موضوع علم البلاغة
MEDAN KAJIAN ILMU BALAGHAH
A.
PENDAHULUAN
Ilmu Balâghah, sebagaimana
ilmu lain, berangkat dari sebuah proses penalaran untuk menemukan premis-premis
pengetahuan yang dianggap benar, untuk kemudian disatukan menjadi sekumpulan
teori. Setelah teori itu terkumpul secara generik dengan pembagian-pembagiannya
yang spesifik, maka ada kecenderungan untuk mempelajari bagian-bagian tersebut
secara parsial—dalam hal ini banyak disebut-sebut al-Sakkâki sebagai tokoh yang
mengubah balâghah dari shinâ’ah
menjadi ma’rifah—dari
induktif menjadi deduktif. Dari paparan tersebut tersirat bahwa setiap ilmu
mempunyai obyek kajian yang membatasi ruang gerak keilmuan tertentu, agar jelas
dan tidak mengaburkan pembahasan.
Sastra, sebagai medan
kajian Balaghah, meskipun merupakan ekspresi yang bebas, bukanlah
sesuatu yang tanpa aturan dan rumusan. Hal ini bisa dibuktikan dengan munculnya
beragam ilmu sastra yang menentukan kualitas sebuah karya sastra yang
dianalisa. Dalam tradisi ilmu sastra Arab, balâghah
setelah ia menjadi sebuah disiplin “ilmu”, mempunyai rumusan-rumusan tertentu
yang digunakan sebagai basis konkretisasi sastra dan tolak ukur keindahan dan
ke-balâghah-an karya
sastra. Balâghah merupakan ilmu sastra di atas kajian morfologi dan
sintaksis. Kajian balâghah
berpijak pada kedua ilmu tersebut, dimana secara teori prasyarat mempelajari balagah
harus menguasai morfologi (sharf)
dan sintaksis (nahw).
Makalah ini secara ringkas berusaha untuk mendeskripsikan obyek kajian ‘Ilmu al-Balâghah.
B.
PEMBAHASAN
1)
al-Balaghah — al-Fashahah
Balâghah secara
etimologi berarti al-wushûl wa
al-intihâ’ (sampai dan berakhir). Balâghah secara terminologi hanya ditempatkan sebagai
sifat yang melekat pada kalâm
(balâghatu al-kalâm)
dan sifat yang melekat pada mutakallim
(balâghatu al-mutakallim).
Balâghat al-kalâm, berarti ungkapan yang
sesuai dengan maksud yang dikehendaki, dengan kata-kata yang fasih, baik ketika
ia mufrad maupun murakkab. Sedangkan kalimat yang
bâligh (al-kalâm al-balîgh)
adalah kalimat yang mampu mengejawentahkan ide penutur untuk disampaikan kepada
lawan tutur (pendengar) dengan gambaran ide yang tidak berubah pada keduanya.
Sedangkan balâghat al-mutakallim, berarti
kemampuan diri untuk mencipta kalimat yang balîgh
(fasîh dan mengena
sasaran)[1]. Dari terminologi ini nampak jelas
bagaimana balâghah
mempunyai peran komunikatif—stimulus dan respon—dengan kalimat yang tidak
ambigu dan mampu mewakili ide penutur.
Al-Fashâhah dalam istilah
ilmu balâghah
diartikan sebagai ungkapan yang jelas, mudah dipahami dan benar strukturnya,
sebagaimana biasa digunakan oleh para penyair dan penulis[2]. Fashâhah
bisa terdapat dalam kata (al-mufrad),
kalimat (al-kalâm), maupun
penutur (al-mutakallim).
Sedangkan balâghah
hanya bersinggungan dengan kalimat (al-kalâm)
dan penutur (al-mutakallim)-nya
saja.[3] Dari pengertian balâghah dan fashâhah di atas nampak jelas
bagaimana balâghah
mensyaratkan aspek eksternal bahasa, yakni sampai dan mengenanya ide kalimat
kepada lawan tutur. Balâghah
menempatkan kalimat sebagai proses sampainya makna dari stimulus ke responden,
tidak hanya pada aspek internal kalimat saja (mufrad).
Pendek kata, kalimat yang balîgh
mesti fashîh dan tidak
sebaliknya.
Balâghah dalam
terminologi disiplin ilmu berarti sebuah kemampuan untuk mengungkapkan apa yang
ada dalam fikiran dengan ungkapan yang jelas maknanya dan benar strukturnya. Ini
sangat berkaitan erat dengan sastra bahkan pada awalnya mencakup ilmu sastra
dengan segala macam bentuk dan keindahannya[4]. Balâghah
dalam pengertian ini sering dipadankan dengan retorika. Gorys Keraf mengartikan
retorika sebagai suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, baik lisan maupun
tertulis, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun dengan baik.[5] Susunan pengetahuan yang berupa kumulasi
aturan-aturan pragmatik[6] dan estetika kalimat itulah yang dalam
bahasa Arab kemudian disebut sebagai Ilmu
Balâghah.
Balâghah mempunyai 3
cabang ilmu yaitu (1) Ilmu
al-Ma’âni (2) Ilmu
al-Bayân, dan (3) Ilmu
al-Badî’, ketiganya mempunyai obyek kajian yang masing-masing
saling melengkapi.
2)
Ilmu al-Ma’ani
‘Ilmu Ma’âni adalah
dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang menjelaskan pola kalimat agar bisa
disesuaikan dengan kondisi dan tujuan yang dikehendaki penutur. Tujuan ‘ilmu al-ma’âni adalah
menghindari kesalahan dalam pemaknaan yang dikehendaki penutur yang disampaikan
kepada lawan tutur. Ilmuan bahasa yang dianggap sebagai pencetus ilmu ini adalah
‘Abdul Qâhir al-Jurjani ( w. 471 H)[7].
Dari terminologi
‘ilmu al-ma’âni yang
ingin menyelaraskan antara teks dan konteks, maka obyek kajiannya-pun berkisar
pada pola-pola kalimat berbahasa Arab dilihat dari pernyataan makna dasar —ashly, bukan tab’iy— yang dikehendaki oleh
penutur. Menurut as-Sakkâki, yang dikehendaki oleh pembacaan model ma’âni bukan pada struktur
kalimat itu sendiri, akan tetapi pada “makna” yang terkandung dalam tuturan.
Jadi yang terpenting dalam pembacaan ma’ani
adalah pemahaman pendengar terhadap tuturan penutur dengan pemahaman yang
benar, bukan pada tuturan itu secara otonom.[8]
Adapun obyek
kajian Ilmu Ma’ani
adalah tema-tema berikut: (a) Kalâm
Khabar (b) Kalâm
Insya’ (c) al-Qashr
(d) Îjaz, Ithnab dan Musâwah, dan (e) al-Washl
dan al-Fashl.
a)
Kalâm Khabar (Statement
Sentence)
Kalâm Khabar atau kalimat
berita adalah kalimat yang penuturnya bisa dikatakan jujur atau bohong. Penutur
dikatakan jujur jika kalimatnya sesuai dengan fakta, dan dikatakan bohong jika
kalimatnya tidak sesuai dengan fakta[9]. Contoh kalâm khabar “purnama telah datang dan pekat-pun
berlalu”, bisa saja berita ini benar namun bisa juga salah. Adapun tujuan
kalimat berita (kalâm khabar)
bermacam-macam, diantaranya:
Ø
Sebagai permohonan belas kasihan (istirhâm), contoh: إني
فقير إلى عفو ربي
Ø
Menampakkan kelemahan dan kepasrahan , contoh: إني
وهن العظم مني واشتعل الرأس شيبا
Ø
Penyesalan dari sesuatu yang diharapkan, contoh: إني
وضعتها أنثى
Dilihat dari
sisi susunan gramatikalnya, kalâm
khabar dibagi ke dalam 2 bentuk[10]:
Pertama: al-jumlah
al-fi’liyyah (verbal sentence), menunjukkan suatu pekerjaan yang
temporal, dengan tiga keterangan waktu: sekarang, yang telah berlalu, dan yang
akan datang. Contoh:أشرقت الشمس وقد ولى الظلام هاربا
Kedua: al-jumlah
al-ismiyah (nominal sentence), biasanya untuk menentukan ketetapan
sifat kepada yang disifati dan untuk menyatakan kebenaran umum (general truth). Contoh: الأرض
متحركة والشمس مشرقة
b)
Kalâm Insya’ (Originative
Sentence)
Kalâm Insya’ adalah kalimat
yang penuturnya tidak bisa dinilai bohong ataupun jujur.[11] Kalâm insya’ dibagi dalam 2 bagian, yaitu (1) Insya’ thalaby (2) Insya’ ghairu thalaby.
1)
Insya’ Thalaby
Insya’ thalaby adalah kalimat
yang menghendaki suatu permintaan yang belum diperoleh saat meminta. Insya’ thalaby dibagi dalam 5
macam, yaitu[12]:
Ø
al-ِِِAmr
Al-Amr adalah meminta
terlaksananya suatu pekerjaan kepada lawan bicara dengan superioritas dari
penutur untuk melaksanakan perintah. Dilihat dari bentuk kalimatnya, al-amr dalam bahasa Arab
memiliki 4 bentuk, yaitu[13]:
·
Fi’il amr, contoh: يَايَحْيَى
خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَءَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا (مريم: 12)
·
Fi’il mudhâri’ yang bersambung
dengan lâm al-amr,
contoh: لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن
سَعَتِهِ (الطلاق: 7)
·
Ism fi’il al-amr, contoh: يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَيَضُرُّكُمْ مَّنْ ضَلَّ
إِذَااهْتَدَيْتُمْ َ(المائدة: 105)
·
Mashdar sebagai ganti fi’il amr, contoh: وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا (البقرة:
83)
Ø
al-Nahy
Al-nahy adalah meminta
dihentikannya suatu pekerjaan kepada lawan bicara dengan superioritas dari
penutur untuk melaksanakan permintaan. Struktur kalimatnya disusun dengan
menyambungkan fi’il mudhâri’
dengan lâ nâhiyah (berarti:
jangan..!)[14] contoh: وَلاَتُفْسِدُوا فِي
اْلأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ (
الأعرف: 85)
Ø
al-Istifhâm
Al-Istifhâm adalah mencari
tahu tentang sesuatu yang belum diketahui sebelumnya, dengan menggunakan adât al-istifhâm (kata sandang
untuk istifhâm),
yaitu: hamzah, hal, man, mâ, matâ,
ayyâna, kayfa, aina, kam dan
ayyu. Dilihat dari segi bentuk permintaannya, istifhâm dibagi menjadi 3 macam,
yaitu[15]:
·
Pertanyaan yang kadang meminta konfirmasi
dan kadang meminta afirmasi (tashawwur).
Adât yang digunakan
adalah hamzah, contoh: أعلي مسافر أم
خالد؟
- أعلي
مسافر؟
·
Pertanyaan yang meminta afirmasi saja, adât al-istifhâm yang digunakan
adalah hal, contoh: هل يعقل
الحيوان؟
·
Pertanyaan yang meminta konfirmasi saja, adât yang digunakan adalah semua
adât al-istifhâm kecuali
hal dan hamzah, contoh:
يسئلونك عن الساعة أيان
مرسها؟
Ø
al-Tamannî
Al-Tamannî adalah
mengharapkan sesuatu yang mustahil digapai atau yang tidak mampu digapai[16].
·
Sesuatu yang mustahil digapai, contoh:
ألا ليت الشباب يعود
يوما * فأخبره بما فعل المشيب
·
Sesuatu yang mungkin digapai namun tidak
mampu teraih, contoh:
يَالَيْتَ لَنَا
مِثْلَ مَآأُوتِىَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (القصص:79)
Ø
al-Nidâ’
al-Nidâ’ adalah meminta
kedatangan sesorang atau sesuatu dengan kata ganti yang bermakna “aku
memanggil”. Ada 8 kata sandang dalam al-Nidâ’,
yaitu: hamzah, aiy, yâ, wâ, âa, ayâ, hayâ dan wâ. Hamzah dan aiy
berfungsi untuk memanggil sesuatu yang berada di dekat pemanggil, sedangkan `adât yang lain untuk sesuatu
yang jauh dari pemanggil. Contoh[17]:
أيا جميع الدنيا لغير
بلاغة * لمن تجمع الدنيا و أنت تموت
Selain berfungsi
memanggil, al-nidâ’
memiliki makna yang beragam seiring konteks yang melingkupinya, macam-macam
arti nidâ’ antara
lain:
·
al-Ighrâ` (bujukan,
anjuran), seperti anjuran kepada seseorang yang mondar mandir mau masuk rumah
musuhnya: يا شجاع أقدم
·
al-Zijr (hardikan,
cacian), contoh:
يا فؤدي متى المتاب
ألما * تصح والشيب فوق رأس ألما
·
al-Tahassur wa
al-Taujî` (penyesalan dan kesakitan), contoh:
وَيَقُولُ الْكَافِرُ
يَالَيْتَنِي كُنتُ تُرَابًا (النباء:40)
·
al-Istighâtsah (permintaan
pertolongan), contoh:
يا ألله…. حبي وهوائي
مكتوم إليها
·
al-Nudbah
(ratapan/elegi), contoh:
فواعجبا كم يدعي
الفضل ناقص * ووا أسفا كم يظهر النقص فاضل
2)
Insya’ Ghair Thalaby
Insya’ Ghairu Thalaby adalah kalimat
yang di dalamnya tidak menghendaki suatu permintaan. Insya’ ghairu thalaby bisa
berbentuk al-Madh wa al-Dzam, Shiyâgh
al-’Uqûd, al-Qasam, dan
al-Ta’ajjub wa al-Raja’. Contoh: [18]
Ø
al-Madh wa al-Dzam, menggunakan
kata ni’ma, bi`sa dan habbadza, contoh: نعم الكريم حائم…. وبئس البخيل مادر
Ø
Shiyaghu al-’Uqûd, kebanyakan
menggunakan shîghah fi’il madhi, contoh:
بعتك هذا ووهبتك ذاك
Ø
al-Qasam, menggunakan wawu, ba’, ta’ dan lain
sebagainya, contoh: لعمرك ما فعلت كذا
Ø
al-Ta’ajjub, biasanya berisi
dua pernyataan yang berkebalikan, contoh: كيف
تكفرون بالله وكنتم أمواتا فأحياكم (البقرة 28)
Ø
al-Raja’, biasanya
menggunakan, ‘asâ, hariyyu
(la’alla) dan ikhlaulaqa,
contoh: عسى الله أن يأتي بالفتح
c)
Al-Qashr (Rhetorical Restriction)
Al-Qashr berarti
mengkhususkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan cara yang khusus pula,
kata pertama disebut al-maqshûr
(yang mengkhususkan) dan kata yang kedua disebut al-maqshûr ‘alaihi (yang dikhususkan)[19]. Metode pembentukan qashr ada 4 macam yaitu:
1.
al-nafyu wa
al-istitsnâ`, contoh: ما شوقي إلا شاعر وما
شوقي إلا شاعر
2.
innamâ, contoh: إِنَّمَا
يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُا (الفاطر: 28)
3. mendahulukan
kata yang seharusnya berada di akhir, contoh: إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (الفاتحة: 5)
4. athaf dengan lâ,
bal dan lakin, contoh:
عمر الفتى ذكره لا طول مدته * وموته حزيه لا يومه الداني
Qashr dilihat dari
eksistensinya ada 2 macam:
Pertama: Qashr Haqîqy yaitu
pengkhususan sesuatu berdasarkan realitas kenyataan tuturan dan tidak keluar
dari itu, contoh: لا إله إلا الله
Kedua: Qashr Idhôfi yaitu
pengkhususan sesuatu yang didasarkan pada penyandaran sesuatu yang berada di luar
ujaran, contoh: إنما حسن شجاع
d)
Îjaz (Brachylogi),
Ithnab (Periphrasis), Musâwah (Equality)
1.
Îjaz adalah adanya
makna yang luas di balik kalimat yang pendek.
Îjaz ada 2 macam, ada kalanya Qashr
(meringkas) dan ada kalanya Hadzf
(membuang)[20]. Contoh:
ولكم فى القصاص حياة
يا أولى الألباب (القصر)
وجاهدوا فى الله حق جهاده (الحذف)
2.
Ithnab[21] adalah
menambah kata-kata dari makna yang sebenarnya untuk tujuan tertentu. Contoh:
تنزل الملائكة و
الروح فيها
3.
Musâwah adalah kalimat
yang kata-katanya sepadan dengan maknanya, dan maknanya sepadan dengan
kata-katanya, tidak lebih dan tidak kurang, contoh: ستبدى لك الأيام ما
كنت جاهلا * ويأتيك بالأخبار من لم تزود
e)
Al-Fashl dan al-Washl
Al-Washl adalah
menyambungkan kalimat dengan kalimat yang lainnya dengan huruf wawu[22],
contoh: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا
مَعَ الصَّادِقِينَ (التوبة: 119)
Al-Fashl adalah
kebalikan dari al-washl,
yakni tidak menyambungkan antara dua kalimat, contoh:
وَلاَتَسْتَوِي
الْحَسَنَةُ وَلاَالسَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا
الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (فصلت:34)
3)
Ilmu al-Bayan
Al-Bayân secara
etimologi berarti penyingkapan, penjelasan dan keterangan. Sedangkan secara
terminologi, Ilmu Bayân
berarti dasar dan kaidah-kaidah yang menjelaskan keinginan tercapainya
satu makna dengan bermacam-macam metode (gaya bahasa), bertujuan menjelaskan
rasionalitas semantis dari makna tersebut.[23]
Berangkat dari
pengertian Ilmu Bayan yang berisi bermacam-macam metode untuk menyampaikan
makna, maka obyek kajiannya-pun berkisar pada berbagai corak gaya bahasa yang
merupakan metode penyampaian makna. Obyek kajian Ilmu Bayan meliputi:
(1) Tasybîh (2) Majâz dan (3) Kinâyah.
Al-Tasybîh adalah seni
penggambaran yang bertujuan menjelaskan dan mendekatkan sesuatu pada pemahaman.
Tasybîh merupakan
ungkapan yang menerangkan adanya kesamaan sifat diantara beberapa hal, yang
ditandai dengan kata sandang kaf
(bak/laksana) dan sejenisnya, baik secara tersurat maupun tersirat. Tasybîh mempunyai beberapa unsur,
antara lain: Musyabbah, Musyabbah Bih
--keduanya disebut sebagai 2 titik pokok Tasybih--, Adâtu al-Tasybîh, dan Wajhu al-Syibhi.[25] Dari beberapa unsur ini lalu
memunculkan beberapa macam tasybih,
yaitu:
Ø Tasybih Mursal, yaitu tasybih yang disebutkan adât (kata sandang)-nya, contoh:
أنت كالليث في الشجاعة والإقــ * دام والسيف في قراع الخطوب
Ø Tasybih Muakkad, yaitu tasybih yang dibuang adât (kata sandang)-nya, contoh:
أنت نجم في رفعة وضياء * تجتليك العيون شرقا وغربا
Ø Tasybih Mujmal, yaitu tasybih yang dihilangkan wajah syibhi-nya, contoh: كأنهن
بيض مكنون
Ø Tasybih Baligh, yaitu tasybih yang tidak ada adat dan wajah shibhi-nya, contoh: ركبوا
الدياجى والسروج أهــ * لة وهم بدور والأسنة أنجم
b) Al-Majâz (Allegory)[26]
Majâz secara
etimologi terbentuk dari kata jâza
al-syai’ yajûzuhu (melampaui sesuatu). Sedangkan secara
terminologi, majâz
menurut al-Jurjani berarti nominal yang dimaksudkan untuk menunjuk sesuatu yang
bukan makna tekstual, karena adanya kecocokan antara keduanya (makna tekstual
dan kontekstual).[27] Majâz
ada 2 macam, yaitu:
1)
Majâz Lughawi
Majâz Lughawi adalah ujaran
yang digunakan untuk menunjuk sesuatu diluar makna tekstual (dalam istilah
percakapan) karena adanya korelasi (dengan makna kiasan), dengan adanya
indikasi yang melarang pemaknaan asli (tekstual).[28] Majâz
Lughawi dibagi lagi menjadi 2 macam: Isti’ârah dan Majâz
Mursal.
Ø
Isti’ârah
Istiârah adalah majâz dimana hubungan antara
makna asli dengan makna kiasan bersifat hubungan ke-serupa-an. Isti’ârah dilihat dari segi
penyebutan musyabbah
dan musyabbah bih-nya
dibagi lagi menjadi 2 macam[29]:
·
Al-Isti’ârah
al-Tashrihiyyah: adalah isti’ârah yang diutarakan dengan
tetap menyebutkan kata-kata musyabbah
bih-nya, contoh:
وأقبل يمشى فى البساط
فما درى * إلى البحر يسعى أم إلى البدر يرتقى
·
Al-Isti’arah
al-Makniyyah: adalah isti’ârah
yang dibuang musyabbah bih-nya
dan digantikan dengan sesuatu yang lazim dengan itu, contoh:
وإذا المنية أنشبت
أطفارها * ألفيت كل تميمة لا تنفع
Dilihat dari segi
pengambilan kata-kata yang dijadikan isti’ârah,
isti’ârah ada 2 macam,
yaitu:
·
Isti’ârah Ashliyyah: yaitu isti’ârah
yang kata-kata isti’arah-nya
berasal dari ism jins (generik
noun: kumpulan noun berupa sesuatu non-personal), contoh:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ
إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ (إبراهيم: 1)
·
Isti’ârah Taba’iyyah: yaitu isti’ârah yang kata-kata isti’arah-nya diambil dari isim, fiil ataupun huruf, contoh:
وَلأُصَلِّبَنَّكُمْ
فِي جُذُوعِ النَّخْلِ وَلَتَعْلَمُنَّ أَيُّنَا أَشَدُّ وَأَبْقَى (طه: 71)
Dilihat dari pengkiasan musyabbah dan musyabbah bih-nya, isti’arah dibagi menjadi 3
macam:
·
Isti’arah
al-Murasysyahah: yaitu isti’ârah
yang disebutkan pengkiasan pada
musyabbah bih-nya, contoh:
أُولَـئِكَ الَّذِينَ
اشْتَرَوا الضَّلاَلَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَت تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا
مُهْتَدِينَ (البقرة: 16)
·
Isti’ârah al-Mujarradah: yaitu isti’ârah yang disebutkan
pengkiasan pada musyabbah-nya,
contoh:
وليلة مرضت من كل
ناحية * فما يضئ لـها نجم ولا قمر
·
Isti’ârah al-Muthlaqah: yakni isti’ârah yang tidak disebutkan
pengkiasan pada musyabbah
dan musyabbah bih-nya,
ataupun disebutkan keduanya secara bersamaan, contoh:
الَّذِينَ يَنقُضُونَ
عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ
مَآأَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُوْلَـئِكَ
هُمُ الْخَاسِرُونَ
(البقرة: 27)
Ø
Majâz Mursal
Majâz Mursal adalah majâz yang hubungan pemaknaannya
tidak bersifat ke-serupa-an. Majâz
mursal dilihat dari segi pengkiasannya dibagi ke dalam beberapa
bentuk, diantaranya[30]:
·
as-Sababiyyah , contoh: له
أياد علي سابغة * أعد منها ولا أعددها (المتنبى)
·
al-Musabbabiyyah, contoh: فمن
شهد منكم الشهر فليصمه (الآية)
·
al-Kulliyah, contoh: يقولون
بأفواههم ما ليس في قلوبهم (الآية)
·
al-Juz`iyyah, contoh: فرجعنك
إلى أمك تقر عينها ولا تحزن (الآية)
·
I’tibâr mâ kâna, contoh: وآتو
اليتامى أموالـهم (الآية)
·
I’tibâr mâ yakûnu, contoh: إني
أرني أعصر خمرا (الآية)
·
al-Hâliyah, contoh: واسأل
القرية التى كنا فيها (الآية)
·
al-Mahalliyah, contoh: وأما
الذين ابيضت وجوههم ففى رحمة الله (الآية)
2)
Majâz ‘Aqli
Majâz ‘aqli adalah majâz yang menyandarkan fi’il (verb) atau sejenisnya
bukan kepada pemaknaan yang sebenarnya karena adanya indikasi yang melarang
pemaknaan yang sebenarnya (tekstual)[31]. Ada beberapa model hubungan
pengkiasan dalam majâz ‘aqli,
diantaranya:
Ø
hubungan sebab akibat, contoh: وإذا
تليت عليهم آياته زدتهم إيمانا
Ø
hubungan waktu, contoh: يوما
يجعل الولدان شيبا
Ø
hubungan tempat, contoh: وجعلنا
الأنهار تجرى من تحتهم
c) Al-Kinâyah (Metonymy[32])
Kinâyah secara
etimologi adalah sesuatu yang dibicarakan oleh seseorang namun maksudnya lain.
Secara terminologi, kinâyah
berarti ujaran yang dimaksudkan bukan untuk makna sesungguhnya, namun
diperbolehkan menggunaan makna sesungguhnya karena tidak adanya indikasi yang
melarang keinginan pemaknaan haqiqî.[33] Kinâyah
dilihat dari segi kedudukan kalimatnya dibagi menjadi 3, yaitu[34]:
Ø Berkedudukan
sebagai sifat, contoh:
قالت الخنساء فى أخيها صخر: طويل النجاد رفيع العماد * كثير
الرماد إذا ما شتا
Ø Berkedudukan sebagai mausûf,
contoh: الضاربين بكل أبيض مخدام * والطاعنين مجامع الأضغان
Ø Berkedudukan sebagai nisbat,
contoh: إن السماحة والمروءة والندى * فى قبة ضربت على ابن الحشرج
4)
Ilmu al-Badi’
Al-Badî’ secara
etimologi adalah kreasi yang dicipta tidak seperti ilustrasi yang telah ada.
Secara terminologi, Ilmu Badi’
adalah ilmu yang mempelajari beberapa model keindahan stylistika, beberapa pepaês—ornamen perhiasan
kalimat—yang menjadikan kalimat indah dan bagus, menyandangi kalimat dengan
kesantunan dan keindahan setelah disesuaikan dengan situasi dan kondisi.[35]
Secara gais
besar Ilmu Badî’
mempunyai 2 obyek kajian, yaitu al-Muhassinât
al-Lafdziyyah (keindahan ujaran) dan al-Muhassinât al-Ma’nawiyyah (keindahan makna).
1)
al-Muhassanât
al-Lafdziyyah
Ø
al-Jinâs (Paronomasia;
Pun) [36]
Jinâs adalah adanya
kesamaan 2 kata dalam pelafalan namun berbeda dalam pemaknaan. Ada 2 macam jinâs, yaitu[37]:
·
Jinâs tâm: adanya
kesamaan antara 2 kata baik dari aspek jumlah hurufnya, macam hurufnya, syakl-nya dan urutannya. Contoh:
وَيَوْمَ تَقُومُ
السَّاعَةُ يُقْسِمُ
الْمُجْرِمُونَ مَالَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ
كَذَلِكَ
كَانُوا يُؤْفَكُونَ (الروم: 55)
·
Jinas ghairu tâm: adanya persamaan
antara 2 kata dalam salah satu macam dari keempat macam persyaratan di atas (syakl, huruf, jumlah dan
urutannya). Contoh:
فَأَمَّا الْيَتِيمَ
فَلاَتَقْهَرْ وَأَمَّا السَّائِلَ فَلاَتَنْهَرْ (الضحى:9-10)
Ø
al-Saj’ (Rhimed Prose)
Saj’ dalam
terminologi balâghiyyin
berarti adanya 2 kalimat atau lebih yang mempunyai akhiran dengan huruf yang
sama. Kata terakhir pada setiap kalimat disebut dengan fâshilah, dan setiap kalimat
disebut dengan faqrah.[38] Ada 3 macam saj’, yaitu:
·
Al-Saj’ al-Mutharraf, yaitu 2
kalimat atau lebih yang wazan
fashilah-nya
berbeda namun bunyi akhirnya sama, contoh:
أَلَمْ نَجْعَلِ
اْلأَرْضَ مِهَادًا وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا (النبأ:6-7)
·
Al-Saj’ al-Murashsha’, yaitu 2
kalimat atau lebih yang lafadz
pada setiap faqrah-nya
memiliki wazan dan qafiyah yang sama, contoh:
فهو يطبع الأسجاع
بجواهر لفظه، ويقرع الأسماع بزواجر وعظه
·
Al-Saj’ al-Mutawâzi, adalah 2 faqrah yang sama dalam wazan dan qafiah-nya, contoh:
فِيهَا
سُرُرُُمَّرْفُوعَةٌ وَأَكْوَاب ُُمَّوْضُوعَةٌ (الغاشية:13-14)
Ø
al-Tarshî’ (Homoeptoton)
Tarshî’ adalah adanya
kesamaan antara lafadz dalam faqrah
pertama (syathrah
pertama) dengan faqrah
sesudahnya dalam wazan
dan qafiyah-nya[39]. Adakalanya sama persis dalam wazan dan a’jaz-nya, seperti:
إِنَّ اْلأَبْرَارَ
لَفِي نَعِيمٍ وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ (الانفطار:13-14)
dan adakalanya berdekatan saja dalam wazan dan a’jaz-nya, contoh:
وَءَاتَيْنَاهُمَا
الْكِتَابَ الْمُسْتَبِينَ وَهَدَيْنَاهُمَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (الصافات:
117-118)
Ø
al-Tasythir (Internal Rhyme)
Tasytîr adalah
pembagian penyair terhadap shadr
dan ‘ajuz syair
masing-masing menjadi 2 bagian, dan antara shadr dan ‘ajuz,
saja’-nya
dibuat berbeda. Contoh:[40]
كالزهر فى ترف والبدر
فى شرف * والبحر فى كرم والدهر فى همم
2)
al-Muhassanât
al-Ma’nawiyyah
Ø
al-Tauriyah
(Paronomasia; Pun)
Al-Tauriyah adalah ujaran
yang mempunyai 2 makna, pertama, makna yang dekat
dari penunjukan ujaran yang nampak, kedua, makna yang jauh
dan penunjukan katanya tersirat dan inilah makna yang dikehendaki. [41] Contoh: وَهُوَ الَّذِي
يَتَوَفَّاكُم بِالَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَاجَرَحْتُم بِالنَّهَارِ (الأنعام:60)
Ø
al-Thibâq (Antithesis)
Thibâq adalah
terkumpulnya suatu kata dengan lawan-kata-nya dalam sebuah kalimat, ada 2 macam
thibâq[42],
yaitu:
·
Thibâq al-Ijab, yaitu thibâq yang kedua hal yang
berlawanan itu tidak hanya dibedakan dengan mempositifkan dan menegatifkan
saja, contoh: وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ (الكهف: 18)
·
Thibaq al-Salbi, yaitu thibâq
yang hanya memperlawankan kata negatif dan positifnya saja, contoh:
فَلاَ تَخْشَوُا
النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلاَ تَشْتَرُوا بِئَايَاتِي ثَمَنًا قَلِيلاً
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
(المائدة:44)
Ø
al-Muqâbalah (Antithesis)
Muqâbalah adalah membuat
susunan 2 makna atau lebih, kemudian membuat susunan yang berlawanan dari makna
itu secara berurutan.[43] Contoh:
فَأَمَّا مَنْ
أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ
لِلْيُسْرَى وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى وَكَذَّبَ
بِالْحُسْنَى
فَسَنُيَسِّرُهُ
لِلْعُسْرَى (الليل:5-10)
Ø
Husnu al-Ta’lil (Conceit)
Husnu al-ta’lil adalah
pengingkaran seorang sastrawan secara tersurat maupun tersirat atas sebuah
konvensi dan mendatangkan konvensi sastra baru sebagai cara yang sesuai dengan
tujuan yang diinginkan [44]. Contoh: ماهتزب الأغصان فى
الروض بفعل النسيم ولكنها رقصت غبطة بقدومكم
Ø
Uslûb al-Hakîm (Deliberate
Equivocation)
Uslûb al-Hakîm terjadi ketika
orang yang diajak berbicara menjawab dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan
yang diharapkan orang yang bertanya. Dengan cara keluar dari pentanyaan itu,
atau dengan menjawab sesuatu yang tidak ditanyakan, ataupun membawa pembicaraan
kepada topik lain, sebagai sebuah isyarat bahwa penanya pantasnya tidak usah
menanyakan hal itu, atau berbicara pada topik yang diharapkan lawan bicara.[45] Contoh:
يَسْئَلُونَكَ عَنِ
اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ (البقرة:
189)
Selain beberapa
macam muhassinât al-ma’nawiyyah
di atas, para ulama balaghah masih banyak menyebutkan pola-pola lain
seperti itbâ’, istitbâ’, tafrî’
dan lain sebagainya, namun yang paling sering dikemukakan dan dijumpai adalah 5
pola di atas.
C.
KESIMPULAN
Obyek kajian ilmu balâghah merupakan 3
serangkai retorika bahasa Arab yang saling melengkapi. Ilmu Ma’ani, ia merupakan
kajian makna pertama yang menyelaraskan ujaran dengan situasi dan kondisi.
Setelah memahami makna pertama dari sebuah ujaran, Ilmu Bayan mengajak pembaca
berfantasi memahami sebuah ide dengan beberapa style sastra yang kemudian
disempurnakan irama dan maknanya oleh Ilmu
Badi’.
Demikian pemaparan
singkat tentang obyek kajian ilmu
balâghah. Menurut penulis, ilmu sastra --termasuk di dalamnya ilmu balâghah--, merupakan
sebuah struktur yang mengejawentah dari konvensi (rasa sastra) menjadi sebuah
teori. Namun struktur itu bukan sesuatu yang statis, akan tetapi merupakan
proses strukturasi dan destrukturasi yang harus selalu hidup dan berkembang.
Semoga anugerah nalar dan lisan mampu menjadi pelita pengertian, pemahaman, dan
pencerahan. [ ]
D.
EPILOG (Fashahah
dan Balaghah dalam Perspektif Ulama Nahwu, Ulama Bahasa, dan Ulama
Balaghah)
"الفصاحة
والبلاغة: بين النحاة, واللغويين, والبلاغيين"
أن النحاة واللغويين سبقوا البلاغيين إلى تحديد بعض مفهومات
"الفصاحة". ولم يكن للأولين من النحاة واللغويين موقف محدد يفرقون به في
نطاق الإستعمال بين فصاحة الكلمة وفصاحة الكلام, إذ كان يكفيهم أن يقال: أن ما جاء
عن المتكلم الفصيح فهو فصيح. أما البلاغيون فلم تكن فكرة "الفصاحة"
عندهم مرتبطة "بالنقاء" والبعد عن مخالطة الأعاجم والتأثر بهم وحسب,
وإنما أضافوا إلى ذالك اعتبارات أخرى تتعلق بما من العلاقة الطبيعية بين الرمز
ومعناه. ذالك أن البلاغيين بعد أن فرقوا في النظر بين فصاحة الكلمة وفصاحة الكلام,
وارتضوا فيهما مراعاة القياس الصرفي والنحوي, شرطوا للكلمة المفردة أن تسلم من
"الغرابة" و "الكراهة في السمع", وللكلام أن يسلم من
"التعقيد اللفظي" و "التعقيد المعنوي", ولهما معا أن يخلوا من
"التنافر الصوتي". ومغزى هذا أن فصاحة اللغويين فصاحة "بيئة",
وفصاحة البلاغيين فصاحة "ذوق".[46]
وإذا كانت البلاغة هي "بلوغ المعنى ولما يطل سفر
الكلام" كما يقول ابن المعتز. أوهي "حسن الإبلاغ والتبليغ", أو على
حد عبارة السكاكي "البلاغة هي بلوغ المتكلم في تأدية المعنى حدا له اختصاص
بتوفية خواص التراكيب حقها, وإيراد أنواع التشبيه والمجاز والكناية على
وجهها". فإن التبليغ في كل ذالك يرتبط بالكلام المفيد, دون الكلمة المفردة.
وهكذا تصبح البلاغة وصفا للكلام (وأقله الجملة المفيدة, ولا حد لأكثره), وللمتكلم
أيضا فيوصف كل من هذين بأنه "بليغ" أو "غير بليغ", وإذا كان
حد البلاغة أنها "مطابقة الكلام لمقتضى الحال التي يورد فيها مع فصاحته"
فإن ذالك نفسه يدلنا على حد الكلام البليغ والمتكلم البليغ. [46]
END NOTES:
[1] Lihat. Ahmad Hasyimi. Jawâhir al-Balâghah.Beirut: Dâr
al-Fikri. 1994. hlm.
28-31
[2] Ibid.
hlm. 7.
[3] Jadi yang ada hanya istilah al-lafdhu al-fasîh dan tidak ada
al-lafdhu al-baligh,
sedangkan kalimat (kalâm)
dan penutur (al-mutakallim) bisa fasîh
dan juga balîgh. Lihat
Majdi Wahbah dan Kamil Muhandis. Mu’jam
al-Musthalahât al-’Arabiyyah fi al-Lughah wa al-Adab. Beirut:
Maktabah Lubnan. Cet. II. 1983. hlm. 260.
[4] Kemudian ilmu balâghah
perlahan-lahan terpisah dari sastra menjadi ilmu yang otonom dengan obyek
pembelajaran yang jelas diantara ilmu-ilmu bahasa arab. Ibid. hlm. 259.
[5] Lihat, Gorys Keraf. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama. Cet. XIV. 2004. hlm. 3.
[6] J.W.M. Verhaar mengartikan pragmatik
sebagai cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur
bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai
pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan.
Lihat. J.W.M. Verhaar. Asas-Asas
Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Cet.
III. 2001. hlm. 14.
[7] Ahmad al-Hasyimi. Op.cit. hlm. 39-40.
[8] Al-Sakkâki sering disebut sebagai orang
pertama yang menulis ilmu balâghah secara sisitematis, meskipun dia
masih menggabungkan ilmu balâghah
dengan ilmu nahwu,
ilmu sharaf, semantik
dan ilmu syi’ir.
Lihat. Yûsuf ibn Abi Bakar Ya’kub ibn ‘Ali al-Sakkâki. Miftâhul ‘Ulûm. Beirut: Dâru
al-Kutub al-’Ilmiyyah. Cet. II. 1987. hlm. 161.
[9] ‘Ali al-Jarim dan Musthafa Amin. Al-Balâghah al-Wadhihah. Mesir: Dâr
al-Ma’ârif. Cet. X. 1977. hlm. 139.
[10] Haddam Banna’. Al-Balâghah: fi ‘Ilm al-Ma’ani.
Ponorogo: Darussalam Press. hlm.13-16, dan Ahmad Hasyimi. Op.cit. hlm. 59-60.
[11] ‘Ali al-Jarim dan Musthafa Amin. Op.cit. hlm. 139.
[12] Haddam Banna’. Loc.cit. hlm. 22.
[13] Lihat. Ibid. hlm.22-23.
[14] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. Op. Cit. hlm. 184-187, dan
Haddam Banna’. Ibid.
hlm. 27-28.
[15] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. Ibid. hlm. 192-199, dan Haddam
Banna’, Ibid. hlm.
29-38.
[16] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. Ibid. hlm. 206-207, dan Haddam
Banna’, Ibid. hlm. 39.
[17] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. Ibid. hlm. 210-212, dan Haddam
Banna’, Ibid. hlm.
40-43.
[18] Insya’ Ghairu Thalabi biasanya
tidak dibahas Ulama Balâghah karena kebanyakan bentuknya pada dasarnya
merupakan kalâm khabar yang berlawanan dengan kalâm insya’.
Lihat. Ahmad Hasyimi. Op.cit.
hlm. 6.
[19]Loc.
cit. hlm. 154
[20] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. Ibid. hlm. 239-250, dan Haddam
Banna’, Ibid. hlm.
66-77.
[21] Ithnâb
dalam bahasa Indonesia hampir mirip dengan istilah Pleonasme dan Tautologi,
yang merupakan acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang
diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan, atau juga bisa disamakan
dengan Perifrasis,
hanya saja perifrasis kata-kata yang berkelebihan itu dapat diganti dengan satu
kata saja dalam pleunasme kata-kata yang berkebihan itu dapat dihilangkan
Lihat. Gorys Keraf. Op.cit.
hlm.133-134.
[22] Ahmad Hasyimi. Op.cit. hlm. 170-171.
[23] Ibid..
hlm. 212.
[24] Persamaan atau simile adalah
perbandingan yang bersifat ekplisit yang langsung menyatakan sesuatu dengan
yang lain. Lihat. Gorys Keraf. Op,cit.
hlm. 138.
[25] Haddam Banna’. al-Balâghah,
fi Ilmi al-Bayan. Ponorogo: Darussalam Press. hlm. 23-26, dan ‘Ali
Jarim dan Mustafa Amin. Op.cit.
hlm. 20.
[26] Alegori adalah suatu cerita singkat
yang mengandung kiasan, makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan
ceritanya. Lihat. Goris Keraf. Op.cit.
hlm. 140.
[27] Majdi Wahbah dan Kamil Muhandis. Op.cit. hlm. 333.
[28] Ahmad Hasyimi. Op.cit. hlm. 235.
[29] Ibid.
hlm.262, Hadam Banna’. Op.cit.
hlm. 61-66.
[30] Lihat. Haddam Banna’. Op.cit. hlm. 80-84.
[31] ‘Ali Jarim dan Mustafa Amin. Op. Cit. hlm. 117. dan Ahmad
Hasyimi. Op. Cit. hlm.
258.
[32] Kata metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti menunjukkan
perubahan dan anoma
yang berarti nama. Dengan demikian metonimia
adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu
hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Lihat. Gorys Keraf. Op.cit. hlm. 142.
[33] Ahmad Hasyimi. Loc.cit. hlm. 297.
[34] Haddam Banna’. Op.cit.hlm. 92-95.
[35] Ahmad Hasyim. Loc.cit. hlm. 308.
[36] Pun
atau paromonasia
adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi. Ia merupakan permainan kata
yang didasarkan pada permainan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam
maknanya. Lihat. Gorys Keraf. Op.cit.
hlm.145.
[37] Muhammad Ghufran. Balâghah: Ilmu Badi’. Ponorogo: Darussalam
Press. hlm. 23-25.
[38] Ibid.
hlm. 29-31 dan Ahmad Hasyimi. Op.cit. hlm. 351-352.
[39] Muhammad Ghufran. Ibid. hlm. 33-35, dan Ahmad
Hasyimi. Ibid. hlm.
351-352.
[40] Muhammad Ghufran. Ibid. hlm-38-40.
[41] Ahmad Hasyimi. Loc.cit. hlm. 310-311.
[42] Muhammad Ghufran. Loc.cit. hlm. 56-57.
[43] Ahmad Hasyimi. Loc.cit. hlm. 314-315, dan Ibid. hlm. 60-61.
[44] Ali Jarim dan Musthafa Amin. Op.cit. hlm. 288-289, dan Ibid. hlm. 66-68.
[45] ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. Op.cit. hlm. 295-296, dan
Muhammad Ghufran. Ibid.
hlm. 66-68.
[46] Lihat: Dr. Tammam Hassan. al-Ushul.
Beirut: ‘Alam al-Kutub. 2000. hlm. 308.
[47] Ibid. hlm. 309.
REFERENSI/BAHAN BACAAN
Banna’, Haddam. Al-Balâghah:
fi ‘Ilm al-Ma’ani. Ponorogo: Darussalam Press. (t.t.).
____________. Al-Balâghah:
fi Ilmi al-Bayan. Ponorogo: Darussalam Press. (t.t.).
Ghufran, Muhammad. Al-Balâghah:
fi Ilmi al- Badi’. Ponorogo: Darussalam Press. (t.t.).
Hassan, Tammam. Al-Ushul. Beirut: ‘Alam al-Kutub.
2000.
Hasyimi, Ahmad. Jawâhir
al-Balâghah. Beirut: Dâr al-Fikri. 1994.
Jarim, ‘Ali dan
Musthafa Amin. Al-Balâghah
al-Wadhihah. Mesir: Dâr al-Ma’ârif. Cet.X. 1977.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama. Cet. XIV. 2004.
Sakkâki, Yûsuf
ibn Abi Bakar Ya’kub ibn ‘Ali. Miftâhul
‘Ulûm. Beirut: Dâru al-Kutub al-’Ilmiyyah. Cet. II. 1987.
Verhaar,
J.W.M.. Asas-Asas Linguistik Umum.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Cet. III. 2001.