MEMPOSISIKAN AKHLAK
SEBAGAI “RUH” PENDIDIKAN:
KUNCI MEMBANGUN
MORALITAS BANGSA
Oleh: Mohamad Kholil,
S.S., M.S.I.
(Tulisan dimuat dalam Majalah Media Pembinaan Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, Mei 2011)
Suatu hari Imam As-Syafi'i RA ditanya oleh seseorang tentang pentingnya
adab (etika, akhlak) dalam konteks pengajaran atau pendidikan, “sejauh
manakah perhatianmu terhadap pengajaran adab?”. Beliau menjawab, “setiap
kali telingaku mendengarkan pengajaran tentang adab meski hanya satu huruf,
maka seluruh organ tubuhku akan turut menyimaknya, seolah-olah organ-organ itu
memiliki alat pendengaran. Yang demikian itu merupakan perumpamaan dari kuatnya
hasrat dan kecintaanku terhadap pengajaran adab”. Beliau kemudian ditanya
lagi, “lalu bagaimanakah usahamu di dalam mencari pengetahuan tentang adab
itu?”. Beliau menjawab, “aku akan dengan sekuat tenaga mencarinya
seperti usaha seorang ibu mencari anak satu-satunya yang hilang”. (Hasyim
Asy'ari, Adab al-’Alim wa al-Muta’allim, 1415 H: 10-11).
Kisah di atas merupakan sepenggal pelajaran yang sangat
menarik dan berharga dari Imam As-Syafi'i RA yang menjelaskan betapa penting
dan berharganya soal etika, lebih-lebih di dalam aktifitas pendidikan atau
pengajaran. Sehingga orang yang tidak ber-etika diumpamakan layaknya seorang
ibu yang kehilangan anak satu-satunya yang dimiliki.
Etika merupakan sesuatu yang sangat penting dan mendasar
dalam kehidupan umat manusia. Etika merupakan tolak ukur bagi keluhuran sikap
mental, kepribadian, dan prilaku manusia, serta menjadi ciri khas (keistimewaan,
pembeda) manusia dibandingkan makhluk-makhluk lainnya. Di mana, apabila ciri
khas itu hilang maka martabat manusia akan jauh lebih rendah daripada binatang
sekali pun. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila dalam konteks sejarah
pemikiran (filsafat) misalnya, masalah etika ini menjadi salah satu diskursus
dan wacana pemikiran yang telah berlangsung lama sejak ribuan tahun yang silam
sehingga mendorong lahirnya filsafat moral (etika). Bahkan, dalam konteks
ajaran (pendidikan) Islam, Rasulullah SAW pun dengan secara tegas menyatakan
bahwa dirinya diutus oleh Allah SWT ke muka bumi adalah untuk tujuan
memperbaiki akhlak atau etika umat manusia, ini sebagaimana diungkapkan di
dalam hadits beliau: “Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) untuk memperbaiki
akhlak”. Selain itu, etika (akhlak) merupakan ciri kesempurnaan tingkat
keimanan dan keislaman seseorang, sebagaimana hal ini disabdakan oleh
Rasulullah SAW: “Sesungguhnya orang yang paling baik Islamnya adalah orang
yang paling baik akhlaknya”. (HR. At-Thobroni).
Dalam hal ini, Jejen Musfah, dalam Pengantar Filsafat
Pendidikan Akhlak karya Suwito (2004: 18), mengemukakan bahwa pembentukan
akhlak mulia merupakan tujuan yang sudah seharusnya diprioritaskan dalam
pendidikan, apapun materi yang diajarkan. Karena itu, setiap guru (pendidik) dituntut
mampu menjelaskan ruh atau nilai-nilai etika yang terkandung di dalam setiap
materi yang diajarkannya, khususnya melalui sikap nyata atau keteladanan.
Dengan demikian, murid atau peserta didik tidak hanya diberikan konsep-konsep
yang bersifat ilmu pengetahuan semata, tetapi juga mendapatkan cermin dan
penanaman nilai-nilai etika di dalamnya.
Etika memiliki pengertian dan dimensi yang sangat luas,
yang secara garis besar mencakup etika terhadap diri sendiri, orang lain,
Tuhan, dan alam semesta atau lingkungan. Singkatnya, segala prilaku dan
aktifitas manusia dalam konteks apapun senantiasa dibatasi oleh nilai-nilai
etis yang bermuara pada penilaian “baik” dan “buruk”. Manusia yang di dalam
kehidupannya tidak memperhatikan masalah etika tak ubahnya seperti binatang
buas yang hidup dengan hanya mengandalkan insting hewani-nya semata tanpa
peduli terhadap nilai baik dan buruk di dalam setiap tindakannya.
Dalam konteks pendidikan, penekanan aspek etika ini
menjadi lebih penting lagi. Karena etika merupakan unsur sangat penting yang
mengintegral di dalam setiap aktifitas dan tujuan pendidikan. Hal ini sesuai
dengan hakikat dan tujuan pendidikan itu sendiri, yakni sebagai upaya
pembentukan dan pengembangan kepribadian manusia secara utuh sesuai dengan
potensi atau fitrah yang dimiliki manusia sejak lahir. Dengan kata lain,
pendidikan merupakan upaya pewarisan nilai-nilai luhur (transfer of moral)
dalam rangka “memanusiakan manusia”, disamping sebagai proses pengajaran ilmu
pengetahuan (transfer of knowledge).
Setiap aktifitas pendidikan, baik formal, non-formal,
atau pun informal, di dalamnya selalu melibatkan peran guru dan murid sebagai
subjek didik atau pelakunya. Maka agar tujuan pendidikan yang dicita-citakan
dapat tercapai dengan baik, kedua subjek tersebut harus saling bersinergi satu
sama lain sesuai dengan tugas, peran, dan tanggung jawabnya masing-masing.
Dengan kata lain, untuk mencapai tujuan tersebut masalah etika harus menjadi
prioritas. Dalam hal ini, peran seorang guru menjadi sangat penting dan
menentukan di dalam mengarahkan dan menciptakan suasana pembelajaran dan
pendidikan yang sehat, kondusif, dan tentunya etis.
Selain keharusan memiliki kompetensi keilmuan yang
memadai, guru juga dituntut memiliki kecakapan dalam hal mendidik, penguasaan
metode dan strategi pembelajaran, dan tentunya kapasitas moral dan kredibilitas
yang tinggi. Singkatnya, seorang guru di dalam melaksanakan profesinya dituntut
mampu menggabungkan di dalam dirinya 2 (dua) aspek sekaligus, yakni aspek ilmu
pengetahuan (kompetensi pedagogik atau keilmuan) dan amal perbuatan (kompetensi
moral atau kepribadian). Kedua aspek tersebut tercermin melalui pikiran,
ucapan, sikap dan tindakan, termasuk bagaimana cara pengelolaan yang ditempuh
oleh seorang guru terhadap segala dinamika dan situasi yang berlangsung di
dalam setiap proses pembelajaran.
Peran ini tentunya merupakan suatu tugas dan tanggung
jawab yang tidak ringan bagi seorang guru, terutama menyangkut hal-hal yang
berkaitan dengan masalah etika yang merupakan bagian dari indikasi komitmen,
konsistensi, dan kompetensi moral seorang guru.
Oleh karenanya, pemahaman dan pengamalan guru terkait
masalah etika ini penting diupayakan secara terus menerus, lebih-lebih dalam
situasi pendidikan pada masa sekarang di mana tidak sedikit guru yang
melaksanakan tugas pendidikannya hanya sebatas mengajar [transfer of
knowledge], tanpa memahami bagaimana etika yang seharusnya diterapkan di
dalam dirinya sebagai seorang guru yang profesional dan patut diteladani.
Akhirnya, sebagaimana tercantum
dalam kalimat judul di atas, memposisikan akhlak sebagai “ruh”
pendidikan adalah kunci utama dalam upaya membangun moralitas/karakter
bangsa. [ ] Demikian. Semoga bermanfaat.
*************
Assalamualaikum
BalasHapusWa'alaikum salam.
BalasHapus