Selasa, 23 Oktober 2012

Ketika Haji Sekedar Rekreasi Spiritual


KETIKA HAJI SEKEDAR “REKREASI SPIRITUAL”
(Sebuah Catatan Reflektif Menyambut Musim Haji 1433 H)

Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
(Tulisan dimuat dalam Surat Kabar Harian Radar Cirebon, 4 Oktober 2012)
 
****************

Pada bulan ini, jutaan jama’ah haji dari berbagai negara akan terkonsentrasi di Tanah Haram, tak terkecuali ratusan ribu di antaranya adalah jama’ah haji dari Indonesia. Dari sekian ratus ribu jama’ah haji Indonesia tersebut, boleh jadi seperempat, sepertiga, atau bahkan separuhnya, melakukan ibadah haji untuk yang kedua, ketiga, atau entah yang ke berapa kalinya. Sementara di sisi lain, ratusan ribu bahkan jutaan pendaftar atau calon haji lain sudah mengantri sangat panjang dalam deretan daftar tunggu (waiting list) untuk tahun-tahun berikutnya.
Hal ini terjadi lantaran haji memang merupakan ibadah yang memiliki “daya pikat” luar biasa. Bagi yang belum berhaji, mereka “termimpi-mimpi” untuk segera berziarah ke Tanah Suci memenuhi panggilan Ilahi. Segala daya dan upaya pun dikerahkan untuk bisa mewujudkan mimpi itu, termasuk dengan menjual tanah, sawah, kebun, atau dengan cara meminjam. Dan ketika mimpi itu terwujud, pun yang terjadi umumnya bukan “kepuasan” dengan cukup berhaji satu kali sebagaimana perintah agama. Sebaliknya, mencuat dorongan untuk kembali mengunjungi Tanah Suci untuk yang kedua, ketiga, atau bahkan kesepuluh kali. Bagi mereka yang “berkantong tebal”, jika keinginan kembali berhaji itu sulit terkabul atau harus menunggu waktu terlalu lama, maka umroh menjadi alternatif lainnya. Hingga tak mengherankan jika jama’ah umroh pun, yang kerap disebut haji kecil, selalu membludak sepanjang tahun. Lebih-lebih di bulan Ramadhan. Salah satu indikatornya adalah menjamurnya biro perjalanan haji dan umroh dengan aneka tawaran paket dan fasilitas yang semakin menggiurkan.  
Fenomena di atas semestinya bisa membuat kita tersenyum gembira, karena setidaknya hal itu menyiratkan 2 alasan. Pertama, pertanda bahwa penduduk Indonesia adalah warga dunia yang termasuk mapan dan sejahtera, karena untuk berhaji atau umroh dibutuhkan biaya yang cukup besar. Kedua, pertanda bahwa Indonesia termasuk negeri para orang sholeh yang moralis, jujur, adil dan layak diteladani. Betapa tidak, jika misalnya setiap tahun ada 300-an ribu jama’ah haji, ditambah ratusan ribu lagi jama’ah umroh, berarti Indonesia menyimpan stock jutaan orang sholeh dan figur-figur teladan “produk haji atau umroh”. Bukankah di dalam sabda Nabi ditegaskan, bahwa tiada balasan yang layak bagi ibadah haji yang mabrur selain surga. Dan tentunya tidak akan masuk surga kecuali mereka yang sholeh dan menjadi teladan. Namun apakah benar kenyataannya demikian?. Inilah yang akan coba dikaji lebih mendalam di dalam tulisan ini.
Pada faktanya, kenyataan yang terjadi di negeri ini justeru sebuah ironi yang cukup besar. Jangankan menjadi negeri yang makmur dan mapan, untuk sekedar cukup pun tidak. Di tengah berjubelnya jama’ah haji dan umroh sepanjang tahun, rona kemiskinan dan kemelaratan bangsa ini justeru terpampang jelas. Bayi dengan gizi buruk, anak-anak yang menderita busung lapar, orang miskin yang tak mampu berobat, para tunawisma (gelandangan dan pengemis) dan lain-lain senantiasa berseliweran setiap saat di depan mata. Adanya stock jutaan “pak dan bu haji” serta “pak dan bu umroh” di negeri ini tak berbanding lurus dengan terwujudnya masyarakat madani yang jujur, bersih, egaliter, beradab dan berkeadilan. Yang senantiasa mencuat ke permukaan justeru wajah bangsa Indonesia yang korup, culas, egois, tak peduli nasib orang lain, memuja penampilan ketimbang isi, serta gila hormat dan jabatan meski dengan cara menjilat, menyuap, dan seterusnya.
Kondisi ini sangat kontras dengan apa yang terjadi pada rekam jejak salafus shaleh dari zaman ke zaman maupun “pak dan bu haji” Indonesia di masa lalu, ketika jumlah haji saat itu masih beberapa “gelintir”. Sejarah mencatat, hampir semua pejuang dakwah dan tokoh pergerakan di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia, pada masa itu adalah para “hujjaj”.
Perjalanan mereka ke Tanah Suci bahkan dengan bermukim di sana selama beberapa waktu, telah membentuk hati, pikiran, jiwa dan prilaku mereka sebagai para pejuang kebenaran. Sebut saja misalnya tokoh-tokoh hujjaj dari Nusantara seperti Tuanku Imam Bonjol, Haji Miskin, Syekh Ahmad Khathib, Syekh Kholil Bangkalan, Syekh Mahfudz Termas, Hadhratus Syekh Hayim Asy’ari, Syekh Nawawi Al-Bantani, KH. Achmad Dahlan, dan lain-lain. Singkatnya, haji pada masa itu menjadi semacam madrasah untuk membentuk kader-kader terbaik sekaligus mencetak generasi pejuang dan pembela kebenaran.
Hal itu karena di sana berkumpul banyak ulama, mujahid, dan aktivis dakwah dari berbagai penjuru dunia. Ibadah haji tak sekedar untuk melakukan ritual rukun Islam yang kelima, tetapi juga menjadi “muktamar” umat Islam seluruh dunia untuk merancang dan menggagas visi dan gerakan bersama. Tak heran, jika kaum kolonial pada masa itu sangat membatasi bahkan mempersulit kaum muslim untuk berhaji.

Haji dan Keshalehan Sosial

Berdasarkan gambaran kondisi di atas, sebuah pertanyaan penting yang dapat dikemukakan adalah, mengapa saat ini ibadah haji tak lagi memberi makna dalam kehidupan sosial kita?, bahkan meskipun “pak dan bu haji” itu sudah bolak-balik pergi haji dan umroh?. Jawabannya terletak pada paradigma dan pemahaman keagamaan yang sering dipahami secara keliru oleh kebanyakan umat Islam. Haji sebagai rukun Islam terakhir yang hanya diwajibkan sekali seumur hidup, semestinya menjadi tahapan akhir dalam proses pembentukan pribadi dan karakter muslim yang sejati.
Diawali dengan pembentukan komitmen melalui 2 kalimat syahadat, dilanjutkan dengan penanaman disiplin yang utuh melalui shalat, ditambah dengan semangat berbagi dan membangun kepekaan sosial melalui zakat, lalu diimbangi dengan latihan pengendalian diri, sabar menahan derita, serta berempati terhadap sesama melalui ibadah puasa, dan terakhir menguji kepasrahan diri memenuhi panggilan Allah melalui haji.
Dengan kata lain, pada masa-masa sebelumnya jama’ah haji tersebut setidaknya telah diasumsikan sebagai kader-kader terbaik umat sehingga telah siap sedia memenuhi panggilan Allah pasca kelulusan mereka dari ujian teori maupun praktek melalui 4 rukun Islam sebelumnya. Dan wujud dari kesediaan memenuhi panggilan Allah itu hakikatnya adalah dengan mengabdikan diri sebagai pejuang kebenaran di tengah-tengah masyarakatnya kelak. Artinya, semua pelaksanaan rukun-rukun Islam yang nampaknya bersifat individual itu hakikatnya bermuara pada tujuan pembentukan keshalehan sosial. Dan itulah sesungguhnya makna hakiki dari tugas hidup manusia di muka bumi, baik sebagai ‘abdullah (hamba Allah) maupun khalifatullah fi al-ardh (pemegang amanat Allah di muka bumi).
Prof. Dr. H. Ali Mushtofa Ya’kub (Pakar Ilmu Hadits, Imam Besar Masjid Istiqlal, Alumni Pesantren Tebuireng Jombang) menjelaskan, dalam Islam ada 2 kategori ibadah, yaitu ibadah qashirah (individual) yang manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunya, dan ibadah muta’addiyah (sosial) yang manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh pelakunya tetapi juga oleh orang lain. Ketika kedua macam ibadah itu berbarengan, Rasulullah SAW lebih memilih ibadah yang manfaatnya berdimensi sosial ketimbang individual. Di dalam salah satu haditsnya, Rasulullah SAW menerangkan bahwa orang yang suka memberi bantuan kepada orang miskin, di akhirat kelak dijanjikan akan bersanding bersama beliau di surga. Sementara untuk pahala haji mabrur, Rasulullah SAW hanya menyebutkan surga, tanpa janji akan berdampingan bersama beliau. Hal ini merupakan salah satu bukti betapa ibadah sosial itu dipandang lebih utama ketimbang ibadah individual.
Ini berbeda dengan fenomena sebagian hujjaj saat ini yang pergi haji tapi tanpa ditopang oleh ilmu yang cukup apalagi implementasinya terkait nilai-nilai dasar Islam. Akibatnya, dengan “atas nama” ibadah para hujjaj misalnya saling berebut mencium hajar aswad meski harus dengan cara menyikut, menarik, menginjak, dan mendorong sesama jama’ah haji. Padahal kita tahu, mencium hajar aswad itu bukan suatu keharusan melainkan sekedar afdholiyat (jika memungkinkan dilakukan, itu lebih baik). Itu pun dengan syarat situasinya memungkinkan dan tanpa melanggar hak orang lain. Sedangkan menyikut, menarik, menginjak, mendorong, apalagi menyakiti sesama kaum muslim jelas-jelas merupakan perbuatan terlarang atau diharamkan.
Contoh lain, kita bisa menyaksikan bagaimana para hujjaj saling berebut untuk melaksanakan shalat di Raudhah di dalam masjid Nabawi, dan setelah dapat peluang mereka asyik berlama-lama di situ (lagi-lagi atas nama ibadah kepada Allah), padahal mereka tahu puluhan ribu jama’ah haji yang lain telah menunggu karena mereka pun sama-sama ingin merasakan shalat di tempat mulia tersebut.
Contoh perbuatan-perbuatan di atas sesungguhnya cermin dari sikap egoisme dan individualisme “berbungkus” ibadah yang justeru membuahkan dosa. Padahal jika mereka memahami nilai-nilai ajaran Islam dengan benar, seharusnya mereka cukup shalat dan berdo’a sebentar saja, kemudian segera keluar agar tempat shalatnya bisa digantikan oleh orang lain secara bergiliran. Dengan begitu, ia tidak hanya mendapat pahala dari ibadah yang dilakukannya, tetapi juga pahala dari orang lain yang shalat dan berdzikir di bekas tempat shalatnya itu.
Lebih dari itu, terdapat kekeliruan paradigma yang lebih mendasar terkait pemahaman tentang Islam. Islam dipahami lebih pada persoalan ritual-seremonial. Akibatnya, banyak orang yang “merasa telah menjadi shaleh” ketika mereka sudah menunaikan berbagai ritual-seremonial, tanpa peduli bagaimana implementasi dan konsekuensi dari ritual-seremonialnya itu dalam praktek kehidupan nyata sehari-hari. Padahal cara pandang semacam itu merupakan ciri khas penganut paganisme. Dalam Islam, nilai sebuah ritual-seremonial tidak diukur hanya dari tatacara pelaksanaanya semata (fiqh oriented), tetapi lebih pada implementasi dan konsekuensi logisnya (akhlak). Karena Islam sejatinya merupakan agama rahmatan lil ‘alamin yang tentunya berorientasi sosial.

Mendalami Fenomena Haji Berulang Kali

Menurut Ahzami, dosen Pascasarjana UIN Syahid Jakarta, seseorang yang pergi melaksanakan haji berulang kali bisa jadi ibadah tersebut tidak lagi dianggap sunnah, tetapi malah makruh dan bahkan bisa diharamkan, yaitu ketika ia mengabaikan persoalan sosial yang terjadi di sekelilingnya.  
Secara lebih detail beliau juga mempertanyakan, “ketika banyak anak yatim terlantar, puluhan ribu orang menjadi tunawisma akibat bencana alam, banyak anak-anak menderita busung lapar, bayi-bayi mengalami gizi buruk, rumah-rumah Allah rusak dan roboh, banyak orang terkena PHK, banyak rumah yatim, sekolah, madrasah dan pesantren yang terbengkalai, lalu kita justeru sibuk pergi haji untuk yang kedua, ketiga, bahkan entah yang ke berapa kali, maka kita patut bertanya pada diri sendiri, apakah haji kita tersebut betul-betul karena melaksanakan perintah Allah?!”.
Padahal menurutnya, “tak ada satu pun ayat al-Qur’an yang memerintahkan seseorang untuk melaksanakan haji berkali-kali. Bahkan Nabi SAW pun tidak pernah memberi teladan atau perintah seperti itu. Karena jika haji berkali-kali itu sangat baik, tentu Nabi SAW adalah orang yang pertama melakukannya. Faktanya, sepanjang hidup Nabi SAW hanya sekali melakukan ibadah haji, padahal kesempatan dan kemampuan untuk melakukan haji berkali-kali sangat terbuka lebar. Ini merupakan bukti yang sangat jelas betapa Nabi SAW lebih mengutamakan ibadah sosial ketimbang ibadah yang sekedar bersifat personal. Atau, jangan-jangan sejatinya hal itu (melakukan haji berkali-kali) merupakan bagian dari tipu daya setan melalui dorongan hawa nafsu bernama ‘ujb (membanggakan diri sendiri). Apabila betul motivasi ini yang mendorong, maka berarti ibadah haji tersebut tidak lagi dilandasi karena Allah, tetapi karena terjebak oleh tipu daya setan.” Na’udzu billah.
Berbicara tentang tipu daya setan ini, perlu dipahami bahwa setan dalam upayanya menjebak manusia tidak melulu berupa perintah untuk bermaksiat. Tetapi juga sering kali menyusup dalam bentuk ibadah. Pengalaman dan jam terbang setan dalam menggoda manusia sudah sangat lama dan tak perlu dipertanyakan lagi. Ia paham betul apa kesukaan dan kecenderungan manusia. Setan tentunya tidak akan menyuruh orang yang jelas-jelas taat beribadah untuk melakukan hal-hal yang secara nyata dan terang dilarang, tetapi ia akan menggodanya antara lain agar melaksanakan dosa-dosa yang tidak disadarinya dalam bentuk ibadah.
Ibadah haji merupakan ibadah yang sangat mulia dan suci. Maka tak sepatutnya dikotori oleh hal-hal yang tidak baik. Dengan melakukan haji berulang kali misalnya, bukan tidak mungkin pelakunya justeru menjadi penyebab terhalangnya sebagian orang yang belum pernah berangkat haji hingga akhirnya menjadi batal berangkat. Haji berkali-kali memang tidak dilarang oleh Allah, namun apabila dengan keberangkatan hajinya tersebut ada hak-hak orang lain yang dirugikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, maka itu bisa dikatakan mendzalimi orang lain.

Predikat Haji Mabrur

Dalam pandangan Ahzami, haji mabrur adalah ibadah haji yang tidak tercampur sedikit pun dengan kemaksiatan, dan yang bersangkutan mampu menahan diri untuk tidak berbuat maksiat. Di samping itu, ia menghimpun kebaikan-kebaikan untuk keluarganya, jama’ahnya, dan negaranya.
Menjadi seorang haji yang mabrur juga berarti harus memiliki kontribusi yang luar biasa dalam menciptakan perubahan di lingkungannya. Dengan adanya para haji yang baru pulang dari Tanah Suci, diharapkan akan membawa dampak yang baik untuk semua kalangan, minimal bagi lingkungan di sekitarnya.
Haji mabrur merupakan haji yang dapat membawa dampak kebaikan spiritual dan sosial. Seorang haji yang mabrur akan memiliki hubungan dengan Allah (habl min Allah) dengan tingkat kualitas yang semakin baik, tidak hanya pada saat pelaksanaan ibadah haji, tetapi juga setelah pulang dari Tanah Suci. Di samping itu, pelakunya juga memiliki kualitas yang lebih baik dalam konteks hubungannya dengan sesama (habl min an-nas). Demikian. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis showab.         
       
***************

2 komentar: