Jumat, 14 Februari 2014

Memposisikan Akhlak Sebagai "Ruh" Pendidikan


MEMPOSISIKAN AKHLAK SEBAGAI “RUH” PENDIDIKAN:
KUNCI MEMBANGUN MORALITAS BANGSA

Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I. 
(Tulisan dimuat dalam Majalah Media Pembinaan Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, Mei 2011)
 

Suatu hari Imam As-Syafi'i RA ditanya oleh seseorang tentang pentingnya adab (etika, akhlak) dalam konteks pengajaran atau pendidikan, “sejauh manakah perhatianmu terhadap pengajaran adab?”. Beliau menjawab, “setiap kali telingaku mendengarkan pengajaran tentang adab meski hanya satu huruf, maka seluruh organ tubuhku akan turut menyimaknya, seolah-olah organ-organ itu memiliki alat pendengaran. Yang demikian itu merupakan perumpamaan dari kuatnya hasrat dan kecintaanku terhadap pengajaran adab”. Beliau kemudian ditanya lagi, “lalu bagaimanakah usahamu di dalam mencari pengetahuan tentang adab itu?”. Beliau menjawab, “aku akan dengan sekuat tenaga mencarinya seperti usaha seorang ibu mencari anak satu-satunya yang hilang”. (Hasyim Asy'ari, Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, 1415 H: 10-11).

Kisah di atas merupakan sepenggal pelajaran yang sangat menarik dan berharga dari Imam As-Syafi'i RA yang menjelaskan betapa penting dan berharganya soal etika, lebih-lebih di dalam aktifitas pendidikan atau pengajaran. Sehingga orang yang tidak ber-etika diumpamakan layaknya seorang ibu yang kehilangan anak satu-satunya yang dimiliki.

Etika merupakan sesuatu yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan umat manusia. Etika merupakan tolak ukur bagi keluhuran sikap mental, kepribadian, dan prilaku manusia, serta menjadi ciri khas (keistimewaan, pembeda) manusia dibandingkan makhluk-makhluk lainnya. Di mana, apabila ciri khas itu hilang maka martabat manusia akan jauh lebih rendah daripada binatang sekali pun. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila dalam konteks sejarah pemikiran (filsafat) misalnya, masalah etika ini menjadi salah satu diskursus dan wacana pemikiran yang telah berlangsung lama sejak ribuan tahun yang silam sehingga mendorong lahirnya filsafat moral (etika). Bahkan, dalam konteks ajaran (pendidikan) Islam, Rasulullah SAW pun dengan secara tegas menyatakan bahwa dirinya diutus oleh Allah SWT ke muka bumi adalah untuk tujuan memperbaiki akhlak atau etika umat manusia, ini sebagaimana diungkapkan di dalam hadits beliau: “Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) untuk memperbaiki akhlak”. Selain itu, etika (akhlak) merupakan ciri kesempurnaan tingkat keimanan dan keislaman seseorang, sebagaimana hal ini disabdakan oleh Rasulullah SAW: “Sesungguhnya orang yang paling baik Islamnya adalah orang yang paling baik akhlaknya”. (HR. At-Thobroni).

Dalam hal ini, Jejen Musfah, dalam Pengantar Filsafat Pendidikan Akhlak karya Suwito (2004: 18), mengemukakan bahwa pembentukan akhlak mulia merupakan tujuan yang sudah seharusnya diprioritaskan dalam pendidikan, apapun materi yang diajarkan. Karena itu, setiap guru (pendidik) dituntut mampu menjelaskan ruh atau nilai-nilai etika yang terkandung di dalam setiap materi yang diajarkannya, khususnya melalui sikap nyata atau keteladanan. Dengan demikian, murid atau peserta didik tidak hanya diberikan konsep-konsep yang bersifat ilmu pengetahuan semata, tetapi juga mendapatkan cermin dan penanaman nilai-nilai etika di dalamnya.

Etika memiliki pengertian dan dimensi yang sangat luas, yang secara garis besar mencakup etika terhadap diri sendiri, orang lain, Tuhan, dan alam semesta atau lingkungan. Singkatnya, segala prilaku dan aktifitas manusia dalam konteks apapun senantiasa dibatasi oleh nilai-nilai etis yang bermuara pada penilaian “baik” dan “buruk”. Manusia yang di dalam kehidupannya tidak memperhatikan masalah etika tak ubahnya seperti binatang buas yang hidup dengan hanya mengandalkan insting hewani-nya semata tanpa peduli terhadap nilai baik dan buruk di dalam setiap tindakannya.

Dalam konteks pendidikan, penekanan aspek etika ini menjadi lebih penting lagi. Karena etika merupakan unsur sangat penting yang mengintegral di dalam setiap aktifitas dan tujuan pendidikan. Hal ini sesuai dengan hakikat dan tujuan pendidikan itu sendiri, yakni sebagai upaya pembentukan dan pengembangan kepribadian manusia secara utuh sesuai dengan potensi atau fitrah yang dimiliki manusia sejak lahir. Dengan kata lain, pendidikan merupakan upaya pewarisan nilai-nilai luhur (transfer of moral) dalam rangka “memanusiakan manusia”, disamping sebagai proses pengajaran ilmu pengetahuan (transfer of knowledge).

Setiap aktifitas pendidikan, baik formal, non-formal, atau pun informal, di dalamnya selalu melibatkan peran guru dan murid sebagai subjek didik atau pelakunya. Maka agar tujuan pendidikan yang dicita-citakan dapat tercapai dengan baik, kedua subjek tersebut harus saling bersinergi satu sama lain sesuai dengan tugas, peran, dan tanggung jawabnya masing-masing. Dengan kata lain, untuk mencapai tujuan tersebut masalah etika harus menjadi prioritas. Dalam hal ini, peran seorang guru menjadi sangat penting dan menentukan di dalam mengarahkan dan menciptakan suasana pembelajaran dan pendidikan yang sehat, kondusif, dan tentunya etis.

Selain keharusan memiliki kompetensi keilmuan yang memadai, guru juga dituntut memiliki kecakapan dalam hal mendidik, penguasaan metode dan strategi pembelajaran, dan tentunya kapasitas moral dan kredibilitas yang tinggi. Singkatnya, seorang guru di dalam melaksanakan profesinya dituntut mampu menggabungkan di dalam dirinya 2 (dua) aspek sekaligus, yakni aspek ilmu pengetahuan (kompetensi pedagogik atau keilmuan) dan amal perbuatan (kompetensi moral atau kepribadian). Kedua aspek tersebut tercermin melalui pikiran, ucapan, sikap dan tindakan, termasuk bagaimana cara pengelolaan yang ditempuh oleh seorang guru terhadap segala dinamika dan situasi yang berlangsung di dalam setiap proses pembelajaran.

Peran ini tentunya merupakan suatu tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan bagi seorang guru, terutama menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan masalah etika yang merupakan bagian dari indikasi komitmen, konsistensi, dan kompetensi moral seorang guru.

Oleh karenanya, pemahaman dan pengamalan guru terkait masalah etika ini penting diupayakan secara terus menerus, lebih-lebih dalam situasi pendidikan pada masa sekarang di mana tidak sedikit guru yang melaksanakan tugas pendidikannya hanya sebatas mengajar [transfer of knowledge], tanpa memahami bagaimana etika yang seharusnya diterapkan di dalam dirinya sebagai seorang guru yang profesional dan patut diteladani. 

Akhirnya, sebagaimana tercantum dalam kalimat judul di atas, memposisikan akhlak sebagai “ruh” pendidikan adalah kunci utama dalam upaya membangun moralitas/karakter bangsa. [ ] Demikian. Semoga bermanfaat. 

*************

2 komentar: