SEJARAH TAFSIR AL–QUR’AN
(Periode Klasik)
Hasil Bacaan atas Kitab:
“At-Tafsir wa al-Mufassirun [Jilid 1]”
Karya Dr. Muhammad Husein ad-Dzahabi, Cetakan 2, 1976
Oleh : Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw dengan menggunakan medium bahasa Arab. Dalam tinjauan bahasa dan sastra, ungkapan-ungkapan yang digunakan oleh al-Qur’an memiliki nuansa bahasa dan sastra yang sangat tinggi. Gaya bahasanya bersajak dan tersusun indah, serta memiliki cakupan makna yang sangat luas dan mendalam. Oleh karenanya, upaya membaca dan memahami makna yang terkandung di dalamnya membutuhkan bekal dan pengetahuan serta pemahaman yang mendalam, sekurang-kurangnya tentang seluk-beluk dan karakteristik bahasa dan sastra Arab.
Kaitannya akan hal ini, ad-Dzahabi di dalam kitabnya “At-Tafsir wal Mufassirun” menyatakan bahwa (karena demikian “sulitnya” bahasa al-Qur’an) orang Arab sekalipun yang nota bene pengguna bahasa Arab dimana dengan bahasa itu al-Qur’an diturunkan, tidak secara otomatis dapat memahami maksud yang terkandung di dalamnya. Hal ini karena di dalam al-Qur’an banyak terdapat makna-makna yang bersifat mujmal, musykil, mutasyabih, dan lain-lain.
Penjelasan ad-Dzahabi di atas sekaligus membantah keterangan Ibnu Khaldun di dalam kitab “Muqaddimah” nya yang menyatakan:[1]
إنّ القرآن نزل بلغة العرب, وعلى أساليب بلاغتهم, فكانوا كلّهم يفهمون ويعلمون معانيه في مفرداته وتراكيبه.
“Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab lengkap dengan uslub-uslub balagahnya. Maka mereka semuanya (para sahabat; pengguna bahasa Arab) dapatlah memahami dan mengetahui makna-makna yang terkandung di dalamnya, baik makna kosakata (leksikal) maupun makna kalimat (sintaksis)”.
Inilah kiranya yang pada akhirnya memunculkan satu kesadaran akan pentingnya upaya-upaya penafsiran terhadap al-Qur’an.
B. Pembahasan
Hingga kini, kegiatan penafsiran terhadap al-Qur’an telah melewati proses sejarah yang amat panjang yang dimulai sejak Nabi masih hidup. Untuk menggambarkan bagaimana awal pertumbuhan tafsir Al-Qur’an, di bawah ini akan dipaparkan beberapa poin pembahasan sebagai berikut:
1. Otoritas Nabi dalam Memahami Al-Qur’an
Sebagai penerima wahyu sekaligus utusan Allah swt kepada umat manusia, otoritas pemahaman Nabi terhadap wahyu (al-Qur’an) adalah mutlak dan tidak dapat disangsikan. Di dalam setiap hal dan kesempatan, termasuk apabila Nabi mengalami kesulitan dalam menangkap pesan al-Qur`an, beliau senantiasa dapat langsung berkomunikasi dan menanyakannya kepada Allah swt. Dalam hal ini, Nabi merupakan nara sumber utama bagi para sahabatnya saat itu di dalam upaya mereka memahami makna-makna al-Qur’an. Dalam konteks ini pula, Nabi mendapatkan otoritas langsung dari Allah swt dalam hal menjaga dan mejelaskan makna al-Qur’an (al-hifdz wal bayan) kepada umat manusia. Hal ini sebagaimana di siratkan dalam firman Allah swt:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”.[2]
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu”.[3]
2. Tasir Al-Qur’an pada Masa Sahabat
Para sahabat adalah generasi pertama umat Islam yang hidup bersama-sama dengan Nabi. Dalam hal menangkap dan memahami isi al-Qur’an, mereka tidak mengalami banyak kesulitan. Karena di samping mereka adalah pengguna bahasa Arab, setiap kali mereka mengalami kesulitan dalam menangkap pesan al-Qur’an, mereka dapat langsung menanyakannya kepada Nabi.
Begitupun ketika Nabi telah wafat, meski tidak lagi dapat langsung berkomunikasi dengan Nabi, mereka dapat memperoleh penjelasan melalui riwayat dari para sahabat lain yang pernah mendapatkan penjelasan dari Nabi ketika Nabi masih hidup.
Sebagai satu contoh, dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Abu ‘Ubaidah di dalam kitabnya “Al-Fadla’il” diceritakan sebagai berikut:
عن أنس أنّ عمر بن الخطاب قرأ على المنبر "وفاكهة وأبّا" فقال: هذه الفاكهة قد عرفناها, فما الأبّ؟, ثم رجع إلى نفسه فقال: إنّ هذا لهو التكلف يا عمر.
“Dari Anas (bin Malik) diceritakan bahwa Umar bin Khattab membacakan ayat al-Qur`an di atas mimbar “wafakihata[n] wa abba[n]”, ia lalu berkata: mengenai makna al-fakihah aku telah mengetahuinya, tetapi apakah makna al-abb?. Umar lalu bertanya kepada dirinya (Anas), ia berkata: inna hadza lahuwa at-takalluf”.
Mengenai sumber yang menjadi pijakan bagi para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an, ada 4 (empat) pedoman yang digunakan yaitu:
a. Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an
Yaitu menafsirkan satu ayat al-Qur’an melalui penjelasan ayat al-Qur’an yang lain, contoh:
فتلقّى آدم من ربّه كلمات ...[4]
Kata كلمات pada ayat di atas termasuk kata mujmal (global), yang kemudian dijelaskan dalam ayat lain:[5]
قالا ربّنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكوننّ من الخاسرين
b. Menafsirkan al-Qur’an berdasarkan hadits Nabi
Contoh:
Dalam mejelaskan makna “المغضوب عليهم” dan “الضآلين“ Nabi bersabda:
إنّ المغضوب عليهم هم اليهود, وإنّ الضآلين هم النصارى.[6]
c. Menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad
Penafsiran semacam ini meniscayakan para sahabat memiliki pra-syarat sebagai berikut:
* Kemampuan secara mendalam di dalam memahami seluk-beluk dan rahasia bahasa al-Qur’an.
* Pengetahuan tentang tradisi dan budaya Arab.
* Pengetahuan tentang kondisi orang-orang Yahudi dan Nasrani (Ahli Kitab) di jazirah Arab ketika al-Qur’an diturunkan.
* Memiliki pemahaman yang kuat serta pengalaman yang luas.
d. Menafsirkan al-Qur’an melalui informasi Ahli Kitab
Hal ini berdasarkan pertimbangan banyaknya informasi al-Qur’an yang selaras dengan informasi yang terdapat di dalam Injil/Taurat, seperti tentang kisah Nabi-Nabi terdahulu.
Adapun di antara sahabat Nabi yang dikenal ahli tafsir, sebagaiman dijelaskan as-Suyuthi, adalah: 4 Khalifah ar-Rasyidun, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asyi’ari, dan Abdullah bin Zubair.
Selain itu, ulama lain menambahkan, selain sahabat-sahabat di atas, yang juga dikenal sebagai ahli tafsir adalah: Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin Ash, dan ‘Aisyah.
Pada masa ini, salah satu produk penafsiran yang berhasil direkam hingga sekarang adalah kitab tafsir yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas, sebagaimana dirangkum oleh Abu Thohir Muhammad bin Yakub al-Fairuzzabadi as-Syafi’i di dalam kitabnya “Tanwir al-Miqbas min Tafsiri Ibn Abbas”.
Secara garis besar, di antara karakteristik penafsiran al-Qur’an pada masa sahabat adalah sebagai berikut:
* Penafsiran tidak dilakukan terhadap al-Qur’an secara keseluruhan.
* Pertentangan penafsiran di kalangan sahabat sangat kecil/sedikit.
* Tafsir belum tersusun secara sistematis.
* Produk-produk penafsiran belum dikodifikasi.
* Singkat di dalam menjelaskan makna-makna lughawi.
* Perbedaan penafsiran tidak berimplikasi pada timbulnya macam-macam madzhab/golongan. Dan lain-lain.
3. Tafsir Al-Qur’an Pada Masa Tabi’in
Tradisi penafsiran pada masa tabi’in, selain mengambil 4 (empat) sumber sebagaimana yang terjadi pada masa sahabat, juga menambahkan satu sumber lagi yakni riwayat para sahabat. Yang dimaksud riwayat para sahabat di sini adalah riwayat mereka tentang penjelasan-penjelasan Nabi termasuk juga tentang ijtihad-ijtihad mereka sendiri.
Pada masa ini muncul madrasah-madrasah tafsir di Mekkah, Madinah, dan Irak.
a. Madrasah Tafsir di Mekkah
Madrasah tafsir di Mekkah diasuh oleh Ibnu Abbas. Diantara para tabi’in yang berguru kepada beliau adalah :
- Sa’id bin Jubair (tokoh tabi’in yang paling banyak meriwayatkan tafsir Ibnu Abbas. Beliau meninggal lantaran terbunuh pada tahun 95 H)
- Mujahid bin Jabir (meski palling sedikit mentafsirkan riwayat Ibnu Abbas, beliau dikenal paling ahli dalam bidang tafsir dibandingkan tabi’in yang lain. Beliau lahir di masa pemerintahan Umar bin Khattab pada tahun 21 H dan wafat pada tahun 104 H di Mekkah dalam keadaan sedang bersujud. Tafsir beliau banyak dipedomani oleh as–Syafii, al–Bukhori, dll).
- Ikrimah (wafat 104 H).
- Thowus bin Kaisan al–Yamani (wafat 106 H).
b. Madrasah Tafsir di Madinah
Madrasah tafsir di Madinah diasuh oleh Ubay bin Ka’ab. Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah :
- Zaid bin Aslam (wafat 130 H)
- Abul’Aliyah (beliau hidup sejak masa jahiliyah dan baru memeluk Islam 2 tahun setelah Nabi wafat. Beliau banyak meriwayatkan keterangan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas;ud, Ibnu Abbas, dan Ubay bin Ka’ab. Beliau wafat pada tahun 90 H).
- Muhamad bin Ka’ab al-Quradzi (beliau wafat terbunuh bersama jama’ahnya pada tahun 118 H).
c. Madrasah Tafsir di Irak
Dibandingkan Madrasah tafsir di Mekkah dan Madinah, madrasah tafsir di Irak dikenal sebagai madrasahnya kelompok ahl ar-ro’y. Madarasah ini diasuh oleh Abdullah bin Mas’ud. Beliau dikenal sebagai peletak dasar metode istidlal yang kemudian banyak diwarisi oleh ulama-ulama Irak. Diantara murid-murid beliau adalah :
- `Alqamah bin Qais (lahir sejak masa Nabi, dan wafat pada tahun 61 H)
- Masruq (wafat 63 H)
- Aswad bin Yazid (wafat 75 H)
- Marrah al-Hamdani (wafat 76 H)
- ‘Amir as-Sya’bi (wafat 109 H)
- Hasan al-Bashri (wafat 110 H)
- Qatadah bin Di’amah as–Sadusi (wafat 117 H).
Diantara kareteristik penafsiran pada masa tabi’in adalah sebagai berikut:
a) Mulai banyak dipengaruhi kisah-kisah Israiliyat dan Nasraniyat. Hal ini karena banyaknya ahli kitab yang masuk Islam pada masa itu. Diantara ulama yang banyak meriwayatkan keterangan dari ahli kitab adalah Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, Wahb bin Munabbah, Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, dll.
b) Tradisi penafsiran tidak lepas dari kegiatan talaqqi dan riwayat.
c) Mulai muncul banyak perbedaan penafsiran.
d) Munculnya madzhab-madzhab yang diakibatkan oleh perbedaan dalam memaknai ayat al-Qur’an.
