Kamis, 24 April 2025

Khutbah Jum'at: Menggali Inspirasi dan Semangat Beragama Kartini


Khutbah I

الحمدُ للهِ الذي أنزلَ على عبدِه الكتابَ، أظهرَ الحقَّ بالحقِّ وأخزى الأحزابَ، وأتمَّ نورَه وجعلَ كيدَ الكافرينَ في تَبابٍ، وأشهدُ أن لا إلهَ إلاَّ اللهُ العزيزُ الوهّابُ، وأشهدُ أنَّ سيّدَنا محمّدًا عبدُه ورسولُه المستغفِرُ التوّابُ، قُدوةُ الأُممِ ودُرّةُ المقرّبينَ والأحبابِ، اللهم صلِّ وسلِّمْ وباركْ على سيّدنا محمّد وعلى الآلِ والأصحابِ، أمَّا بعدُ فيا عبادَ اللهِ - اتقوا اللهَ حقَّ التقوَى، وراقبوهُ في السرِّ والنجوَى، قال ربُّكُم سبحانه في كتابِه آمرًا عبادَه بالتقوَى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ﴾

Hadirin sidang Jum’at rahimakumullah,

Kemarin, tepatnya tanggal 21 April, sebagaimana sudah sangat masyhur dan kita ketahui bersama, setiap tahun di republik ini secara rutin diperingati sebagai Hari Kartini, seorang tokoh pejuang kaum perempuan pada masa perjuangan kemerdekaan. Masa hidup RA Kartini sebenarnya tidaklah lama, karena ia wafat di usia 25 tahun. Namun, dalam masa hidup yang cukup singkat itu, namanya tetap harum dan hidup sampai sekarang. Meski berbeda usia, RA Kartini pernah hidup semasa dengan Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri NU. RA Kartini lahir pada tahun 1879, sedangkan Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari lahir 8 tahun sebelumnya, yakni tahun 1871. Sehingga tidak aneh, sebagaimana Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan (tokoh pendiri Muhammadiyah), termasuk para kiai lainnya di masa itu, RA Kartini juga sempat berguru kepada satu guru yang sama, yaitu kepada seorang kiai besar yang dijuluki sebagai “Guru Ulama Jawa”, yakni Kiai Sholeh Darat.         

Hadirin yang dirahmati Allah,

Kartini adalah cucu dari seorang pemuka agama dari Telukawur, Jepara, yakni Kiai Madirono. Putri Kiai Madirono yang bernama M.A. Ngasirah menikah dengan Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Dari pernikahan putri Kiai Madirono dan Bupati Jepara itulah lahir Raden Adjeng Kartini. Semangat perjuangan, spiritualitas dan pola pikir Kartini terbentuk ketika ia mulai belajar ngaji kepada Kiai Sholeh Darat. Sebelumnya, kegelisahan demi kegelisahan selalu muncul di benak Kartini setiap kali menyaksikan masyarakatnya yang hanya diperbolehkan dan mampu membaca Al-Qur’an tetapi tidak pernah diajarkan untuk memahami maknanya pada zaman itu. Sehingga, dalam salah satu surat yang ia kirimkan kepada sahabatnya, Stella Zihandelaar, bertanggal 6 November 1899, Kartini menuliskan kegelisahannya:

“Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Dalam pandanganku Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena kebetulan nenek moyangku beragama Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahami isi kitab sucinya? Al-Qur’an terlalu suci; seolah tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun agar bisa dipahami oleh setiap umatnya. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Qur’an. Di sini, orang hanya belajar membaca Al-Qur’an tapi tidak memahami apa yang dibaca.” demikian salah satu ungkapan kegelisahan Kartini yang muncul dari semangat dan kecerdasan pikirannya padahal usianya saat itu masih cukup belia.

Sampai akhirnya, Kartini bertemu dengan Kiai Sholeh Darat untuk belajar mengaji dan menanyakan berbagai hal yang menjadi kegelisahannya, khususnya terkait tidak diperbolehkannya masyarakat memahami isi dan makna Al-Qur’an. Ternyata, berdasarkan fakta sejarah, larangan ini datang dari penjajah Belanda karena menganggap jika masyarakat memahami makna Al-Qur’an, maka jiwa dan semangat untuk merdeka akan tumbuh dalam diri mereka. Tentu hal ini dapat mengancam eksistensi kolonial Belanda itu sendiri. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa tidak banyak ulama saat itu yang menerjemahkan Al-Qur’an, bukan karena tidak mau atau tidak mampu, tetapi karena harus berhati-hati dengan kebijakan Belanda itu.

Sidang Jum’at rahimakumullah,

Pertemuan antara Kartini dengan Kiai Sholeh Darat memang tidak pernah diceritakan oleh Kartini di setiap catatan surat-suratnya yang dikirim kepada sahabatnya. Hal ini karena Kartini sendiri mengkhawatirkan keselamatan Kiai Sholeh Darat, sebab tidak tertutup kemungkinan kaum kolonial akan mengetahuinya. Pertemuan pertama Kartini dengan Kiai Sholel Darat terjadi dalam suatu acara pengajian di rumah Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga masih merupakan pamannya. Saat itu Kiai Sholeh Darat sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. Kartini menjadi amat tertarik dengan Kiai Sholeh Darat. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kiai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang kiai. Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya mampu sebatas membaca surat Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.

Setelah pengajian selesai, Kartini memberanikan diri mengajukan pertanyaan kepada Kiai Sholeh. “Kiai, perkenankan saya bertanya, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu menyembunyikan ilmunya?”. Kiai Sholeh tertegun. “Mengapa Raden Adjeng bertanya demikian?”, Kiai Sholeh balik bertanya. “Kiai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al-Fatihah, surat pertama yang menjadi induk Al-Qur’an. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini. Kiai Sholeh kembali tertegun. Sang guru seolah tak punya kata-kata untuk menyela. Kartini melanjutkan, “Aku hanya heran mengapa selama ini para ulama tidak melakukan penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al-Qur’an ini adalah bimbingan agar hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”. Kiai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali berucap “Subhanallah”. Kartini telah menggugah kesadaran Kiai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; yakni menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa.

Dalam pertemuan itu, Kartini meminta kepada Kiai Sholeh Darat agar Al-Qur’an diterjemahkan. Meskipun pada saat itu penjajah Belanda melarang penerjemahan Al-Qur’an, namun Kiai Sholeh Darat tetap melakukannya. Beliau menerjemahkan Al-Qur’an dengan ditulis menggunakan huruf “Arab Pegon” (sebagaimana yang lazim digunakan di pondok-pondok pesantren) supaya tidak dicurigai dan dipahami penjajah. Kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur’an itu beliau beri nama Kitab Faidhur-Rohman fi Tafsiri Ayatil Qur’an, dan menjadi kitab tafsir al-Qur’an pertama di Asia Tenggara yang menggunakan bahasa Jawa dengan aksara huruf “Arab Pegon”. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada RA Kartini pada saat dia menikah dengan RM Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang.  Kartini amat menyukai hadiah kitab itu dan mengatakan: “Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari  ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kiai Sholeh telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami.”

Melalui terjemahan Kiai Sholeh Darat itulah Kartini menemukan satu ayat yang amat menyentuh nuraninya, yaitu pada ayat (QS. Al-Baqarah: 257):

ٱللَّهُ وَلِىُّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا يُخْرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَـٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ

“Allah adalah penolong bagi orang-orang beriman, yang senantiasa membimbing mereka dari gelap menuju cahaya.”

Dalam sejumlah surat-suratnya yang dikirim kepada sahabatnya, Kartini banyak mengulang kata-kata “dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda, Door Duisternis Toot Licht. Ungkapan inilah yang akhirnya masyhur sampai sekarang dengan diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Dari perjumpaannya dengan Kiai Sholeh Darat itu, Kartini banyak memahami kondisi kehidupan masyarakat yang selama ini terkungkung akibat penjajahan, sehingga banyak memunculkan sikap inferioritas (atau rendah diri) terutama di kalangan perempuan. Keterbukaan pandangan dan pemikiran Kartini dari hasil belajar kepada Kiai Sholeh Darat inilah yang membuat langkahnya semakin mantap untuk mengubah tatanan sosial kaum perempuan dan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Demikian khutbah ini disampaikan, semoga memberikan inspirasi dan semangat positif bagi kita sekalian, terutama dalam menumbuhkan semangat beragama dan kecintaan kita mempelajari al-Qur’an dan ajaran Islam dari para kiai dan guru-guru kita. 

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah II

الحمد لله ذي الجلال والإكرام حي لا يموت قيوم لا ينام، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك الحليم العظيم الملك العلام، وأشهد أن نبينا محمدًا عبده ورسوله سيد الأنام والداعي إلى دار السلام. أما بعد: فيأيّها الناس اتّقوا الله، وافعلوا الخيرات واجتنبوا عن السيئات، واعلموا أنَّ الله أمَركم بأمرٍ بدأ فيه بنفسه وثـنّى بملآئكته بقدسه, وقال تعالى: إنَّ الله وملآئكته يصلّون على النبى يآأيها الذين آمنوا صلّوا عليه وسلّموا تسليما. اللهمّ صلّ على سيدنا محمد وعلى أنبيآئك ورُسُلِك وملآئكتِك المقرّبين, وارضَ اللهمّ عن الخلفاء الراشدين أبي بكر وعمر وعثمان وعليّ وعن بقيّة الصحابة والتابعين وتابعي التابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين, وارض عنّا معهم برحمتك ياأرحم الراحمين

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوات. اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُوْمًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْمًا. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَ كُلاًّ مِنَّا لِسَانًا صَادِقًا ذَاكِرًا، وَقَلْبًا خَاشِعًا مُنِيْبًا، وَعَمَلاً صَالِحًا زَاكِيًا، وَعِلْمًا نَافِعًا رَافِعًا، وَإِيْمَانًا رَاسِخًا ثَابِتًا، وَيَقِيْنًا صَادِقًا خَالِصًا، وَرِزْقًا حَلاَلاً طَيِّبًا وَاسِعًا، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ. ربّنا آتنا في الدّنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النّار. والحمد لله رب العالمين. عبادالله، إنّ الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلّكم تذكّرون. فاذكروا الله العظيم يذكركم واشكروه على نعمه يزدكم واسئلوه من فضله يعطكم ولذكرالله اكبر.