Naskah Khutbah Jum’at:
“MEMAKNAI ISRA’ MI’RAJ DALAM KONTEKS KEHIDUPAN SOSIAL”
Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
(Ketua Lajnah Ta’lief wan Nasyr (LTN) PCNU Kab. Indramayu)
(Disampaikan di Masjid Jami’
Al-Ikhlash Dukuhjeruk Kec. Karangampel Kab. Indramayu,
Tanggal 24
April 2015 M. / 5 Rajab 1436 H.)
Khutbah Pertama:
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ, الْكَرِيْمِ الْمَنَّانِ, الرَّحِيْمِ
الرَّحْمَنِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى حَمْدًا يَدُوْمُ عَلَى
الدَّوَامِ، وَأَشْكُرُهُ عَلَى الْخَيْرِ وَاْلإِنْعَامِ، أَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ
سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ
فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مَحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِه صَلاَةً
وَسَلاَمًا دَائِمَيْنِ مَتُلاَزِمَيْنَ عَلَى مَمَرِّ اللَّيَالِيْ وَالزَّمَانِ، أَمَّا
بَعْدُ؛ فَيَا
عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَ.
Hadirin sidang Jum’at rahimakumullah,
Tanpa terasa, saat ini kita
telah memasuki bulan Rajab, bulan yang di dalamnya terdapat sebuah
peristiwa maha penting dalam catatan sejarah peradaban umat manusia, yakni Isra’ dan Mi’raj yang dialami Nabi Muhammad SAW lebih dari 14 abad yang
silam. Isra’ Mi’raj merupakan sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa, di
mana nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya akan tetap aktual dan abadi
sepanjang masa. Oleh karenanya, adalah hal yang wajar jika kemudian setiap memasuki bulan Rajab, Isra’ Mi’raj selalu diperingati oleh umat Islam
di berbagai penjuru dunia, dan dijadikan momentum untuk mengaktualisasikan
kembali nilai-nilai luhur di dalamnya. Terlebih
pada masa sekarang, di mana bangsa dan masyarakat kita, khususnya kalangan generasi muda dan pelajar yang disebut-sebut sebagai generasi millenial, seolah tak henti-hentinya diguncang beraneka macam persoalan, berbagai penyimpangan terhadap norma etika dan agama seolah dianggap hal yang lumrah dan menjadi "budaya", hingga masalah yang sangat meresahkan kita akhir-akhir ini adalah, makin merebaknya fitnah dan hoax di jejaring media sosial yang berpotensi mengancam keutuhan masyarakat kita sebagai sebuah bangsa.
Jama’ah Jum’at hadaniyallahu
wa iyyakum,
Sedikitnya ada 4 (empat) nilai fundamental yang sangat
penting untuk kita maknai
dari peristiwa Isra’ Mi’raj:
Pertama,
peristiwa Isra’ yang berarti perjalanan Nabi Muhammad SAW di malam
hari dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina. Peristiwa itu memberikan
isyarat kepada kita, bahwa manusia di dalam hidupnya perlu membangun hubungan dan komunikasi sosial/horizontal. Pada peristiwa Isra’, perjalanan Nabi SAW
bersifat horizontal: dari bumi yang satu ke bumi lainnya, yang disimbolkan dari satu masjid ke masjid lain, yakni dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Maka, masjid
yang merupakan “simbol” pusat kegiatan keagamaan umat Islam, harus pula
ditransformasikan nilai-nilainya di tengah kehidupan sosial atau kemasyarakatan
secara nyata. Umat Islam harus mampu membangun relasi sosial (hablun minan-nas) yang rukun dan harmonis di tengah-tengah
kehidupannnya. Karena Nabi sendiri dalam salah satu sabdanya menyatakan: al-dînu mu’amalah (bahwa agama, salah satu inti ajarannya adalah
bagaimana seseorang harus berinteraksi atau berhubungan baik dengan sesamanya).
Dengan kata lain, kualitas
keislaman seseorang tidak cukup hanya diukur ketika ia
berada di dalam masjid.
Akan tetapi, bagaimana nilai-nilai ibadah dan kekhusyukan yang telah dilakukannya
di dalam masjid itu diwujudkan pula di luar masjid, yakni ketika berada di
lingkungan kerja maupun di tengah-tengah masyarakatnya, melalui jalinan
interaksi, silaturahmi, dan komunikasi yang baik dengan sesama. Inilah yang
disebut dengan “kesalehan sosial”. Sebab, tidak jarang sewaktu berada di dalam
masjid seseorang tampak khusyuk beribadah, namun begitu keluar masjid,
nilai-nilai kekhusyukan ibadahnya itu ia tanggalkan. Akibatnya, di tempat kerja
maupun di lingkungan masyarakatnya ia masih kerap melakukan prilaku-prilaku
yang justeru bertentangan dengan nilai-nilai ibadah yang telah dilakukannya.
Model beragama seperti itu jelas merupakan wujud keberagamaan yang semu. Karena salah satu wujud keberagamaan yang hakiki, harus ditandai dengan kemampuan
seseorang menjalin komunikasi dan interaksi yang baik dengan sesamanya,
sesuai dengan nilai-nilai akhlak luhur yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Sebagaimana hal ini telah diajarkan pula oleh Raden Makhdum Ibrahim (Sunan
Bonang) dalam salah satu “piwulang” nya kepada Raden Sa’id (Sunan Kalijaga): “marsudi
urip rukun, nuju nur alam cahyaning sejati” (bahwa menjalin hubungan baik
dengan sesama, adalah wujud kematangan spiritual dan kesempurnaan iman
seseorang). Ini sekaligus menegaskan bahwa seseorang baru bisa dianggap beramal shaleh manakala ia tidak hanya mementingkan keshalehan pribadinya semata terkait hubungannya dengan Tuhannya, tetapi juga seorang muslim harus melakukan kebaikan-kebaikan di dalam interaksinya dengan orang lain dan lingkungannya. Ulama salafus shalih menjelaskan makna dan cakupan amal shalih sebagai berikut:
فهو يشمَل الحياة كلّها، فكلّ ما يعود بالنفع على الإنسان والكون والحياة يُعدُّ من العمل الصالح الذي يحثّ عليه الإسلام، ما دامتِ النيّة خالصةً لوجه الله الكريم
“Amal shalih itu mencakup semua urusan
kehidupan. Maka perbuatan apapun yang bisa memberikan manfaat bagi manusia,
alam semesta dan kehidupan, merupakan amal shalih yang dianjurkan dalam ajaran
Islam, selama dilakukan dengan niat yang tulus karena Allah SWT”.
Di samping itu, perisiwa Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha juga memberi isyarat kepada kita, bahwa mestinya antara satu masjid dengan masjid lainnya harus ada sinergi atau kerjasama yang harmonis dalam membangun kegiatan pendidikan dan dakwah secara khidmat dan penuh rahmat kepada masyarakat. Jangan sampai, masjid justeru dijadikan sebagai ajang untuk membentuk ideologi sektarian secara eksklusif dan sempit, yang justru merusak tatanan ukhuwwah (persaudaraan), baik dengan sesama umat muslim maupun dengan masyarakat luas sebangsa dan setanah air. Apalagi, masjid lalu dijadikan sebagai mimbar untuk menyebarkan ideologi politik kebencian dengan mengatasnamakan “Islam” sebagai kemasan untuk tujuan merongrong sistem, falsafah, dan kedaulatan negara yang sah, sebagaimana yang akhir-akhir ini kian marak terjadi di berbagai tempat.
Ma’asyiral
muslimin rahimakumullah,
Kedua,
peristiwa Mi’raj, di mana Nabi SAW dari Masjidil Aqsha kemudian naik ke puncak tertinggi jagat semesta: Sidratil
Muntaha, berjumpa dengan Allah SWT. Perjalanan spiritual ini memberikan pelajaran penting bagi kita bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya
harus melakukan upaya “transedensi”, yakni mendekatkan diri kepada Tuhannya:
Allah SWT, agar terhindar dari jebakan-jebakan materi-duniawi yang
seringkali membuat manusia kalap dan lupa diri.
Sebagai makhluk yang disebut homo
religius, manusia harus mampu membangun relasi atau hubungan yang harmonis dengan Tuhan-nya. Dengan
begitu, maka sifat-sifat
Tuhan sebagai Dzat yang Maha Pengasih
dan Sumber Kebaikan,
harus dapat diterjemahkan dalam kehidupan
nyata sehari-hari. Nilai-nilai
kejujuran harus terus ditegakkan, untuk melawan segala bentuk penyelewengan. Kita tentunya
sangat prihatin dan sedih, ketika kejujuran tidak lagi dianggap penting. Nilai falsafah Jawa yang menyatakan “sopo
sing jujur bakale mujur” (orang yang jujur akan beruntung) telah
dicampakkan sedemikian rupa, dan diganti dengan slogan “sopo
sing jujur malah kajur” (orang yang jujur justru akan hancur). Padahal
kita tahu, bahwa kejujuran-lah yang
akan membawa kita pada ketenangan
dan kedamaian. Kita mungkin saja bisa membohongi puluhan, ratusan, ribuan,
bahkan jutaan orang, namun, kita tidak akan bisa membohongi hati nurani kita
sendiri, apalagi membohongi Allah SWT.
Kemudian yang Ketiga,
dalam peristiwa Mi’raj dari Masjidil Aqsha ke Sidratil Muntaha, Nabi SAW berjumpa
langsung dengan Allah SWT. Ini merupakan puncak pengalaman spiritual sekaligus nikmat yang
sangat indah dan tak tertandingi oleh kenikmatan apapun. Disinilah makin nampak keluhuran dan ke-luar biasa-an Rasulullah SAW,
di mana setelah bertemu dengan Tuhannya, beliau justeru masih mau turun lagi ke
dunia untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan demi keselamatan umatnya. Seandainya
Nabi SAW adalah
orang yang egois dan hanya memikirkan
kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri, niscaya
beliau enggan untuk turun
lagi ke dunia. Itulah cermin bahwa
beliau adalah seorang manusia paripurna (insan kamil) sekaligus seorang sufi
sejati, yang tidak hanya berpredikat shalih (berkepribadian baik secara
personal), tetapi juga seorang mushlih (menjadikan orang lain menjadi
baik).
Peristiwa ini mengandung
pelajaran yang sangat berharga, bahwa kita tidak boleh terjebak pada kesalehan
ritual-spiritual yang bersifat personal semata. Sebab kesalehan yang sejati adalah manakala
seseorang bisa membangun relasi yang harmonis dan seimbang: baik antara dirinya
dengan Tuhannya (hablun min Allah); antara dirinya
dengan sesamanya (hablun min al-nas); maupun antara
dirinya dengan alam dan lingkungan sekitarnya (hablun ma’a al-bi’ah).
Hadirin jama’ah Jum’at yang
berbahagia,
Keempat,
dalam peristiwa Isra’
Mi’raj, Nabi SAW
mendapat perintah yang sangat penting, berupa perintah shalat. Shalat merupakan media interaksi dan komunikasi antara kita dengan Allah SWT, sehingga karena inilah bulan Rajab sering disebut sebagai "syahrullah" (bulannya Allah). Sedemikian pentingnya shalat, perintah itu diterima langsung oleh Nabi tanpa melalui perantara Malaikat Jibril. Jika agama diumpamakan sebagai sebuah bangunan, maka shalat merupakan tiang-tiang penyangga yang akan menopang bangunan itu bisa tetap kokoh berdiri, sebagaimana sabda Nabi:
Namun, hal yang sesungguhnya paling penting adalah bagaimana kita menjiwai dan menerapkan pesan-pesan moral yang terkandung dalam ritual shalat tersebut. Jangan sampai kita memahami shalat hanya sebatas rutinitas dan “seremonial” belaka, tanpa memahami makna apa-apa di dalamnya. Al-Qur’an mengkritik orang-orang yang melakukan shalat sebagai “pendusta agama” dan dianggap sebagai orang yang celaka, manakala mereka melalaikan atau tidak melaksanakan pesan-pesan moral yang terkandung di dalam shalat yang dilakukannya (sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Ma’un: 3-4).
الصلاة عماد الدّين, فمن أقامها فقد أقام الدّين,
ومن تركها فقد هدم الدّين.
“Shalat adalah tiang agama,
barang siapa
yang menegakkan shalat berarti ia menegakkan
agama, barang siapa
yang meninggalkan shalat berarti ia menghancurkan
agama.”
Namun, hal yang sesungguhnya paling penting adalah bagaimana kita menjiwai dan menerapkan pesan-pesan moral yang terkandung dalam ritual shalat tersebut. Jangan sampai kita memahami shalat hanya sebatas rutinitas dan “seremonial” belaka, tanpa memahami makna apa-apa di dalamnya. Al-Qur’an mengkritik orang-orang yang melakukan shalat sebagai “pendusta agama” dan dianggap sebagai orang yang celaka, manakala mereka melalaikan atau tidak melaksanakan pesan-pesan moral yang terkandung di dalam shalat yang dilakukannya (sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Ma’un: 3-4).
فويل للمصلين, الذين هم عن صلاتهم
ساهون.
Jama’ah Jum’at yang berbahagia,
Shalat
mengajarkan kita akan
pentingnya disiplin dan menghargai waktu.
Maka, salah satu ciri dari kualitas
shalat seseorang adalah sejauh mana ia disiplin
dan menghargai waktu,
yang kemudian diterapkan dalam kehidupan nyata
sehari-hari. Di dalam shalat juga terkandung pesan ke-tawadlu’-an (rendah hati), sebab betapa di dalam
shalat kita rela meletakkan kepala kita, yang merupakan mahkota atau anggota
tubuh yang paling mulia, merunduk ke tempat sujud, sejajar dengan kaki kita. Maka kesombongan dan sikap
kesewenang-wenangan jelas bukanlah sifat orang yang baik shalatnya. Shalat juga mengajarkan kita akan pentingnya menebarkan nilai-nilai
kedamaian, keharmonisan, dan persaudaraan. Karena bukankah setiap
kali kita mengakhiri shalat, kita selalu mengucapkan salam (assalamu’alaikum
warahmatullah) sambil menoleh ke kanan dan ke kiri?!. Maka
indikator lain dari orang yang baik shalatnya adalah ia senantiasa menebarkan
rasa kedamaian, persaudaraan, dan kasih sayang di tengah-tengah masyarakatnya. Semoga
kita semua dapat mengambil hikmah dan berbagai pelajaran penting dari peristiwa
Isra’ Mi’raj serta betul-betul mengaktualisasikannya dalam kehidupan
bermasyarakat secara nyata. [ ]
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ
الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ
الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ
السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ
اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ
الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
الحمد لله الذي منّ علينا
برسوله الكريم, وهدانا به إلى الدين القويم
والصراط المستقيم, وأمرنا بتوقيره وتعظيمه وتكريمه, وفرض
على كلّ مؤمن أن يكون أحبَّ إليه من نفسه وأولاده وخليله, وجعل محبّتَه سببا
لمحبّته وتفضيله, أشهد أن لا إله إلاّ اللهُ الرؤوفُ الرحيم, وأشهد أنّ محمّدا
عبده ورسوله ذو الجاه العظيم, صلّى الله وسلَّم عليه وعلى سائر المرسلين, وآل كلٍّ
والصحابة والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين. أمّا بعد, فيا أيّها الحاضرون, اتّقوا
اللهَ حقَّ تُقاته, ولا تموتنّ إلاّ وأنتم مسلمون. واعلموا
أنَّ الله أمَركم بأمرٍ بدأ فيه بنفسه وثـنّى بملآئكته بقدسه, وقال تعالى إنَّ
الله وملآئكته يصلّون على النبى يآأيها الذين آمنوا صلّوا عليه وسلّموا تسليما.
اللهمّ صلّ على سيدنا محمد وعلى أنبيآئك ورسلك وملآئكتك المقرّبين, وارضَ اللهمّ
عن الخلفاء الراشدين أبي بكر وعمر وعثمان وعليّ وعن بقيّة الصحابة والتابعين
وتابعي التابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين, وارض عنّا معهم برحمتك ياأرحم
الراحمين. اللهمّ اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحيآء منهم
والأموات, إنّك سميع قريب مجيبُ الدعوات. اللهمّ أعزّ الإسلام والمسلمين وَأَذِلَّ
الشّركَ والمشركين وانصر عبادَك الْمُوَحِّدِين المخلِصين واخذُل مَن خذَل
المسلمين ودَمِّرْ أعدآئَنا وأعدآءَ الدّين وأَعْلِ كلماتِك إلى يوم الدين. اللهمّ
ادفع عنّا البلاءَ والوَباءَ والزَّلازِلَ والْمِحَنَ وسوءَ الفتنة ما ظهر منها
وما بطن عن بَلَدِنا إندونيسيا خآصةً وعن سائرِ البُلدانِ المسلمين عآمة يَا ربّ
العالمين. ربّنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار. عبادَ
الله! إنَّ الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتآء ذي القربى وينهى عن الفحشآء والمنكر
والبغي يعظكم لعلّكم تذكّرون, واذكروا الله العظيم يَذْكُرْكُمْ واشكروه على
نِعَمِهِ يَزِدْكم واسئلوه من فضله يُعْطِكم, وَلَذِكرُ اللهِ أكبر.