madinah terjadi pada hari Kamis terakhir di bulan Shafar, dan keluar dari tempat persembunyiannya di Goa Tsur pada awal bulan Rabiul Awal, bertepatan dengan hari Senin tanggal 13 September 622. Namun demikian, Sayidina Umar dan sahabat-sahabat Nabi yang lain saat merumuskan sistem kalender Islam, lebih memilih bulan Muharram sebagai awal tahun hijriyah. Ini karena, di bulan Muharram-lah sesungguhnya Nabi pertama kali memiliki ’azam (rencana) untuk berhijrah. Mengingat pada bulan Muharram itu Rasulullah telah selesai dari seluruh rangkaian kegiatan ibadah haji, juga karena bulan Muharram termasuk salah satu dari 4 bulan haram dalam Islam yang dilarang oleh Allah untuk berperang di dalamnya. Rasulullah sendiri pernah menyebut bulan Muharram dengan sebutan “Syahrullah (Bulannya Allah)”, sebagaimana diungkapkan dalam sabdanya:
أفضلُ الصّيام بعدَ رمضانَ شهرُ الله المُحرَّمُ
Sebaik-baik puasa di luar bulan suci Ramadhan adalah puasa di Bulan Allah, yaitu bulan Muharram”. (Hadist diriwayatkan oleh Imam Muslim).

Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,

Peristiwa hijrah merupakan peristiwa penting yang di dalamnya tersimpan banyak hikmah yang bisa kita petik. Setidaknya, ada 3 nilai penting dari peristiwa hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah yang perlu kita teladani dan transformasikan dalam kehidupan saat ini.

Pertama, transformasi keummatan (kemanusiaan). Mengingat, misi utama hijrahnya Nabi beserta kaum muslim sesungguhnya adalah untuk menyelamatkan nilai-nilai kemanusiaan. Karena betapa sebelum hijrah, penindasan dan kekejaman sangat sering dilakukan oleh orang-orang kaya dan para penguasa terhadap masyarakat kecil yang lemah. Oleh karenanya, hijrah dalam hal ini ditujukan untuk mewujudkan suatu tatanan sosial (kemasyarakatan) yang lebih baik.

Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,

Kemudian yang Kedua, adalah transformasi kebudayaan atau peradaban. Hijrah dalam hal ini dimaksudkan untuk mengentaskan masyarakat dari kebudayaan atau tabiat Jahiliyah menuju kebudayaan dan peradaban yang Islami. Yaitu tatanan peradaban yang tidak memperbudak dan menjerumuskan manusia, tetapi membebaskan manusia dengan pancaran cahaya ilahi. Dengan demikian, hijrah pada dasarnya ditujukan untuk mengembalikan moral dan martabat kemanusiaan secara universal, sebagai makhluk yang paling mulia di muka bumi.

Lalu yang Ketiga, adalah transformasi keagamaan. Transformasi inilah yang sesunguhnya dapat dikatakan sebagai pilar utama keberhasilan dakwah Rasulullah. Persahabatan beliau dan kaum Muslim dengan kalangan non-Muslim (Ahli Kitab: Yahudi dan Nasrani) yang ada di Madinah, sesungguhnya adalah basis utama dari misi kerasulan yang diemban oleh Rasulullah. Dari catatan sejarah kita dapat ketahui, bahwa orang yang pertama kali menunjukkan sekaligus mengakui ‘tanda-tanda kerasulan’ pada diri Nabi, adalah seorang pendeta Nasrani yang bertemu tatkala Nabi dan pamannya, Abu Thalib, berdagang ke Syria. Kemudian, pada hijrah pertama dan kedua (ke Abesinia), pun kaum Muslim ditolong oleh raja Najasy yang juga beragama Nasrani. Dan pada saat membangun kepemimpinan di Madinah, kaum Muslim bersama kaum Yahudi dan Nasrani, saling bahu-membahu dalam ikatan persaudaraan dan perjanjian yang damai. Fakta ini menunjukkan, betapa ajaran Islam adalah ajaran yang rahmatan lil ‘alamin, yang mengajarkan kedamaian kepada seluruh alam. Bukan agama yang mengajarkan teror dan kekerasan sebagaimana yang dilakukan oleh para kelompok penganut ideologi garis keras.  

Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah,

Penting untuk dipahami, bahwa hijrah tidak semata-mata bermakna perpindahan fisik dari satu daerah ke daerah yang lain. Hijrah harus pula dimaknai hijrah mental-spiritual, sehingga akan tercipta tatanan kehidupan masyarakat yang berlandaskan pada keluhuran moral, ikatan persaudaraan (ukhuwah) dan kemashlahatan bersama (al-maslahatu al-ra’iyah). Dengan kata lain, hijrah hakikatnya bukan sekadar pindah tempat, tetapi pindah kelakuan. Dari kelakuan yang tidak baik menjadi lebih baik.

Sesuai dengan makna hijrah itu sendiri, yang secara lughawi bermakna at-tarku wal bu’du (meninggalkan atau menjauhi). Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, dalam kitabnya Zaadu al-Ma’ajir aw ar-Risalah Tabuukiyah, dalam menjelaskan makna hijrah ini, beliau menyatakan:
الهجرة هجرتان: هجرة بالجسم مِن بلد إلى بلد وهذه أحكامُها معلومة. والهجرة الثانية: الهجرة بالقلب إلى الله ورسوِله... وهذِه الهِجرة هي الهِجرة الحقيقيةُ ...
Ada 2 macam hijrah. Pertama adalah hijrah jismiyah, yakni berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain. Hijrah semacam ini hukum dan ketentuan-ketentuannya telah jelas. Dan yang kedua adalah hijrah qalbiyyah, yakni berpindahnya hati menuju kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Inilah sesungguhnya makna hijrah yang paling hakiki.       

Senada dengan penjelasan Imam Ibnu al-Qayyim di atas, Imam ‘Izz bin Abdis Salam ad-Dimasyqi as-Syafi’i dalam kitabnya Nadlratu an-Na’im juga mengatakan:

الهجرة هجرتان: هجرة الأوطان، وهجرة الإثم والعدوان، وأفضلهما هجرة الإثم والعدوان؛ لما فيها من إرضاء الرحمن وإرغام النّفس والشّيطان
Bahwa ada 2 macam hijrah, yaitu hijratul authan (meninggalkan suatu wilayah) dan hijratul itsmi wal ‘udwan (meninggalkan perbuatan dosa dan permusuhan). Dari 2 macam hijrah itu, yang paling utama adalah hijratul itsmi wal ‘udwan, karena di dalamnya ada keridhoan Dzat Yang Maha Rahman dan ditundukkannya segala hawa nafsu dan bisikan syaitan. Ini sesuai dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasa’i, dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash RA bahwa Nabi SAW pernah ditanya:

أَيُّ الْهِجْرَةِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ: (أَنْ تَهْجُرَ مَا كَرِهَ رَبُّكَ)
“Hijrah apakah yang paling utama”?. Beliau menjawab: “Yaitu hijrah meninggalkan perkara-perkara yang tidak disukai oleh Tuhanmu”.

Hadirin yang dirahmati Allah,

Akhirnya, seiring pergantian tahun ini tanpa terasa umur kita pun telah berkurang satu tahun. Itu berarti jatah hidup kita kian berkurang dan semakin mendekatkan kita pada hari kematian. Maka, tepat sekali apa yang dikatakan oleh Robi’ah al-Adawiyyah kepada Sufyan at-Tsauri, sebagaimana diceritakan dalam kitab Sifatu as-Shafwah:
إنما أنت أيّام معدودة، فإذا ذهب يوم ذهب بعضك، ويوشك إذا ذهب البعض أن يذهب الكلّ، فاعمل.
Sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari. Jika satu hari telah berlalu, maka sebagian dirimu juga berlalu. Bahkan sering kali ketika sebagian harimu berlalu, itu bisa saja menghilangkan seluruh dirimu (yakni: mematikanmu). Oleh karena itu, beramal-lah.”

Demikian khutbah ini disampaikan, semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang berhijrah dalam pengertian yang hakiki, yakni meninggalkan perkara-perkara yang tidak baik menuju perbuatan yang lebih baik. Amin ya Rabbal ‘Alamin


إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ ذِيْ الفَضْلِ وَالْإِنْعَامِ، الذي فَضَّلَ شَهْرَ الْمُحَرَّمِ عَلَى غَيْرِهِ مِنْ شُهُوْرِ العَامِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ فِي رُبُوْبِيَّتِهِ وَأُلُوْهِيَّتِهِ, وَأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ, كَمَا قَالَ تَعَالَى: (تَبَارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ)، وَأَشْهَدُ أَنَّ محمداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ البَرَرَةِ الكِرَامِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْرًا, أَمَّا بَعْدُ: فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ, اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. نَسْأَلُ اللهَ تعالى أَنْ يَرْزُقَنَا وَإِيَّاكُمْ خَشْيَتَهُ فِي الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، وَأَنْ يَجْعَلَنَا وَإِيَّاكُمْ مِنْ عِبَادِهِ المُتَّقِيْنَ, وَأَنْ يَهْدِيَنَا جَمِيْعاً سَوَاءَ السَّبِيْلِ، وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا عَلَى سيدنا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ, كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ الكريم: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً﴾. فاَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الأَئِمَّةِ المَهْدِيِّيْنَ: أَبِيْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ، وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِي الحَسَنَيْنِ عَلِي، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ, إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ.اَللَّهُمَّ أَنْتَ الأَبَدِيُّ القَدِيمُ الأَوَّلُ, وَعَلَى فَضْلِكَ العَظِيْمِ وَكَرِيْمِ جُوْدِكَ المُعَوَّلُ، وَهَذَا عَامٌ جَدِيْدٌ قَدْ أَقْبَلَ، نسْأَلُكَ العِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَوْلِيَائِه، وَالعَوْنَ عَلَى هَذِهِ النَّفْسِ الأَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ، وَالاِشْتِغَالَ بِمَا يُقَرِّبُنِيْ إِلَيْكَ زُلْفَى يَا ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ, وَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكم, وَلَذِكرُ اللهِ أَكْبَرُ, وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.





11 komentar:

  1. ijin download pak Dosen...terima kasih..

    BalasHapus
  2. assalamu alaikum
    salam takdhim buat jenengan
    alfaqir izin copas untuk bahan khutbah
    semoga berkah.... amin...

    BalasHapus
  3. jazakallah khoir ustaz atas ilmunya. saya ambil ilmunya ya ustaz. syukron

    BalasHapus
  4. Termakasih Pak Dosen. Izin make untuk khutbah. tetap saya baca buku ain juga tapi.

    Salam
    Hary

    BalasHapus
  5. Wa'alaikum salam, silahkan, semoga bermanfaat.

    BalasHapus
  6. Assalamualaikum, Wr.Wb Ustadz Mohammad Kholik, mohon izin mendownload dan akan tetapi blm tahu caranya. Mohon petunjuknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wlkmslm, silahkan bs lgsg dicopas aja Pa.. trmksh.

      Hapus
  7. Boleh kah saya pakai untuk di kampung tas?

    BalasHapus