4. Masa Pengkodifikasian Tafsir
Masa pengkodifikasian (pembukuan) tafsir baru dimulai pada akhir kekuasaan Bani Umayah hingga memasuki awal kekuasaan dinasti Abbasiah. Masa pengkodifikasian tafsir dibagi menjadi beberapa periode:
a. Periode Pertama
Pada periode pertama, tafsir masih menjadi bagian yang mengintegral dengan pembahasan kitab hadits. Sistematika tafsir menginduk kepada sistematika hadist dalam hal pembagian bab-nya. Pada periode ini tafsir belum menjadi disiplin pembahasan tersendiri.
Diantara ulama yang memiliki kontribusi besar pada masa ini adalah Yazid bin Harun as–Salami (wafat 117 H), Syu’bah bin Hajjaj (wafat 160 H), Waki’bin Jarrah (wafat 197 H), Sufyan bin ‘Uyainah (wafat 198 H), Rouh bin Ubadah al–Bashri (wafat 205 H), Abdul Rozak bin Hamman (wafat 211 H), dan Adam bin Abi Iyas (wafat 220 H).
b. Periode Kedua
Pada periode ini tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri, terpisah dari hadist. Kitab tafsir mulai disusun secara sistematis mengikuti sistematika mushaf al-Qur’an.
Diantara ulama-ulama yangn muncul pada masa ini adalah Ibnu Majah (wafat 272 H), Ibnu Jarir at–Thobari (wafat 310 H), Abu Bakar bin Mudzir an–Naisaburi (wafat 318 H), Ibnu Abi Hatim (wafat 327 H), Abu Syaih bin Hibban (wafat 369 H), al-Hakim (wafat 405 H), dan Abu Bakar al-Mardawi (wafat 410 H).
c. Peroide Ketiga
Pada periode ini, penulisan tafsir mulai berkembang pesat seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu keislaman saat itu. Pada periode ini penulisan tafsir mengambil 2 (dua) macam corak, yaitu tafsir ‘aqli dan tafsir maudlu’i.
Tafsir ‘aqli adalah tafsir al-Qur’an yang ditulis berdasarkan pendekatan disiplin keilmuan tertentu. Contohnya adalah tafsir “al-Bahr al-Muhith” yang ditulis oleh Abi Hayyan dengan fokus kajian ilmu nahwu (gramatika Arab), tafsir “Mafatih al-Ghaib” oleh Fakhr ar-Rozi yang ditulis melalui pendekatan ilmu hikmah dan falsafah, dll.
Sedangkan tafsir Maudlu’i adalah tafsir yang ditulis secara tematik. Contohnya adalah “at-Tibyan fi Aqsamil Qur’an” karya Ibnul Qayyim yang khusus mengkaji sumpah-sumpah di dalam al-Qur’an, “Majaz al-Quran” karya Abu ‘Ubaidah yang mengkaji soal majaz di dalam al-Qur’an, “Mufrodat al-Qur’an” karya ar-Raghib al-Ashfahani yang mengkaji kosakata-kosakata al-Qur’an, dan sebagainya.
Berikut ini adalah beberapa kitab tafsir karya ulama salaf yang masih banyak digunakan hingga sekarang:
1) “Mafatih al-Ghaib” karya al-Fakhr ar-Razi.
2) “Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil” karya al-Bai dan lowi.
3) “Madarik at-Tanzil wa Haqaiq at-Ta’wil” karya an-Nasafi.
4) “Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil” karya al-Khozin.
5) “al-Bahr al-Muhith” karya Abi Hayyan.
6) “Ghoroib al-Qur’an wa Roghoib al-Furqan” karay an-Naisaburi.
7) “Tafsir al-Jalalain” karya al-Mahalli dan as-Suyuthi.
8) “as-Siroj al-Munir” karya as-Syarbini.
9) “Rouh al-Ma’ani fi tafsir al-Qur’an al-‘Azim wa as-sab’ul Matsani” karya al-Alusi.
C. Penutup
Demikian sejarah singkat penafsiran al-Qur’an pada masa klasik. Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu A’lam. [ ]
[1] Lihat: Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 489.
[2] QS. Al-Hijr: 9.
[3] QS.Al-Qiyamah: 17-18.
[4] QS. Al-Baqarah: 37.
[5] QS. Al-A`raf: 23.
[6] HR. Ahmad, at-Turmudzi, dan lain-lain, dari Adi ibn Hibban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar