KETIKA HAJI SEKEDAR “REKREASI SPIRITUAL”
(Sebuah Catatan
Reflektif Menyambut Musim Haji 1433 H)
Oleh: Mohamad Kholil,
S.S., M.S.I.
(Tulisan dimuat dalam Surat Kabar Harian Radar Cirebon, 4 Oktober 2012)
(Tulisan dimuat dalam Surat Kabar Harian Radar Cirebon, 4 Oktober 2012)
****************
Pada bulan ini, jutaan
jama’ah haji dari berbagai negara akan terkonsentrasi di Tanah Haram, tak
terkecuali ratusan ribu di antaranya adalah jama’ah haji dari Indonesia. Dari
sekian ratus ribu jama’ah haji Indonesia tersebut, boleh jadi seperempat,
sepertiga, atau bahkan separuhnya, melakukan ibadah haji untuk yang kedua,
ketiga, atau entah yang ke berapa kalinya. Sementara di sisi lain, ratusan ribu
bahkan jutaan pendaftar atau calon haji lain sudah mengantri sangat panjang
dalam deretan daftar tunggu (waiting list) untuk tahun-tahun berikutnya.
Hal ini terjadi
lantaran haji memang merupakan ibadah yang memiliki “daya pikat” luar biasa.
Bagi yang belum berhaji, mereka “termimpi-mimpi” untuk segera berziarah ke
Tanah Suci memenuhi panggilan Ilahi. Segala daya dan upaya pun dikerahkan untuk
bisa mewujudkan mimpi itu, termasuk dengan menjual tanah, sawah, kebun, atau dengan
cara meminjam. Dan ketika mimpi itu terwujud, pun yang terjadi umumnya bukan “kepuasan”
dengan cukup berhaji satu kali sebagaimana perintah agama. Sebaliknya, mencuat dorongan
untuk kembali mengunjungi Tanah Suci untuk yang kedua, ketiga, atau bahkan
kesepuluh kali. Bagi mereka yang “berkantong tebal”, jika keinginan kembali
berhaji itu sulit terkabul atau harus menunggu waktu terlalu lama, maka umroh
menjadi alternatif lainnya. Hingga tak mengherankan jika jama’ah umroh pun,
yang kerap disebut haji kecil, selalu membludak sepanjang tahun. Lebih-lebih di
bulan Ramadhan. Salah satu indikatornya adalah menjamurnya biro perjalanan haji
dan umroh dengan aneka tawaran paket dan fasilitas yang semakin menggiurkan.
Fenomena di atas semestinya
bisa membuat kita tersenyum gembira, karena setidaknya hal itu menyiratkan 2 alasan.
Pertama, pertanda bahwa penduduk Indonesia adalah warga dunia yang termasuk mapan
dan sejahtera, karena untuk berhaji atau umroh dibutuhkan biaya yang cukup
besar. Kedua, pertanda bahwa Indonesia termasuk negeri para orang sholeh yang
moralis, jujur, adil dan layak diteladani. Betapa tidak, jika misalnya setiap
tahun ada 300-an ribu jama’ah haji, ditambah ratusan ribu lagi jama’ah umroh,
berarti Indonesia menyimpan stock jutaan orang sholeh dan figur-figur teladan
“produk haji atau umroh”. Bukankah di dalam sabda Nabi ditegaskan, bahwa tiada
balasan yang layak bagi ibadah haji yang mabrur selain surga. Dan tentunya
tidak akan masuk surga kecuali mereka yang sholeh dan menjadi teladan. Namun
apakah benar kenyataannya demikian?. Inilah yang akan coba dikaji lebih
mendalam di dalam tulisan ini.
Pada faktanya,
kenyataan yang terjadi di negeri ini justeru sebuah ironi yang cukup besar.
Jangankan menjadi negeri yang makmur dan mapan, untuk sekedar cukup pun tidak.
Di tengah berjubelnya jama’ah haji dan umroh sepanjang tahun, rona kemiskinan
dan kemelaratan bangsa ini justeru terpampang jelas. Bayi dengan gizi buruk,
anak-anak yang menderita busung lapar, orang miskin yang tak mampu berobat,
para tunawisma (gelandangan dan pengemis) dan lain-lain senantiasa berseliweran
setiap saat di depan mata. Adanya stock jutaan “pak dan bu haji” serta
“pak dan bu umroh” di negeri ini tak berbanding lurus dengan terwujudnya
masyarakat madani yang jujur, bersih, egaliter, beradab dan berkeadilan. Yang
senantiasa mencuat ke permukaan justeru wajah bangsa Indonesia yang korup,
culas, egois, tak peduli nasib orang lain, memuja penampilan ketimbang isi,
serta gila hormat dan jabatan meski dengan cara menjilat, menyuap, dan
seterusnya.
Kondisi ini sangat
kontras dengan apa yang terjadi pada rekam jejak salafus shaleh dari zaman ke
zaman maupun “pak dan bu haji” Indonesia di masa lalu, ketika jumlah haji saat
itu masih beberapa “gelintir”. Sejarah mencatat, hampir semua pejuang dakwah
dan tokoh pergerakan di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia, pada masa itu
adalah para “hujjaj”.
Perjalanan mereka ke
Tanah Suci bahkan dengan bermukim di sana selama beberapa waktu, telah
membentuk hati, pikiran, jiwa dan prilaku mereka sebagai para pejuang kebenaran.
Sebut saja misalnya tokoh-tokoh hujjaj dari Nusantara seperti Tuanku
Imam Bonjol, Haji Miskin, Syekh Ahmad Khathib, Syekh Kholil Bangkalan, Syekh
Mahfudz Termas, Hadhratus Syekh Hayim Asy’ari, Syekh Nawawi Al-Bantani, KH.
Achmad Dahlan, dan lain-lain. Singkatnya, haji pada masa itu menjadi semacam madrasah
untuk membentuk kader-kader terbaik sekaligus mencetak generasi pejuang dan
pembela kebenaran.
Hal itu karena di sana
berkumpul banyak ulama, mujahid, dan aktivis dakwah dari berbagai penjuru dunia.
Ibadah haji tak sekedar untuk melakukan ritual rukun Islam yang kelima, tetapi
juga menjadi “muktamar” umat Islam seluruh dunia untuk merancang dan menggagas
visi dan gerakan bersama. Tak heran, jika kaum kolonial pada masa itu sangat
membatasi bahkan mempersulit kaum muslim untuk berhaji.
Haji dan Keshalehan
Sosial
Berdasarkan gambaran
kondisi di atas, sebuah pertanyaan penting yang dapat dikemukakan adalah,
mengapa saat ini ibadah haji tak lagi memberi makna dalam kehidupan sosial
kita?, bahkan meskipun “pak dan bu haji” itu sudah bolak-balik pergi haji dan
umroh?. Jawabannya terletak pada paradigma dan pemahaman keagamaan yang sering
dipahami secara keliru oleh kebanyakan umat Islam. Haji sebagai rukun Islam
terakhir yang hanya diwajibkan sekali seumur hidup, semestinya menjadi tahapan
akhir dalam proses pembentukan pribadi dan karakter muslim yang sejati.
Diawali dengan
pembentukan komitmen melalui 2 kalimat syahadat, dilanjutkan dengan penanaman
disiplin yang utuh melalui shalat, ditambah dengan semangat berbagi dan
membangun kepekaan sosial melalui zakat, lalu diimbangi dengan latihan
pengendalian diri, sabar menahan derita, serta berempati terhadap sesama
melalui ibadah puasa, dan terakhir menguji kepasrahan diri memenuhi panggilan
Allah melalui haji.
Dengan kata lain, pada
masa-masa sebelumnya jama’ah haji tersebut setidaknya telah diasumsikan sebagai
kader-kader terbaik umat sehingga telah siap sedia memenuhi panggilan Allah
pasca kelulusan mereka dari ujian teori maupun praktek melalui 4 rukun Islam
sebelumnya. Dan wujud dari kesediaan memenuhi panggilan Allah itu hakikatnya
adalah dengan mengabdikan diri sebagai pejuang kebenaran di tengah-tengah
masyarakatnya kelak. Artinya, semua pelaksanaan rukun-rukun Islam yang
nampaknya bersifat individual itu hakikatnya bermuara pada tujuan pembentukan
keshalehan sosial. Dan itulah sesungguhnya makna hakiki dari tugas hidup
manusia di muka bumi, baik sebagai ‘abdullah (hamba Allah) maupun khalifatullah
fi al-ardh (pemegang amanat Allah di muka bumi).
Prof. Dr. H. Ali
Mushtofa Ya’kub (Pakar Ilmu Hadits, Imam Besar Masjid Istiqlal, Alumni
Pesantren Tebuireng Jombang) menjelaskan, dalam Islam ada 2 kategori ibadah,
yaitu ibadah qashirah (individual) yang manfaatnya hanya dirasakan oleh
pelakunya, dan ibadah muta’addiyah (sosial) yang manfaatnya tidak hanya
dirasakan oleh pelakunya tetapi juga oleh orang lain. Ketika kedua macam ibadah
itu berbarengan, Rasulullah SAW lebih memilih ibadah yang manfaatnya berdimensi
sosial ketimbang individual. Di dalam salah satu haditsnya, Rasulullah SAW
menerangkan bahwa orang yang suka memberi bantuan kepada orang miskin, di
akhirat kelak dijanjikan akan bersanding bersama beliau di surga. Sementara
untuk pahala haji mabrur, Rasulullah SAW hanya menyebutkan surga, tanpa janji akan
berdampingan bersama beliau. Hal ini merupakan salah satu bukti betapa ibadah
sosial itu dipandang lebih utama ketimbang ibadah individual.
Ini berbeda dengan
fenomena sebagian hujjaj saat ini yang pergi haji tapi tanpa ditopang
oleh ilmu yang cukup apalagi implementasinya terkait nilai-nilai dasar Islam. Akibatnya,
dengan “atas nama” ibadah para hujjaj misalnya saling berebut mencium hajar
aswad meski harus dengan cara menyikut, menarik, menginjak, dan mendorong
sesama jama’ah haji. Padahal kita tahu, mencium hajar aswad itu bukan
suatu keharusan melainkan sekedar afdholiyat (jika memungkinkan
dilakukan, itu lebih baik). Itu pun dengan syarat situasinya memungkinkan dan
tanpa melanggar hak orang lain. Sedangkan menyikut, menarik, menginjak, mendorong,
apalagi menyakiti sesama kaum muslim jelas-jelas merupakan perbuatan terlarang
atau diharamkan.
Contoh lain, kita bisa
menyaksikan bagaimana para hujjaj saling berebut untuk melaksanakan shalat
di Raudhah di dalam masjid Nabawi, dan setelah dapat peluang mereka asyik
berlama-lama di situ (lagi-lagi atas nama ibadah kepada Allah), padahal mereka
tahu puluhan ribu jama’ah haji yang lain telah menunggu karena mereka pun
sama-sama ingin merasakan shalat di tempat mulia tersebut.
Contoh
perbuatan-perbuatan di atas sesungguhnya cermin dari sikap egoisme dan
individualisme “berbungkus” ibadah yang justeru membuahkan dosa. Padahal jika
mereka memahami nilai-nilai ajaran Islam dengan benar, seharusnya mereka cukup
shalat dan berdo’a sebentar saja, kemudian segera keluar agar tempat shalatnya
bisa digantikan oleh orang lain secara bergiliran. Dengan begitu, ia tidak
hanya mendapat pahala dari ibadah yang dilakukannya, tetapi juga pahala dari
orang lain yang shalat dan berdzikir di bekas tempat shalatnya itu.
Lebih dari itu,
terdapat kekeliruan paradigma yang lebih mendasar terkait pemahaman tentang
Islam. Islam dipahami lebih pada persoalan ritual-seremonial. Akibatnya, banyak
orang yang “merasa telah menjadi shaleh” ketika mereka sudah menunaikan
berbagai ritual-seremonial, tanpa peduli bagaimana implementasi dan konsekuensi
dari ritual-seremonialnya itu dalam praktek kehidupan nyata sehari-hari.
Padahal cara pandang semacam itu merupakan ciri khas penganut paganisme.
Dalam Islam, nilai sebuah ritual-seremonial tidak diukur hanya dari tatacara
pelaksanaanya semata (fiqh oriented), tetapi lebih pada implementasi dan
konsekuensi logisnya (akhlak). Karena Islam sejatinya merupakan agama rahmatan
lil ‘alamin yang tentunya berorientasi sosial.
Mendalami Fenomena Haji
Berulang Kali
Menurut Ahzami, dosen
Pascasarjana UIN Syahid Jakarta, seseorang yang pergi melaksanakan haji
berulang kali bisa jadi ibadah tersebut tidak lagi dianggap sunnah, tetapi
malah makruh dan bahkan bisa diharamkan, yaitu ketika ia mengabaikan persoalan
sosial yang terjadi di sekelilingnya.
Secara lebih detail
beliau juga mempertanyakan, “ketika banyak anak yatim terlantar, puluhan ribu
orang menjadi tunawisma akibat bencana alam, banyak anak-anak menderita busung
lapar, bayi-bayi mengalami gizi buruk, rumah-rumah Allah rusak dan roboh,
banyak orang terkena PHK, banyak rumah yatim, sekolah, madrasah dan pesantren
yang terbengkalai, lalu kita justeru sibuk pergi haji untuk yang kedua, ketiga,
bahkan entah yang ke berapa kali, maka kita patut bertanya pada diri sendiri,
apakah haji kita tersebut betul-betul karena melaksanakan perintah Allah?!”.
Padahal menurutnya, “tak
ada satu pun ayat al-Qur’an yang memerintahkan seseorang untuk melaksanakan
haji berkali-kali. Bahkan Nabi SAW pun tidak pernah memberi teladan atau
perintah seperti itu. Karena jika haji berkali-kali itu sangat baik, tentu Nabi
SAW adalah orang yang pertama melakukannya. Faktanya, sepanjang hidup Nabi SAW
hanya sekali melakukan ibadah haji, padahal kesempatan dan kemampuan untuk
melakukan haji berkali-kali sangat terbuka lebar. Ini merupakan bukti yang
sangat jelas betapa Nabi SAW lebih mengutamakan ibadah sosial ketimbang ibadah
yang sekedar bersifat personal. Atau, jangan-jangan sejatinya hal itu (melakukan
haji berkali-kali) merupakan bagian dari tipu daya setan melalui dorongan hawa
nafsu bernama ‘ujb (membanggakan diri sendiri). Apabila betul motivasi
ini yang mendorong, maka berarti ibadah haji tersebut tidak lagi dilandasi
karena Allah, tetapi karena terjebak oleh tipu daya setan.” Na’udzu billah.
Berbicara tentang tipu
daya setan ini, perlu dipahami bahwa setan dalam upayanya menjebak manusia
tidak melulu berupa perintah untuk bermaksiat. Tetapi juga sering kali menyusup
dalam bentuk ibadah. Pengalaman dan jam terbang setan dalam menggoda manusia
sudah sangat lama dan tak perlu dipertanyakan lagi. Ia paham betul apa kesukaan
dan kecenderungan manusia. Setan tentunya tidak akan menyuruh orang yang jelas-jelas
taat beribadah untuk melakukan hal-hal yang secara nyata dan terang dilarang,
tetapi ia akan menggodanya antara lain agar melaksanakan dosa-dosa yang tidak
disadarinya dalam bentuk ibadah.
Ibadah haji merupakan
ibadah yang sangat mulia dan suci. Maka tak sepatutnya dikotori oleh hal-hal
yang tidak baik. Dengan melakukan haji berulang kali misalnya, bukan tidak
mungkin pelakunya justeru menjadi penyebab terhalangnya sebagian orang yang
belum pernah berangkat haji hingga akhirnya menjadi batal berangkat. Haji
berkali-kali memang tidak dilarang oleh Allah, namun apabila dengan keberangkatan
hajinya tersebut ada hak-hak orang lain yang dirugikan, baik secara langsung
maupun tidak langsung, maka itu bisa dikatakan mendzalimi orang lain.
Predikat Haji Mabrur
Dalam pandangan Ahzami,
haji mabrur adalah ibadah haji yang tidak tercampur sedikit pun dengan
kemaksiatan, dan yang bersangkutan mampu menahan diri untuk tidak berbuat
maksiat. Di samping itu, ia menghimpun kebaikan-kebaikan untuk keluarganya,
jama’ahnya, dan negaranya.
Menjadi seorang haji
yang mabrur juga berarti harus memiliki kontribusi yang luar biasa dalam
menciptakan perubahan di lingkungannya. Dengan adanya para haji yang baru
pulang dari Tanah Suci, diharapkan akan membawa dampak yang baik untuk semua
kalangan, minimal bagi lingkungan di sekitarnya.
Haji mabrur merupakan
haji yang dapat membawa dampak kebaikan spiritual dan sosial. Seorang haji yang
mabrur akan memiliki hubungan dengan Allah (habl min Allah) dengan tingkat
kualitas yang semakin baik, tidak hanya pada saat pelaksanaan ibadah haji,
tetapi juga setelah pulang dari Tanah Suci. Di samping itu, pelakunya juga
memiliki kualitas yang lebih baik dalam konteks hubungannya dengan sesama (habl
min an-nas). Demikian. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis showab.
***************
Asskm, akhi khotbahnya bagus, izin kupas ya...
BalasHapusWa'alaikum salam, silahkan, semoga bermanfaat.
BalasHapus