Senin, 19 Maret 2012

Mengagas Pesantren Sebagai Pusat Peradaban Muslim di Indonesia


MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM
DI INDONESIA

Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I. 
(Tulisan dimuat dalam Jurnal Media Akademika IAIN Jambi, Vol. 26, No. 3, Juli 2011)


Pesantren merupakan institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia dengan banyak keunikan dan beragam potensi yang meniscayakan institusi tersebut menjadi pusat peradaban muslim di Indonesia. Meski tentu saja, eksistensi dan masa depan pesantren pada masa mendatang bukanlah tanpa tantangan. Hal ini seiring dengan derasnya dinamika dan perubahan zaman, termasuk arus globalisasi yang kian tak terbendung. Semua itu menuntut lembaga pesantren melakukan upaya-upaya pengembangan dan penyesuaian, di samping tentu saja dengan tetap melestarikan tradisi-tradisi khas kepesantrenannya sebagai sebuah aset penting sekaligus budaya bangsa yang tak ternilai harganya dalam perjalanan sejarah peradaban Islam di Indonesia.  
Oleh karenanya, gagasan menjadikan pesantren sebagai pusat peradaban muslim di Indonesia adalah sesuatu yang sangat beralasan. Dan demi mewujudkan gagasan tersebut, sedikitnya diperlukan 2 upaya, yaitu: rekonstruksi pendidikan pesantren dan pembenahan sistem pengelolaan atau manajemen pesantren.

A.    Rekonstruksi Pendidikan Pesantren
Sebagai sebuah institusi pendidikan Islam tradisional, di dalam pendidikan pesantren terkandung muatan-muatan yang secara garis besar dapat dibedakan dalam 2 (dua) kategori. Kategori pertama adalah ajaran dasar yang merupakan referensi bagi landasan hidup berikut penyelesaiannya dalam mengatasi seluruh problematika kehidupan di tengah dinamika sosial-budaya, yang mempunyai nilai kebenaran bersifat mutlak dan tidak runtuh dalam segala perubahan zaman. Ajaran dasar ini mempunyai muatan-muatan nilai universal, yang mempunyai daya relevansi dalam segala tataran ruang dan waktu. Bahkan, ajaran ini memiliki legalitas sakral dan telah secara tuntas dikodifikasikan oleh para ulama salafus shalih, yakni berupa Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Kategori kedua adalah ajaran-ajaran yang merupakan hasil interpretasi dan derivasi dari ajaran dasar di atas. Ajaran ini mengelaborasi muatan ajaran dasar dengan kecenderungan pada aspek-aspek praktis-aplikatif.
Dalam pendidikan pesantren, umumnya materi yang diberikan secara intens dan simultan adalah justeru lebih kepada ajaran yang bersifat elaboratif. Bahkan bisa dikatakan, diskursus yang sangat berkembang dan dianggap penting dalam dunia pesantren hanyalah bidang fiqih semata. Sementara, kajian tentang ajaran dasar yang dibutuhkan dalam rangka memahami ajaran Islam secara menyeluruh kurang mendapat perhatian serius. Wacana fiqih terasa sangat dominan ketimbang wacana lainnya. Bila kondisi ini terus dibiarkan dan lepas dari kontrol akademis, dikhawatirkan diskursus Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang notabene merupakan  ajaran dasar akan kian terlupakan sama sekali dari pendidikan pesantren. Dengan kata lain, Al-Qur’an dan Hadits Nabi hanya akan menjadi “lipstik” semata karena kandungannya tidak pernah dipahami secara langsung. Padahal, tidak semestinya wacana fiqih menggeser posisi Al-Qur’an atau Hadits Nabi. Sebab, fiqih bukanlah sumber petunjuk mutlak dalam segala praktek kehidupan.
Kekhawatiran di atas sesungguhnya dapat diatasi atau sekurang-kurangnya diminimalisasi, salah satu caranya dengan mengubah atau memodifikasi metode pendidikan yang selama ini dikembangkan di pesantren. Metode pendidikan yang diterapkan di pesantren selama ini cenderung bersifat induktif. Pesantren umumnya mengembangkan kajian-kajian partikular terlebih dahulu seperti fiqih dan berbagai tradisi lainnya yang dianggap sebagai ilm al-hâl. Setelah penguasaan terhadap kajian partikular tersebut dianggap memadai, baru merambah ke wilayah kajian lainnya yang menjadi alat bantu dalam memahami ajaran dasar. Hasil pendidikan pesantren tentunya akan berbeda bila metode induktif yang selama ini berlangsung diubah dengan menggunakan metode deduktif, yakni mengembangkan kajian yang menjadi alat bantu dalam memahami ajaran dasar terlebih dahulu, lalu kemudian mengimplementasikannya dalam kajian partikular seperti fiqih dan kajian lain seputar perkembangan dinamika modern. Metode ini agaknya akan lebih mengembangkan proses penalaran, kreativitas, dan dinamika dalam memahami Islam secara lebih kontekstual ketimbang sekedar metode pertama (induksi) yang lebih menekankan pemahaman doktrinal.
Aspek lain yang perlu dilihat dalam membangun sistem pendidikan pesantren di masa depan adalah masalah kurikulum. Kurikulum pesantren yang diwakili oleh Kitab Kuning, hanya lebih menekankan pada bidang fiqih, teologi, tasawuf, dan bahasa. Keadaan kurikulum pendidikan pesantren yang demikian memberikan sebuah konsekuensi pada eksklusivisme pesantren dari wacana dan pemikiran lain, kecuali pemikiran yang dikembangkan oleh Madzhab Syafi’i, Asy’ari, dan Al-Ghazali. Bahkan hampir-hampir ajaran Islam hanya dipahami sejauh ajaran yang menyangkut fiqih, teologi, dan tasawuf yang dikembangkan oleh ketiga tokoh tersebut. Implikasinya adalah hilangnya budaya kritis, analitis, dan reflektif dalam tradisi pendidikan pesantren. Kebebasan akademik hampir-hampir tidak diakui lagi, dan sistem munazharah pun hilang dari tradisi pesantren.
Dalam konteks ini, maka usaha yang perlu dilakukan dalam pendidikan pesantren adalah membangun “kebenaran-kebenaran” yang telah mengakar di dunia pesantren menjadi hal yang lebih terbuka untuk upaya ijtihad baru dalam menghadapi perkembangan dunia kontemporer. Dengan begitu maka kurikulum pesantren harus diupayakan lebih terbuka bagi perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer yang terus berkembang.

B.     Pembenahan Sistem dan Manajemen Pesantren
Upaya selanjutnya yang perlu dilakukan dalam rangka menjadikan pesantren sebagai pusat peradaban muslim di Indonesia adalah pembenahan sistem dan manajemen pesantren. Hal ini penting dilakukan mengingat keberhasilan sistem pendidikan pesantren sangat dipengaruhi oleh penataan manajerialnya.
Sejauh ini, pola manajemen pesantren umumnya dilakukan secara insidental serta kurang memperhatikan tujuan-tujuan yang disistematisasi terlebih dahulu. Sistem pendidikan pesantren biasanya dilakukan secara alamiah dengan pola manajerial yang tetap (konstan) setiap tahunnya. Perubahan mendasar dalam pengelolaan pesantren agaknya belum terlihat. Masalah penerimaan santri baru misalnya, masih dilakukan secara terbuka untuk semua individu yang jelas-jelas mempunyai latar belakang dan kemampuan beragam tanpa mengadakan usaha pre-test terlebih dahulu. Dengan kata lain, usaha kategorisasi dan klasifikasi santri secara kualitatif tidak pernah dilakukan.
Oleh karenanya, manajemen pesantren harus diupayakan terbuka. Sebab, perkembangan yang terjadi di dunia luar harus diketahui dan diantisipasi, terutama kemungkinan-kemungkinan akan terjadinya benturan. Keharusan ini meniscayakan kebutuhan pola kerjasama simbiosis-mutualistis antara pesantren dengan institusi-institusi lain yang dipandang mampu memberikan kontribusi dan menciptakan nuansa transformatoris. Pola kerjasama ini dapat juga dilakukan dalam usaha pengembangan sumber daya pesantren agar dapat memberdayakan dirinya dalam menghadapi tantangan kontemporer yang semakin kompleks. Pola kerjasama semacam ini dengan sendirinya akan meminimalisir asumsi-asumsi negatif yang selama ini disematkan pada lembaga pesantren, seperti terisolasi, teralienasi, eksklusif, konservatif, dan cenderungan mempertahankan status quo.
Jika sudah demikian, maka arah perkembangan dunia pesantren pada masa depan dapat diperkirakan akan menempuh bentuk yang beraneka ragam. Ada pesantren yang bentuknya tetap seperti dulu, yaitu sebagai lembaga pendidikan non-formal yang khusus mendalami ilmu-ilmu agama, yang menekankan pentingnya pengamalan agama dalam kehidupan sehari-hari, dimana ajaran-ajarannya bersumber dari hasil ijtihad para ahli fiqih dan sufistik dengan kitab-kitab klasik. Ada pula pesantren yang berbentuk tetap sebagai pendidikan non-formal yang menggeluti bidang agama, akan tetapi dilengkapi dengan berbagai keterampilan, dengan catatan bahwa bidang studi agama terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan pemikiran dalam Islam, jadi tidak hanya terbatas pada sumber-sumber ajaran lama yang bersifat fiqih-sufistik saja, tetapi juga dilengkapi dengan pengajaran filsafat dan pemikiran-pemikiran baru dalam Islam sesuai dengan perkembangan zaman.
Termasuk hal yang paling penting bagi sistem pesantren di masa depan adalah adanya penyelenggaraan pendidikan formal, baik madrasah maupun sekolah umum hingga perguruan tinggi yang hidup dalam satu lingkungan pesantren. Bentuk ini dipastikan akan menjadikan pesantren dapat bertahan di masa-masa mendatang, karena akan saling mengisi antara pesantren sebagai pendidikan non-formal yang menggarap bidang nilai tafaqquh fiddîn dan pengamalan agama, dengan pendidikan formal yang menggarap ilmu lainnya.
Di samping itu, diperlukan juga pembaruan konsep asrama di masa depan agar pesantren mampu menyatakan kehadirannya sebagai subsistem pendidikan nasional secara mantap di masa depan. Asrama pesantren di masa depan hendaknya bukan sekedar tempat hidup bersama selama 24 jam dari tahun ke tahun seperti kondisi pesantren saat ini, tetapi asrama hendaknya juga berfungsi sebagai forum studi bersama yang secara kreatif dan inovatif mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan agama, sesuai dengan tantangan zamannya dan mengembangkan potensi individualitas atau jati diri masing-masing anggotanya yang seimbang dengan perkembangan kepribadian kolektif.
Melalui upaya-upaya di atas, pada gilirannya akan menampilkan wajah pendidikan pesantren tidak lagi dianggap statis atau mandeg. Dinamika kehidupan pendidikan pesantren harus terus berlanjut, karena memang pesantren telah terbukti dengan keterlibatan dan partisipasinya secara aktif dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dalam banyak aspek kehidupan yang senantiasa menyertai. Karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki akar budaya kuat di masyarakat. [ ] Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar