Naskah Khutbah Jum’at:
“MEMFUNGSIKAN HATI
SEBAGAI 'RUMAH TUHAN' (BAITULLAH)”
Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
(Ketua Lajnah Ta’lief wan Nasyr (LTN) PCNU Kab. Indramayu)
(Disampaikan di
Masjid Jami’ Al-Ikhlash Dukuhjeruk Kec. Karangampel Kab. Indramayu,
Tanggal 3 April 2015 M. / 14 Jumadil Akhir 1436 H.)
Khutbah Pertama:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ
بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ
بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا
مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ
بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ؛
فَيَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا
اتَقُوا اللهَ, وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍّ, وَاتَّقُوا اللهَ,
إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ.
Hadirin sidang Jum’at rahimakumullah,
Mengawali khutbah pada siang hari ini, ada satu kisah menarik
dalam kitab Thaharatul Qulub wal Khudhu’ li ’Allaami al-Ghuyub karya seorang ulama sufi,
al-‘Arif billah Syeikh Abdul Aziz bin Ahmad bin Said ad-Darainiy RA. Kisah
tersebut berdasarkan pengalaman yang
dialami oleh sufi lain yang bernama Syeikh Abdul Warid bin Zubad RA. Dikisahkan, bahwa Syeikh
Abdul Warid dalam satu waktu pernah melakukan perjalanan dari satu kota ke kota
lain, naik-turun dari satu bukit ke bukit lain, menyusuri pegunungan dan perkampungan
di berbagai tempat yang dikunjungi, dalam rangka mencari ilmu dan hikmah dari para
ulama sufi. Hingga satu ketika di sebuah puncak gunung, Syeikh Abdul
Warid bertemu seorang kakek tua yang buta dan tuli serta tidak memiliki
sepasang kaki dan tangan. Kakek itu sedang beribadah dengan sangat khusuk.
Setelah Syeikh Abdul Warid mendekat, ia mendengar sang kakek sedang mengucapkan
puji-pujian kepada Allah SWT: “ya ilaahi wa ya sayyidi (wahai Tuhanku
dan Tuanku), matta’tani bijawaarihii haitsu syi’ta (Kau anugerahkan
anggota tubuh untukku pada saat yang Engkau kehendaki), wa akhadztaha haitsu
syi’ta (dan Kau ambil kembali semuanya saat Kau inginkan), wa tarakta
lii husnadzonni fiika, ya birru ya washuul (namun Engkau tetap membuatku
dapat selalu berbaik sangka pada-Mu, wahai Dzat yang Maha Baik dan Maha
Menyampaikan Maksud).
Syeikh Abdul Warid lalu bertanya dalam hati: “Aneh sekali
kakek ini, kebaikan apakah gerangan yang telah Allah berikan?, dan Allah telah menyampaikan
tujuan apa kepadanya, bukankah ia telah tuli dan buta sehingga tidak bisa
melakukan banyak hal?. Tiba-tiba sang kakek berkata kepada Syeikh Abdul
Warid hingga ia sangat terkejut karena kakek yang buta dan tuli itu ternyata mengetahui
apa yang tengah ia pikirkan. Kakek itu berkata: ilaika anni ya baththool,
alaisa taraka lii qolban ya’rifuhu? wa lisaanan yadzkuruhu? fahuwa na’iimu ad-daaraini
jami’an (akan aku jelaskan kepadamu kebahagiaan apa yang telah aku dapatkan
wahai lelaki asing. Bukankah Tuhan telah menganugerahkan qalb/hati kepadaku
yang dengan hati itu aku dapat selalu mengenal-Nya?, bukankah Tuhan juga telah
memberiku lidah sehingga dengan lidah itu aku mampu untuk selalu
mengagungkan-Nya?, ketahuilah, semua itu adalah nikmat dunia dan akhirat yang
tak terhingga.
Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,
Kisah di atas sungguh mengandung hikmah dan pelajaran yang sangat menakjubkan. Bagaimana tidak?, dari seorang kakek tua yang buta, tuli dan cacat,
kita dapat mengambil satu pelajaran yang sangat berharga. Di mana hati nurani (qalb) adalah sesuatu
yang ada dalam diri manusia yang selalu takut dan tunduk kepada Allah. Hati adalah organ
manusia yang penuh dengan
pancaran cahaya ilahi, sebagai anugerah
terbesar dari Allah SWT melebihi anugerah apapun. Apalah arti
kesempurnaan fisik dan materi, jika ternyata hati yang kita miliki adalah hati
yang tumpul; hati yang keras; hati yang tidak terisi oleh pancaran cahaya ilahi. Betapa dalam kisah
tersebut sang kakek mengingatkan kita agar tidak
terperangkap dalam perspesi dan standar kebahagiaan duniawi yang lebih
cenderung bersifat materi, di mana semakin materi itu dikejar justeru akan semakin membuat kita
merasa hampa dan terasing, bahkan kita kehilangan
diri kita sendiri. Maka sudah seharusnya hati itu kita hidupkan agar dapat berperan penting dalam diri
kita, bukan hanya akal dan nafsu
belaka. Hati yang dimaksud di sini adalah hati dalam pengertian ruhani, bukan hati dalam pengertian
organ tubuh yang berwujud fisik.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah,
Dalam memahami konsep hati ini, kita terlebih dahulu perlu membedakan hati dalam arti fisik
dan hati dalam arti ruhani. Hati dalam arti fisik menurut
hadits Nabi adalah mudghoh
(segumpal darah) yang sangat
berpengaruh bagi kesehatan diri setiap manusia. Apabila kondisi segumpal darah itu
baik, maka akan baiklah seluruh bagian tubuhnya, sebaliknya, apabila segumpal darah
itu rusak maka akan rusaklah seluruh bagian tubuh tersebut. Dalam hal ini, ulama berbeda
pendapat mengenai makna kata mudghoh. Sebagian ulama menafsirkannya sebagai organ bagian
dalam manusia yang disebut liver, sebagian yang lain menafsirkannya dengan jantung.
Adapun hati dalam pengertian ruhani, seorang ulama besar
sekaligus Filosof Muslim, Syeikh
Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy, yang bergelar ‘Shadr
al-Din’ dan lebih populer dengan sebutan Mulla Shadra (lahir: 979-80 H/ 1571-72 M), dalam salah satu kitabnya yang berjudul Mafatihul Ghaib,
ia menjelaskan bahwa hati dalam pengertian ruhani memiliki 3 (tiga) macam tingkatan. Di mana antara manusia yang
satu dengan manusia yang lain bisa saja berada dalam tingkatan yang berbeda.
Tingkatan hati yang pertama disebut Qalb. Qalb, sesuai dengan arti harfiyahnya: “bolak balik”, memiliki sifat tidak stabil. Masih selalu
terjadi tarik menarik antara dorongan kebaikan dan keburukan.
Coba sejenak kita renungkan, bagaimana dengan kondisi diri kita?. Apakah kita
sering berada dalam kondisi ini, yakni tarik menarik antara
yang hak dengan yang batil?. Misalnya, ibadah kita laksanakan dengan baik,
namun di sisi lain kemaksiatan juga masih sering kita lakukan. Atau, kadang dalam bekerja kita kerap muncul
keinginan untuk melakukan kecurangan setiap kali ada kesempatan, meski di saat
yang sama kita juga masih mengingat akan dosa. Lalu akhirnya kita menjadi bingung dan ragu-ragu apakah mau melakukan atau
tidak. Di sini terjadi tarik menarik antara qalb dan nafsu. Jika yang
terjadi adalah demikian, maka sesungguhnya tingkatan hati kita masih berada dalam posisi ini.
Oleh karenanya, kita dianjurkan agar di dalam shalat di akhir bacaan tasyahud
akhir kita memohon kepada Allah dengan membaca do’a: Ya muqalliba al-quluub,
tsabbit qalbii ‘alaa diinika (wahai Dzat yang maha membolak-balik hati, mantapkanlah
hati kami dalam meniti agama-Mu).
Ma’asyiral muslimin
rahimakumullah,
Kemudian,
tingkatan hati yang kedua disebut al-fuad. Makna al-fuad sebenarnya lebih dekat
kepada makna ‘aql. Yakni hati yang sudah mampu mempertimbangkan secara matang sisi
baik dan buruk dari setiap perbuatan; hati yang sudah berani secara tegas memilih
jalan kebaikan dan meninggalkan jalan keburukan; hati yang lebih mengedepankan suara
kebenaran dan menanggalkan kebatilan.
Adapun hati yang berada dalam
tingkatan ketiga atau tingkatan yang paling tinggi adalah al-lub. Lub adalah hati yang selain
sudah mampu memilih kebaikan dan meninggalkan keburukan, juga telah terisi
dengan kesadaran bahwa setiap kebaikan yang dilakukan adalah bentuk kecintaannya
kepada Allah SWT, sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Hati pada tingkatan inilah yang dimaksudkan dalam kisah si kakek di atas. Yakni, hati yang sudah benar-benar mengenal Tuhannya; hati yang telah terisi
dengan pancaran nur ilahi. Hati seperti inilah yang kemudian dalam dunia tasawuf sering disebut dengan istilah “baitullah” (singgasana Allah). Dalam hal ini,
perlu dipahami secara berbeda antara baitullah yang ada dalam diri manusia
dan baitullah dalam pengertian Ka’bah yang menjadi kiblat sekaligus pusat kegiatan ritual ibadah
haji.
Istilah baitullah dan haji, sesungguhnya mengandung 2 (dua) makna: makna syar’i dan makna hakiki. Haji dalam pengertian syar’i sebagaimana yang sudah sangat kita pahami, adalah perjalanan ibadah ke baitullah. Adapun haji dalam makna hakiki
adalah perjalanan manusia ke dalam dirinya sendiri untuk sampai pada tingkatan
hati yang sempurna, yakni lub. Karena lub inilah
yang merupakan inti dari baitullah yang simbolisasinya berupa Ka’bah yang berada di Tanah Suci Mekkah.
Maka, perjalanan ibadah haji ke Mekkah yang begitu berat, dengan keharusan memiliki
kesiapan mental, fisik, pengetahuan, dan waktu yang matang, adalah “simbol”
betapa sulitnya seseorang mencapai tingkatan lub yang notabene ada dalam
dirinya sendiri, sehingga diperlukan perjuangan secara terus-menerus.
Mudah-mudahan, bagi saudara-saudara
kita kaum Muslim yang telah melaksanakan haji ke Tanah Suci bisa mengambil
pelajaran berharga dari ibadahnya tersebut. Bahwa, selain untuk memenuhi
kewajiban syar’i, perjalanan haji yang lebih hakiki sesungguhnya adalah perjalanan
ke dalam dirinya sendiri untuk menghidupkan lub atau hati nurani sehingga
terisi oleh pancaran cahaya ilahi. Sehingga semua pikiran, sikap, dan
perbuatannya senantiasa mencerminkan sifat-sifat ilahi. Demikian pula bagi kita yang belum memiliki kesempatan melaksanakan haji
secara syar’i, masih ada kesempatan untuk
mencapai derajat haji secara hakiki, yakni dengan senantiasa melatih diri agar hati kita sampai pada tingkatan yang paling tinggi, yaitu lub yang tak lain merupakan baitullah. Sehingga hati kita
penuh dengan pancaran cahaya Ilahi; hati yang telah betul-betul mengenal
Tuhannya dengan baik. Dalam konteks inilah, hujjatul
Islam Imam al-Ghazali RA menyatakan: man ‘arafa nafsahu fa qod ‘arafa
rabbahu (barang siapa yang mampu mengenali dirinya (yakni, hatinya telah sampai
pada tingkatan lub), maka sesungguhnya ia telah mengenal Tuhannya.
Akhirnya, mengakhiri khutbah ini, marilah
kita sama-sama berdo’a dan terus berusaha, jika hari ini hati kita masih berada
dalam tingkatan qalb, semoga esok hati kita bisa meningkat menjadi al-fuad,
dan lusa bisa sampai pada tingkatan lub. Dan semoga hati kita tidak termasuk hati yang mati atau hati yang buta. Yakni hati yang sudah tidak lagi merasa bersalah setiap kali melakukan dosa dan kesalahan. Sebagai firman
Allah SWT (QS. al-Hajj: 46),
أَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِي الأَرْضِ فَتَكُوْنَ
لَهُمْ قُلُوْبٌ يَعْقِلُوْنَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُوْنَ بِهَا فَإِنَّهَا لاَ
تَعْمَى الأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِي الصُّدُوْرِ
“Maka apakah mereka
tidak mampu berjalan (dan mengambil pelajaran) di muka bumi, padahal mereka memiliki
hati yang dengan hati itu mereka seharusnya dapat memahami; juga mempunyai
telinga yang dengan telinga itu mereka seharusnya dapat mendengar?!,
sesungguhnya bukanlah karena mata mereka yang buta, tetapi yang buta ialah hati
yang ada di dalam dada mereka”.
Dalam ayat lain (QS. al-Jatsiyah: 23), Allah SWT juga berfirman:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ
وَأَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى
بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيْهِ مِنْ بَعْدِ اللهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhan, dan Allah membiarkannya tersesat, juga Allah mengunci
pendengaran dan hatinya serta menutup penglihatannya?!, siapakah yang akan
memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya tersesat), tidakkah kamu dapat
mengambil pelajaran?.”
Demikian khutbah ini, semoga bermanfaat.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ
فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ
الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ
وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
الْحَمْدُ الَّذِيْ خَلَقَ الْخَلْقَ لِيَعْبُدُوْهُ،
وَأَبَانَ آيَاتِهِ لِيَعْرِفُوْهُ، وَسَهَّلَ لَهُمْ طَرِيْقَ اْلوُصُوْلِ
إِلَيْهِ لِيَصِلُوْهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيْرٌ، وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ،
أَرْسَلَهُ اللهُ بِاْلهُدَى وَدِيْنِ اْلحَقِّ لِيَكُوْنَ لِلْعَالَمِيْنَ
نَذِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ, فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ, اِتَّقُوا اللهََ حَقَّ تُقَاتِهِ,
وَاعْلَمُوْا أَنََّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ
وَثَـنَّى بِمَلآئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ, وَقَالَ تَعَالَى إِنََّ اللهَ
وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَنْبِيَآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَتِكَ الْمُقَرَّبِيْنَ,
وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ
وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي
التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ, وَارْضَ عَنَّا
مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ
وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ, إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ
مَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ
وَأَذِلَِّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ
الْمُخْلِِصِيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ ودَمِّرْ أَعْدَآئَنَا
وَأَعْدَآءَ الدِّيْنِ وأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ
ادْفَعْ عَنَّا الْبَلاََءَ وَالْوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ
الْفِتْنَةِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنا إِنْدُوْنِيْسِيَا
خَآصَّةً وَعَنْ سَائِرِ الْبُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَآمَّةً يَا رَبَّ
الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ
حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ! إِنََّ اللهَ يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ
الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ,
وَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ
يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكم, وَلَذِكرُ اللهِ أَكْبَرُ,
وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.
mohon idzin copas ustadz
BalasHapusWa'alaikum salam, silahkan, semoga bermanfaat.
BalasHapusmohon izin copas untuk materi sy khutbah hari ini di Masjid AL-Abror Lrg.Klekar Jl.Jend.A.Yani belakang kapoltabes Palembang
BalasHapusH.Suryanto Sakiran AlMaliki
Mohon izin copast kyai. Afwan
BalasHapusIjin copy
BalasHapusMantab izn kopi
BalasHapusMohon ijin cpas ustadz, jazakumullah...
BalasHapusSangat membantu untuk saya, Semoga kumpulan materi khutbah nya menjadi amal sholeh buat penulis dan semua yang membantu menyebarkan.
BalasHapus