TEORI NADZM (STRUKTUR KEBAHASAAN) DALAM DISKURSUS
I’JAZ AL-QUR’AN MENURUT ABDUL QAHIR AL-JURJANI
(Oleh: Mohamad Kholil)
A. Pendahuluan
Fakta sejarah menunjukkan, bahwa al-Qur’an diturunkan ke
muka bumi secara evolutif (tadrij) atau berangsur-angsur selama lebih
kurang 23 tahun. Hal ini mengisyaratkan bahwa al-Qur’an sejak pertama kali
diturunkan, ia berdialog sekaligus merespons prilaku masyarakat Arab saat
dakwah Islam disampaikan. Indikasi ini dapat dilihat dari style atau gaya
bahasa (uslub) yang digunakan oleh al-Qur’an dalam mengungkapkan
pesan-pesannya yang sangat beragam. Gaya bahasa (uslub) al-Qur’an tersebut
secara umum meliputi: keserasian dalam hal tata-bunyi; dapat dipahami oleh kalangan
ahli maupun masyarakat awam; dapat dicerna oleh akal dan perasaan; formulasi
dan narasinya yang sangat akurat; variasi dan pola penyusunan kalimat yang
sangat kaya dan variatif; menghimpun gaya tuturan secara global; dan penggunaan
kata yang efisien dan efektif.[1]
Terkait gaya ungkapan dalam al-Qur’an itu, Nasr Hamid Abu
Zaid misalnya, berpandangan bahwa aspek-aspek balaghah merupakan elemen
puncak dari bahasa. Maka tidak mengherankan apabila aspek balaghah itu
diletakkan begitu istimewa dalam banyak pendapatnya. Sebab, ungkapan-ungkapan al-Qur’an
yang bernuansa balaghah itu dapat menjadi jembatan yang menghubungkan rasio
manusia yang terbatas dengan dimensi Ilahiyah yang tak terbatas,
metafisik, adikodrati, bahkan dapat mengatasi ruang dan waktu. Hal ini
berdasarkan pada satu kenyataan tentang hakikat bahasa itu sendiri, yakni
bahasa sebagai “simbol” yang tentunya memiliki “acuan”. Karena itu, tidak
mengherankan apabila dalam al-Qur'an banyak ditemukan ungkapan yang bersifat metaforik-simbolik
atau bernuansa balaghah.[2]
Dengan demikian, aspek balaghah begitu penting, lebih-lebih
dalam kajian al-Qur’an, termasuk dalam diskursus i’jaz al-Quran. Demikian
pula eksplorasi terkait teori-teori atau konsep balaghah merupakan hal
yang tidak bisa diabaikan. Di antara sekian banyak tokoh utama penyusun teori
atau konsep balaghah ini adalah Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H/1078
M).
B. Biografi dan Konteks Historis Pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani
1.
Biografi Abdul Qahir al-Jurjani
Nama lengkapnya adalah Abu Bakr bin
Abdurrahman al-Jurjani, seorang pakar linguistik (al-imam al-lughawi) sekaligus
ulama mutakallim madzab Asy’ariyah. Ia juga dikenal sebagai faqih
(pakar di bidang fiqih) yang menganut madzhab Syafi’i dan peletak dasar-dasar balaghah.[3]
Abdul Qahir al-Jurjani dilahirkan di
Jurjan, salah satu kota terkenal yang terletak di antara Thabaramtan dan
Khurasan. Ia mempelajari ilmu nahwu dari Abu Hasan Muhammad bin Hasan
(putera dari saudara perempuan Abu Ali Al-Farisi yang sangat terkenal). Sedangkan
dalam bidang sastra dan kritik sastra, ia belajar kepada al-Qadhi Ali bin Abdul
Aziz al-Jurjani.[4]
Kitab-kitab yang pernah ditulis oleh
al-Jurjani cukup banyak, di antaranya: Dalail al-I’jaz, Asrar al-Balaghah,
ar-Risalah as-Syafiyah, Kitabu I’jaz al-Qur’an al-Kabir wa as-Shaghir, Syarh
al-Idhah li Abi Ali al-Farisi, Kitab al-Jumal, Kitab al-‘Awamil al-Miah, Tafsir
Surat al-Fatihah, dan lain-lain. Al-Jurjani meninggal pada tahun 471 H.[5]
2.
Konteks Historis Pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani
Diskursus seputar aspek-aspek balaghah
dalam sejarah pemikiran Islam, khususnya terkait i’jaz al-Qur’an,
merupakan problematika yang cukup kompleks. Berbagai perselisihan seputar aspek
balaghah dalam al-Qur’an bukan hanya representasi perselisihan
linguistik semata, tetapi juga perselisihan pemikiran ideologis hingga meluas
pada pandangan dunia (world view) yang sangat mendalam. Menurut W.
Montgomery Watt, sejak terjadi polarisasi antara Syi’ah-Sunni yang menemukan
bentuk finalnya antara 850-950 M, sejarah kalam merupakan sejarah
ketegangan doktrinal politis dengan intensitas yang berbeda dengan kurun waktu
antara Mu’tazilah dengan Asy’ariyyah, Hanbaliyyah yang literalis, atau
Maturidiyyah.[6]
Pada abad ketiga hijriyah, kajian i’jaz
al-Qur’an, di mana aspek balaghah merupakan salah satu unsurnya, menjadi
obyek pelemik di kalangan kaum muslim yang bertujuan membela dan mempertahankan
ideologi dan faham mereka masing-masing, seperti kitab Ta’wîl Musykilat
al-Qur’ân karya Ibn Qutaibah, Maqalat al-Islamiyin karya Abi
al-Hasan al-Asy’ari, Hujaj al-Nubuwwah karya al-Jahidz, dan al-Intishâr
karya Abi al-Hasan al-Khiyath. Di kalangan ulama tafsir, ada juga yang
mengkaji aspek i’jaz al-Qur’an, seperti al-Thabari dalam Jâmi’
al-Bayân dan Majâz al-Qurân yang ditulis oleh Abu ‘Ubaidah. Dari
kalangan ulama bahasa muncul seperti, al-Farra (w.207 H), Abu ‘Ubaidah (w. 210
H), al-Ahfasy (w.215 H), al-Zujaj (w. 311H), Abi Ja’far al-Nuhhas (w. 338), dan
lainnya.[7]
Polemik yang paling keras dalam
masalah ini terjadi di kalangan mutakallimin, terutama dengan kemunculan
faham Mu’tazilah. Bermula dari pendapat Labid bin A’sham, seorang Yahudi, yang
menganggap Taurat adalah makhluk, maka demikian pula al-Qur’an adalah makhluk.
Pendapat tersebut kemudian diikuti oleh Thalut ibn Ukhtah, Banan bin Sam’an,
al-Ja’d bin Dirham. Dari ketiga pengikut Labid bin A’sham tersebut, al-Ja’d bin
Dirhamlah yang paling keras melakukan provokasi terhadap pendapatnya, bahkan
secara terbuka, ia mengingkari al-Qur’an dan menolak beberapa isi kandungannya.
Menurutnya, al-Qur’an sesungguhnya tidak memiliki kemukjizatan, karena
sebenarnya manusia mampu membuat semisal al-Qur’an, bahkan lebih indah dari
al-Qur’an sendiri. Abu Ishaq Ibrahim al-Nadzam, seorang pengikut faham
Mu’tazilah menganggap i’jaz al-Qur’ân bukan terletak pada al-Qur’an
sendiri, tetapi terletak pada faktor eksternal al-Qur’an, yaitu kehendak Allah
yang membuat lemah dan tidak berdaya masyarakat Arab untuk membuat semisal
al-Qur’an, meskipun sesungguhnya mereka mampu membuatnya (al-sharfah).[8]
Menanggapi sikap pemikir Mu’tazilah
di atas, Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H) dengan kitab Dalâil al-I’jâz,
menolak pandangan itu. Ketidaksetujuannya itu ditunjukkan bukan sekedar karena perbedaan
latar belakang madzhab, tetapi lebih merupakan teriakan atas kesalahan
basis epistemologis Mu’tazilah dalam teologinya. Jika ketidakmampuan mereka (masyarakat
Arab) untuk menandingi al-Qur’an itu bukan karena keberadaan al-Qu’an yang
mukjizat, tetapi karena dimasukkannya ketidakmampuan ke dalam diri mereka, dan
dihalanginya tekad dan pikiran mereka dari kemungkinan untuk mengarang
pembicaraan yang semisal dengan al-Qur’an, sehingga keadaan mereka seperti
orang yang kehilangan pengetahuan tentang sesuatu yang sebelumnya mereka
ketahui atau orang yang dihalangi dari sesuatu yang sebelumnya bisa mereka
capai, maka seharusnya al-Qur’an itu tidak membuat mereka kagum, juga tidak
akan muncul tanda-tanda ketakjuban dari diri mereka. Hal ini sebagaimana ia
terangkan dalam kitabnya: Bukankah Anda melihat jika seorang Nabi mengatakan
kepada kaumnya, “Mukjizatku adalah meletakkan tanganku ini di atas kepalaku
pada saat ini, sementara kalian semua tidak akan mampu meletakkan tangan kalian
di atas kepala kalian” kemudian terjadi seperti yang dikatakannya. Apakah yang
dikagumi oleh kaumnya? Peletakan tangannya di atas kepalanya atau ketidakmampuan
mereka untuk meletakkan tangan mereka di atas kepala?.[9]
Dengan argumentasi yang cukup
menarik dan logis, melalui konsep an-nadzm, kategori mukjizat al-Qur’an
dalam pandangan al-Jurjani menjadi sangat jelas, bahwa aspek kemukjizatan
bahasa al-Qur’an adalah nyata dan bukan karena faktor masyarakat Arab “dipalingkan”
kemampuannya untuk membuat semisal al-Qur’an sebagaimana dikemukakan oleh
penganut paham as-sharfah.
C. Konsep Nadzm (Struktur Kebahasaan) dalam I’jaz al-Qur’an
1.
Definisi Nadzm
Secara etimologi, nadzm
berarti at-ta’lif (susunan, rangkaian, tatanan).[10] Ini sebagaimana dikemukakan juga dalam
al-Mu’jam al-Wasith, bahwa “nadzm al-Qur’an” berarti “ungkapan-ungkapan
al-Qur’an yang di dalamnya terkandung berbagai macam bentuk kata atau (unsur) bahasa”
(عبارته التي تشتمل
عليها المصاحف صيغة ولغة).[11] Dengan kata lain, nadzm,
sebagaimana dijelaskan Prof. Dr. D. Hidayat, bermakna التراكيب اللغويّة (struktur atau
susunan kebahasaan).
2.
Teori Nadzm Menurut Al-Jurjani dalam Diskursus I’jaz
al-Qur’an
Secara umum, pemikiran al-Jurjani
mengenai teori nadzm kaitan-nya dengan persoalan i’jaz al-Qur’an
terangkum dalam 3 pokok pikiran, yaitu: 1) al-Qur’an mengandung kemukjizatan dari
aspek balaghiyah-nya, 2) aspek balaghiyah al-Qur’an terletak pada
nadzm atau struktur kebahasaannya, karenanya dapat dikatakan bahwa
mukjizat al-Qur’an terletak pada aspek nadzm (struktur atau susunan
kebahasaan) yang digunakan, dan 3) tentang karakteristik dan esensi nadzm.[12]
a)
Al-Qur’an mengandung mukjizat dari aspek balaghah
Secara garis besar, penjelasan
al-Jurjani mengenai hal ini ia kemukakan melalui 2 (dua) argumentasi atau
pembuktian, yaitu:[13]
1) دلائل
أحوالهم, yakni bukti ketidakmampuan
masyarakat Arab untuk merespons tantangan al-Qur’an agar mereka membuat semisal
al-Qur’an meskipun hanya 1 surat yang paling pendek sekalipun.
2) دلائل
أقوالهم, yakni bukti berupa
pengakuan-pengakuan atau kesaksian mereka sendiri yang banyak terekam dalam
dokumen sejarah ketika al-Qur’an diturunkan dan ayat-ayatnya banyak dibacakan,
sebagaimana diceritakan dalam beberapa riwayat berikut ini:
Ø Riwayat dari Utbah bin Rabi’ah: suatu hari ia pernah bergegas
mendatangi Nabi SAW dengan membawa berbagai persoalan yang akan ia lontarkan ke
hadapan Nabi SAW untuk membantah keterangan-keterangannya sekaligus agar Nabi
SAW meninggalkan dakwahnya. Kemudian Nabi SAW membacakan surat “Fusshilat”
di hadapan Utbah, hingga ia spontan terperangah lalu pulang kepada kaumnya dan
mengatakan bahwa ia telah mendengar “perkataan” yang sebelumnya sama sekali
belum pernah ia dengar perkataan yang serupa dalam hal ketinggian bahasa yang
digunakan. Ia kemudian mengatakan: وما هو بالشعر ولا بالسحر ولا بالكهانة(dan
perkataan itu tidaklah mungkin sebuah syair, sihir, ataupun kata-kata ramalan).
Ø
Riwayat seputar masuk Islamnya Abi Dzar: bahwa suatu hari
saudara laki-laki Abi Dzar, Anis, pernah pergi ke Makkah dan bertemu dengan
Nabi SAW. Kemudian ia pulang dan bercerita kepada Abi Dzar, bahwa ia telah
mendengar ayat-ayat al-Quran dari Nabi SAW dan telah mencocokkannya dengan
bacaan-bacaan atau perkataan para penyair namun ia tidak menemukan satu
perkataan penyair manapun yang cocok. Ia pun telah mendengarkan banyak
perkataan para ahli ramal, namun al-Quran ternyata sangat berbeda dan tidak
bisa disamakan dengan perkataan ahli ramal tersebut. Sungguh, Nabi SAW adalah
seorang yang benar dan jujur, sedangkan musuh-musuhnya adalah pendusta.
b) Kemukjizatan al-Qur’an terletak pada nadzm
(struktur atau susunan kebahasaan) yang digunakan
Pokok-pokok pikiran al-Jurjani
mengenai masalah ini ia kemukakan secara rinci dan argumentatif dalam kitabnya
“Dalail al-I’jaz”,[14] yang secara umum menyangkut hal-hal
sebagai berikut:[15]
1) Adanya ayat-ayat di dalam al-Qur’an yang berisi tantangan
kepada masyarakat Arab agar mereka membuat semisal al-Qur’an meski hanya satu
surat yang paling pendek sekali pun, hal ini mengindikasikan bahwa aspek nadzam
(struktur atau susunan kebahasaan) al-Qur’an merupakan suatu kemukjizatan
tersendiri di tengah ketinggian penguasaan masyarakat Arab dalam bidang bahasa
dan sastra. Karena tidak mungkin Allah memberikan tantangan kepada mereka
dengan sesuatu yang tidak mereka miliki dan kuasai sebelumnya, yakni dalam
penguasaan bahasa dan sastra.
2) Fakta bahwa al-Qur’an menggunakan kosakata-kosakata atau lafadz
bahasa Arab yang sama dan telah mereka gunakan dalam kehidupan mereka sendiri, ini
pun cukup membuktikan bagaimana kemukjizatan al-Qur’an dalam hal struktur atau penataan
kebahasaannya yang sangat tinggi dan tak tertandingi bahkan oleh masyarakat
pengguna bahasa itu sendiri.
3) Penataan al-Qur’an yang sangat rapi dan tepat dalam
mengguna-kan huruf-huruf hidup (الحركات), huruf-huruf
mati (السكنات),
potongan-potongan pembicaraan atau jeda (الوقف; المقاطع;
الفواصل),
hal ini seolah mengimbangi bahkan melampaui penguasaan mereka dalam hal al-qawafi
yang biasa mereka gunakan dalam tradisi syi’r.
4)
Pemakaian dan penataan huruf-huruf di dalam al-Qur’an
yang seluruhnya sangat ringan, tepat, dan indah diucapkan. Bahkan termasuk
huruf-huruf yang dalam tradisi syi’r mereka sangat dihindari karena biasanya
cukup berat diucapkan.
5)
Penempatan kosakata (mendahulukan satu kata dan
mengakhir-kan kata lainnya) hingga soal tatanan i’rab yang sangat tepat
dan istimewa.
Hal-hal tersebut cukup menjadi bukti
yang sangat logis dan argumentatif bahwa aspek nadzm (struktur dan
susunan kebahasaan) al-Qur’an merupakan satu kemukjizatan tersendiri yang tidak
dapat ditandingi bahkan oleh masyarakat penutur bahasa itu sendiri.
c)
Karakteristik dan Essensi Nadzm dalam al-Qur’an
Terkait hal ini, al-Jurjani
mengemukakan beberapa pandangan sebagai berikut:[16]
1) Nadzm (struktur atau susunan kebahasaan) pada hakikatnya adalah
bagaimana membuat ungkapan-ungkapan yang sekiranya dapat mengungkap seluruh
maksud pihak pembicara secara fasih dan sempurna, sekaligus memastikan
maksud-maksud tersebut dapat ditransfer kepada pihak pendengar. Hal ini tentunya
hanya dapat dilakukan jika si pembicara mampu menguasai seluruh kompleksitas makna
yang akan diungkapkan, serta mampu menata struktur bahasa secara tertib dan
tepat sebagaimana struktur dan kompleksitas makna yang ada di dalam pikiran si
pembicara tersebut.
2) Dalam konsep nadzm, ada yang disebut dengan nadzm
al-huruf (tatanan huruf yang
membentuk kata) dan nadzm al-kalimat (tatanan kata yang membentuk jumlah/kalimat).
Nadzm al-huruf hanya berkaitan
dengan “keruntutan bunyi” yang pada dasarnya tidak terkait dengan “makna”. Artinya,
apabila struktur atau runtutan huruf-huruf yang membentuk kata itu (yang
berdiri sendiri) diubah atau dibolak-balik pun tidak berimplikasi pada kerusakan
makna. Dengan kata lain, makna baru dihasilkan ketika kata-kata tersebut dirangkaikan
dalam satu struktur yang lebih tinggi, yakni an-nadz al-kalimat. Karenanya,
penataan nadzm al-kalimat harus benar-benar tepat.
3) Untuk menjelaskan keunggulan nadzm al-kalimat yang
digunakan oleh al-Qur’an, di dalam kitabnya al-Jurjani mengemukakan beberapa contoh,
antara lain ulasannya terhadap QS. Al-An’am: 100 berikut ini (وجعلوا لله شركاءَ الجنَّ). Terkait
redaksi ayat tersebut, al-Jurjani menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
Ø Lafadz “ja'aluu”
merupakan fi’il (kata kerja) yang membutuhkan 2 buah maf’ul atau
obyek (dalam ayat ini yang berperan sebagai maf’ul adalah lafadz شركاء dan الجنّ). Biasanya, dalam
konteks tuturan bahasa Arab, ayat itu lazimnya dibaca: “وجعلوا الجنَّ شركاءَ لله”. Namun
al-Qur’an tidak menggunakan nadzm sebagaimana umumnya itu. Hal ini
karena al-Qur’an bermaksud mengungkap seluruh kekayaan “dimensi makna” yang
terkandung dalam nadzm yang digunakannya tersebut (وجعلوا لله شركاءَ الجنَّ), di mana seluruh
kekayaan makna itu tidak akan diperoleh jika menggunakan nadzm pada
umumnya (وجعلوا الجنَّ
شركاءَ لله).
Ø Tegasnya, apabila al-Qur’an menggunakan nadzm yang
umum digunakan وجعلوا الجنَّ شركاءَ لله, maka makna
yang dikandungnya akan menjadi sempit dan terbatas, karena sejatinya Allah
tidak boleh dipersekutukan dengan apapun, bukan hanya terbatas pada jin.[17]
D. Penutup
Penetapan al-Qur’an sebagai kitab suci berbahasa Arab
yang bernilai sastra sangat tinggi telah memposisikannya sebagai teks
linguistik. Sebagai teks linguistik, kajian terhadap aspek nadzm
al-Qur’an (struktur atau susunan kebahasaan al-Qur’an) merupakan suatu
keniscayaan, sebagai alat bantu memahami dan mengetahui maksud-maksudnya yang
universal. Sejak masa klasik, kajian tentang aspek kebahasaan al-Qur’an ini
sesungguh-nya telah sangat akrab diperbincangkan oleh para tokoh, termasuk
al-Jurjani. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa al-Jurjani dengan konsep nadzmiyah-nya
telah memberikan pondasi-pondasi penting bagi interpretasi al-Quran, sekaligus
mengungkap sisi kemukjizatannya dari sudut kebahasaan yang sampai saat ini
masih sangat dikagumi dan senantiasa dikaji oleh tokoh-tokoh kontemporer. [ ]
DAFTAR PUSTAKA
Alwy Amru, Majaz:
Telaah Pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani, http://alwyamru. blogspot.com
(Diakses: 27 Oktober 2013).
Barkah, Abdul
Ghani M. Sa’d, al-I’jaz al-Qur’ani, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989.
Ibnu Mandzur, Lisan
al-Arab, Kairo: Darul Ma’arif, (t.t.), (versi software:
http://rowea.blogspot.com/2011/04/pdf.html)
al-Jurjani, Abdul Qahir, Dalail al-I’jaz,
Mathba’ah al-Manar: 1331 H.
Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah bi Mishr, Mu’jam
al-Wasith.
Ar-Rumi, Fahd
bin Abdurrahman bin Sulaiman, Khashaish al-Qur’an al-Karim, Riyadh:
Maktabah at-Taubah, (t.t.).
[1] Alwy Amru, Majaz:
Telaah Pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani, http://alwyamru. blogspot.com (Diakses:
27 Oktober 2013).
[2] Ibid.
[3] Dr. Abdul Ghani M Sa’d
Barkah, al-I’jaz al-Qur’ani, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989, hlm. 169.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Alwy Amru, Majaz:
Telaah Pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Lihat: Qamus
al-Muhith, hlm. 1500, dan Lisan al-Arab, Juz 12, hlm. 578.
[11] Al-Mu’jam al-Wasith,
Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah bi Mishr, Juz 2, hlm. 941.
[12] Lihat: Dr. Abdul Ghani
M Sa’d Barkah, al-I’jaz al-Qur’ani, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989, hlm.
169.
[13] Penjelasan lebih rinci
tentang masalah ini dapat dibaca dalam: Dr. Abdul Ghani M Sa’d Barkah, al-I’jaz
al-Qur’ani, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989, hlm. 170-172.
[14] Lihat: Abdul Qahir
al-Jurjani, Dalail al-I’jaz, Mathba’ah al-Manar: 1331 H, hlm. 294 dst.
[15] Lihat: Dr. Abdul Ghani
M Sa’d Barkah, al-I’jaz al-Qur’ani, hlm. 185-190.
[16] Lihat: Ibid.,
hlm. 190-205.
[17] Lihat: Abdul Qahir
al-Jurjani, Dalail al-I’jaz, Mathba’ah al-Manar: 1331 H, hlm. 223.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar