KIPRAH DAN PERJUANGAN KEBANGSAAN KIAI ABBAS BUNTET PESANTREN CIREBON JAWA BARAT
(Oleh: Dr.
H. Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.)
Disampaikan dalam “Seminar Menyongsong Gelar Kepahlawanan KH. Abbas Buntet”,
6
November 2022
(
Prolog
Ulasan tentang sosok Kiai Abbas Buntet yang
sering dijuluki “Singa dari Jawa Barat” dalam Perang 10 November 1945 sejauh
ini telah banyak diteliti dan ditulis, baik dalam bentuk artikel, buku, maupun
hasil-hasil penelitian ilmiah. Dalam sebagian besar tulisan itu, sosok Kiai
Abbas Buntet hampir selalu diidentikkan dengan dimensi “kesaktian” (karamah)
atau hal-hal yang bersifat supra-rasional. Dalam tulisan singkat ini, penulis
akan melihat sosok Kiai Abbas Buntet dari aspek kiprah dan dan perjuangan
kebangsaannya. Tulisan ini merupakan catatan penulis atas berbagai data yang
penulis temukan dari berbagai sumber, baik sumber lisan maupun tulisan.
Silsilah Keluarga
Kiai Abbas (1879-1946) merupakan tokoh
sesepuh generasi keempat di lingkungan Pesantren Buntet, salah satu pesantren
tertua di Jawa, Indonesia. Ayah Kiai Abbas, Kiai Abdul Jamil (1842-1919),
adalah sesepuh generasi ketiga pasca wafatnya sang ayah, Kiai Mutta’ad
(1785-1842), yang merupakan sesepuh generasi kedua. Adapun sesepuh generasi
pertama sekaligus tokoh awal berdirinya Pesantren Buntet adalah Kiai Muqayyim,
seorang mufti sekaligus keluarga Kesultanan Cirebon (1689-1785). Dalam catatan
sejarah, Pesantren Buntet berdiri sejak tahun 1750. Istilah sesepuh merupakan jabatan
dengan otoritas tertinggi di lingkungan Pesantren Buntet yang masih bertahan
hingga sekarang. Jabatan itu ditentukan berdasarkan garis keturunan putera
laki-laki tertua dari jalur anak laki-laki.
Jika melihat silsilahnya, ayah dari Kiai Muqoyim,
Kiai Abdul Hadi, merupakan putera dari pasangan Pangeran Cirebon dan Anjasmoro,
puteri dari Lebe Mangku Warbita Mangkunegara yang berasal dari Srengseng,
Kawedanan Karangampel Indramayu. Kiai Muqoyyim juga sempat tinggal di Keraton bersama
orang tuanya dan mendapat pendidikan Islam dan ketatanegaraan yang cukup baik
dari guru dan orang tuanya, sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Keraton dan
mendirikan pesantren di Buntet.
Kiai Abbas lahir pada hari Jumat 24 Dzulhijjah
1300 H atau 1879 M di Buntet Pesantren Cirebon. Ia merupakan putera tertua Kiai
Abdul Jamil bin Kiai Mutta’ad. Kiai Mutta’ad sendiri merupakan cucu menantu
dari Kiai Muqayyim (pendiri pertama Pesantren Buntet, Mufti Kesultanan Cirebon)
yang berhasil menghidupkan kembali pesantren Buntet yang sempat vakum setelah
wafatnya Kiai Muqayyim. Hasil pernikahan Kiai Mutta’ad dengan cucu Kiai
Muqayyim bernama Nyai Ratu Aisyah atau Nyai Lor binti Raden Muhammad melahirkan
beberapa orang putera-puteri, di antaranya: 1. Ny. Rohilah (menikah dengan
Kiai Kriyan, Mufti Kesultanan Cirebon), 2. Ny. Mu’minah (menikah dengan Kiai
Sa’id bin Kiai Murtasim yang merupakan saudara misan Kiai Mutta’ad; pendiri
Pesantren Gedongan), 3. Nyai Qayyumiyah, 4. Kiai Barwi (menetap di Jawa Timur),
5. Kiai Sholeh Zamzam (Pendiri Pesantren Bendakerep), 6. Nyai Maemunah, 7. Kiai
Sulaiman (wafat mendahului Kiai Mutta’ad), 8. Kiai Abdul Jamil (Buntet), 9.
Kiai Razi, 10. Kiai Abdul Karim. Selain menikahi Nyai Ratu Aisyah (Nyai
Lor), Kiai Mutta’ad juga menikah dengan Nyai Ratu Masriyah (Nyai Kidul) dari
Pamijahan dan memiliki beberapa putera-puteri, di antaranya: 1. Ny. Sa’udah, 2.
Kiai Abdul Mun’im (mertua Kiai Abbas dari anak perempuan bernama Nyai I’anah), 3.
Kiai Tarmidzi, 4. Nyai Karimah, dan 5. Kiai Abdul Mu’thi.
Ayah Kiai Abas, Kiai Abdul Jamil, memiliki
dua orang isteri. Isteri pertamanya bernama Nyai Sa’diyah puteri dari Kiai
Kriyan (dari isteri bernama Nyai Sri Lontang Jaya Arjawinangun) yang yang saat
dinikahkan masih berumur sangat muda sehingga belum bisa melayani Kiai Abdul
Jamil baik lahir maupun batin. Mertuanya, Kiai Kriyan, lalu mencarikan lagi isteri
kedua untuk Kiai Abdul Jamil, yaitu Nyai Qori’ah, puteri dari Kiai Syatori bin
Kiai Nurkati (Nur Hatim), seorang ulama yang menjadi penghulu landraad
(pengadilan negeri Hindia Belanda) di Cirebon. Nyai Qori’ah adalah seorang
perempuan yang memiliki darah keturunan Tiongkok dari neneknya (isteri Kiai
Nurkati). Dari pernikahan dengan Nyai Qori’ah, Kiai Abdul Jamil memiliki
keturunan: 1. Kiai Abbas, 2. Nyai Yakut, 3. Nyai Mu’minah, 4. Nyai Nadroh, 5.
Kiai Akyas, 6. Kiai Anas, 7. Kiai Ilyas, 8. Nyai Zamrud. Sedangkan dari pernikahan
dengan Nyai Sa’diyah binti Kiai Kriyan, Kiai Abdul Jamil memperoleh keturunan:
1. Nyai Sakiroh, 2. Nyai Mandah, 3. Kiai Ahmad Zahid, 3. Nyai Sri (Enci), 4.
Nyai Khalimah.
Silsilah nasab Kiai Abbas dari jalur ayah
sampai kepada Sunan Gunung Jati yaitu: Kiai Abbas bin Kiai Abdul Jamil bin Kiai
Mutta’ad bin Kiai Raden Muridin bin Kiai Raden Nuruddin bin Kiai Raden Ali bin
Pangeran Punjul (Raden Bagus atau Pangeran Penghulu Kasepuhan) bin Pangeran
Senopati (Pangeran Bagus) bin Pangeran Kebon Agung (Pangeran Sutajaya V) bin
Pangeran Dalem Anom bin Pangeran Nata Manggala bin Pangeran Sutajaya Sedo ing
Demung bin Pangeran Wirasutajaya (adik kandung Panembahan Ratu) bin Pangeran
Dipati Anom (Pangeran Suwarga atau Pangeran Dalem Arya Cirebon) bin Pangeran
Pasarean (Pangeran Muhammad Tajul Arifin) bin Sunan Gunung Jati (Syarif
Hidayatullah Azmatkhan).
Berdasarkan silsilah nasab di atas, Kiai
Abbas dan keluarga besar Pesantren Buntet pada umumnya masih memiliki keturunan
bangsawan dari Jalur Sunan Gunung Jati atau Kesultanan Cirebon, baik dari jalur
Kiai Muqayyim maupun Kiai Mutta’ad. Namun sejak masa Kiai Abdul Jamil memimpin
Pesantren Buntet gelar kebangsawanan tidak lagi digunakan, hal ini untuk
menghilangkan sekat perbedaan dengan masyarakat umum.
Riwayat Pendidikan
Sejak kecil, Kiai Abbas adalah seorang santri
yang gemar menggali ilmu pengetahuan dari berbagai pesantren. Awalnya Kiai
Abbas mendapat pengajaran dari ayahnya sendiri, Kiai Abdul Jamil. Setelah
beberapa tahun berada dalam bimbingan ayahnya, Kiai Abbas melanjutkan pendidikan
ke Pesantren Sukanasari Plered Cirebon yang diasuh oleh Kiai Nasuha. Setelah
itu, ia melanjutkan ke Pesantren Jatisari yang diasuh Kiai Hasan, lalu ke
Pesantren Giren di Tegal Jawa Tengah di bawah asuhan Kiai Ubaidah. Kemudian atas
perintah ayahnya, Kiai Abbas bersama Kiai Annas (adiknya) melanjutkan
pendidikan ke Pesantren Tebuireng Jombang yang saat itu baru berdiri di bawah
asuhan Kiai Hasyim Asy’ari. Bahkan Kiai Abbas turut membantu masa-masa awal
berdirinya Pesantren Tebuireng, terutama melalui kemampuan bela diri dan kedigdayaannya
dalam menghadapi para pemberontak yang tidak suka dengan keberadaan Pesantren
di Tebuireng.
Kiai Abbas merupakan santri generasi pertama Pesantren
Tebuireng sekaligus santri yang tempat asalnya paling jauh. Kedekatan Kiai
Abbas dengan Kiai Hasyim Asy’ari sesungguhnya meneruskan kedekatan ayahnya,
Kiai Abdul Jamil, dengan Kiai Hasyim Asy’ari, saat keduanya pernah sama-sama
berada di Tanah Suci (Mekkah). Bahkan, Kiai Abdul Jamil merupakan orang yang
turut mendorong Kiai Hasyim Asy’ari agar sepulang dari belajar di Tanah Suci
(Mekkah) segera mendirikan pesantren sendiri, dan ia siap mensupport dengan
mengirimkan puteranya (Kiai Abbas dan Kiai Anas) untuk membantu sekaligus
menjadi santri pertamanya. Hal ini karena Kiai Abdul Jamil yang dari aspek usia
lebih senior dari Kiai Hasyim Asy’ari, melihat kemampuan Kiai Hasyim Asy’ari yang
meski usianya masih cukup muda tetapi memiliki kecerdasan dan ilmu yang sangat matang
dan mendalam. Di Pesantren Tebuireng Kiai Abbas bersahabat dengan santri-santri
lain dari generasi pertama, seperti Kiai Abdul Wahab Hasbullah dan Kiai Abdul
Karim Manab. Bahkan saat sahabatnya, Kiai Abdul Karim Manab, merintis
berdirinya pesantren Lirboyo, Kiai Abbas turut membantu.
Selesai menimba ilmu di Pesantren Tebuireng, Kiai
Abbas dinikahkan oleh ayahnya dengan Nyai Mini Chafidzoh puteri Kiai Manshur
bin Kiai Sholeh Zamzam dari Pesantren Bendakerep. Dari pernikahan ini Kiai Abbas
dikaruniai 4 orang anak, yaitu: 1. Kiai Mustahdi, 2. Kiai Mustamid, Kiai Abdul
Rozak, 4. Nyai Sumaryam. Setelah Nyai Mini Chofidzoh wafat, Kiai Abbas menikah lagi
dengan Nyai I’anah, puteri dari pamannya, Kiai Abdul Mun’im. Dari pernikahan
itu Kiai Abbas dikaruniai 6 orang anak, yaitu: 1. Kiai Abdullah Abbas, 2. Nyai
Maimunah, 3. Nyai Qismatul Maula, 4. Kiai Nahduddin, 5. Nyai Sukaenah, 6. Nyai
Munawaroh.
Setelah menikah, Kiai Abbas melanjutkan
belajarnya di Tanah Suci Mekkah, guna memperdalam lagi ilmu yang telah dimiliki
sekaligus menunaikan haji. Di Mekkah ia belajar satu angkatan dengan Kiai Bakir
dari Yogyakarta, Kiai ‘Abdullah dari Surabaya, dan Kiai Wahab Hasbullah dari
Jombang. Selama berada di Tanah Suci, ia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi,
Syekh Ahmad Zubaidi, dan Syekh Machfudz al-Turmusi. Sepulang dari Tanah Suci,
Kiai Abbas ikut mengabdi membantu ayahnya dalam mengemban amanah sebagai sesepuh
Pondok Pesantren Buntet. Setelah ayahnya wafat, tongkat estafet kepemimpinan
Pondok Pesantren Buntet dipegang oleh Kiai Abbas.
Kiprah dan Perjuangan Kebangsaan
Pendidikan: Pembaruan Pesantren Buntet
Pada masa kepemimpinan Kiai Abbas, sistem
pendidikan di Pesantren Buntet mulai dikembangkan seiring tuntutan zaman, tidak
hanya menggunakan metode bandongan dan sorogan yang merupakan
tradisi awal pesantren, tetapi juga mulai diperkenalkan sistem pendidikan
dengan metode halaqah (seminar) dan madrasi (kelas). Selain
itu, pada tahun 1928 bertepatan dengan peristiwa Sumpah Pemuda, Kiai Abbas
membuat inovasi baru di dunia pesantren, yaitu mendirikan Madrasah “Abna’ul
Wathan (Wathaniyah)” yang di dalamnya diajarkan ilmu-ilmu umum selain ilmu
agama, seperti Ilmu Hisab (Aritmatika), al-Jughrafiyah
(Geografi), al-Lughah al-Wathaniyah (Bahasa Indonesia), Ilmu at-Thabi’iyyah
(Ilmu Alam) dan Tarikh al-Wathan (Sejarah Kebangsan). Pemilihan nama “Abna’ul
Wathan (Wathaniyah)” oleh Kiai Abbas yang berarti “tunas-tunas bangsa
(kebangsaan)” untuk madrasah yang didirikannya itu menegaskan bahwa Kiai Abbas
merupakan sosok kiai yang memiliki wawasan, komitmen dan cita-cita kebangsaan.
Madrasah tersebut hingga saat ini keberadaannya masih eksis di Pesantren
Buntet.
Salah satu pemikiran Kiai Abbas yang cukup
terkenal dan telah mengubah paradigma pengelolaan pesantren saat itu adalah, ia
menggambarkan pesantren laksana “pasar”. Menurutnya, baik pesantren maupun
pasar keduanya harus bisa melayani siapa saja yang datang tanpa memandang jenis
kelamin, domisili, usia, status sosial, latar belakang, dan lain-lain. Di
samping itu jenis kebutuhan para santri pun tidak sama. Orang datang ke pasar
karena butuh beras, daging, terigu, sayuran, cabai, garam, dan lain-lain.
Begitu pula orang datang ke pesantren butuh ilmu qira’at, ilmu
fikih, ilmu tauhid, ilmu tafsir dan sebagainya. Oleh karena itu ia menganjurkan
kepada semua kiai yang menguasai ilmu tersebut harus mampu melayani santri yang
datang. Gambaran seperti itulah yang sering disampaikan Kiai Abbas kepada
keluarganya. Hal tersebut dimaksudkan untuk merangsang mereka supaya sama-sama
berperan aktif dalam berkiprah di Pesantren Buntet untuk meneruskan perjuangan
leluhurnya. Dengan strategi inilah Kiai Abbas berhasil menyamakan persepsi
keluarganya dalam mengembangkan pesantren. Langkah Kiai Abbas berikutnya adalah
memobilisasi keluarga kemudian melaksanakan pembagian tugas sesuai dengan
kemampuan masing-masing.
Bela Negara: Membentuk Barisan Pejuang Laskar
Santri
Sejak masa penjajahan, selain berkomitmen
mengembangkan pendidikan masyarakat melalui Pesantren Buntet yang diasuhnya,
Kiai Abbas juga concern melatih mental dan fisik para santri serta masyarakat
melalui keterampilan bela diri. Hal ini menjadi modal penting bagi para santri dan
masyarakat untuk ikut berjuang membela negerinya dari kaum penjajah di
masa-masa revolusi fisik.
Pada masa kepemimpinan Kiai Abbas, Pesantren
Buntet menjadi basis penting bagi laskar-laskar jihad, seperti barisan
Hizbullah, Sabilillah, PETA (Pembela Tanah Air), terutama pasca Proklamasi
1945. Selain itu, ia juga secara khusus membentuk regu laskar santri bernama Asybal
(berarti: singa kecil) yang berfungsi sebagai “telik sandi” atau semacam pasukan
inteligen. Asybal diisi oleh para remaja berusia di bawah 17 tahun yang sengaja
dibentuk sebagai pasukan pengintai, bertugas mengawasi jalan-jalan yang mungkin
dilalui musuh (dari arah mana musuh datang, dengan memakai kendaraan apa musuh
datang) serta bertugas sebagai penghubung yang membawa informasi dari satu
kesatuan kepada kesatuan yang lainnya. Sebagai pimpinan Asybal pada
waktu itu adalah: Kiai Nahduddin Abbas (Komandan, putera bungsu Kiai Abbas),
Kiai Mohammad Faqihuddin (Wadan), Mohammad Hisyam Mansyur (Dan Kie I), Kiai Fachruddin
(Dan Kie II), Kiai Hasyim Halawi (Dan Kie III), Kiai Muayyad Qosim (Dan Kie
IV).
Menjelang terjadinya pertempuran 10 November
1945 di Surabaya, Kiai Abbas juga sudah mulai memobilisasi massa, terutama dari
kalangan santri. Ia memberikan komando kepada mereka untuk ikut dalam barisan
perjuangan rakyat Indonesia di Surabaya. Ia sendiri ikut terjun dalam kancah
perang besar itu. Peristiwa bersejarah tersebut merupakan efek dari Fatwa Jihad
yang digagas oleh gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari bersama para kiai lain beberapa
hari sebelumnya dalam sebuah pertemuan NU di Surabaya di mana Kiai Abbas juga
turut hadir di dalamnya.
Perang Surabaya 1945: Menjaga Kedaulatan
Negara
Pasca kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan
pada 17 Agustus 1945, segenap elemen bangsa, tak terkecuali ulama dan santri,
secara moral mereka utuh dan memiliki semangat yang sama mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Sehingga, ketika Tentara Sekutu dan NICA mendarat lagi di
Jakarta, Semarang, Surabaya dan Sumatera pada tanggal 29 September 1945, perang
revolusi kemerdekaan pun tidak dapat dihindari. Demi membela tanah air dan
kedaulatan negara yang sudah merdeka, maka pada 17 September 1945 Fatwa Jihad pun
ditandatangani oleh Kiai Hasyim Asy’ari, yang kemudian dikukuhkan dalam rapat
para kiai NU se-Jawa dan Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 yang dikenal
dengan Resolusi Jihad.
Perang 10 November 1945 adalah potret
kepahlawanan para pemuda rakyat Indonesia bersama barisan ulama dan santri. Di balik
semangat juang para pemuda, ulama dan santri itu, ada tokoh penting dari
Cirebon, yakni Kiai Abbas, yang ikut terlibat langsung dalam pertempuran
Surabaya beserta ribuan laskar Hizbullah dari santri seluruh Jawa Barat. Tidak
hanya itu, ia juga mengirimkan santri-santrinya yang tergabung dalam laskar
Hizbullah ke berbagai daerah seperti Jakarta, Bekasi, Jawa Barat bagian Timur
(Priyangan Timur), Cianjur dan daerah-daerah lainnya untuk melakukan perlawanan
terhadap Tentara Sekutu yang ingin menjajah kembali Indonesia.
Bergabungnya Kiai Abbas dari Pesantren Buntet
dalam pertempuran di Surabaya itu atas undangan gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari. Bahkan
saat Bung Tomo menyampaikan rencananya kepada Kiai Hasyim Asy’ari ingin memulai
pertempuran sebelum tanggal 10 November, Kiai Hasyim Asy’ari menyarankan agar
pertempuran dimulai setelah Kiai Abbas dari Cirebon datang sebagai komandan
tertinggi pasukan laskar Hizbullah. Hal ini karena Kiai Abbas adalah ulama yang
sudah dikenal luas memiliki karamah atau “kesaktian” luar biasa yang sangat
dibutuhkan dalam pertempuran, sehingga karenanya Kiai Abbas oleh gurunya, Kiai
Hasyim Asy’ari, disebut “Singa dari Jawa Barat”.
Pentingnya peran Kiai Abbas dalam peristiwa
10 November 1945 itu juga pernah disampaikan dalam pidato mantan Panglima TNI
Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo pada upacara peresmian Hari Santri Nasional 22
Oktober 2015 di Tugu Proklamasi, Jakarta:
“Saya ingin pula menceritakan, bahwa
sebenarnya perlawanan secara heroik rencananya bukan dilaksanakan tanggal 10,
tetapi lebih awal. Jadi pada saat itu Kiai Hasyim Asy’ari menyampaikan, ‘kita
tunda, kita menunggu ‘Singa Jawa Barat’, yaitu Kiai Abbas bin Abdul Jamil. Ia
adalah cicit dari Mbah Muqoyyim, pendiri pesantren Buntet Cirebon. Dan Kiai
Hasyim Asyari juga memerintahkan, setelah Kiai Abbas bin Abdul Jamil datang,
komando tertinggi Laskar Hizbullah diserahkan untuk memimpin langsung
penyerangan sekutu di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Pengaruh Kiai
Abbas yang kuat membuat keputusan Kiai Hasyim Asyari mengundurkan waktu, sangat
tepat. Sehingga terjadilah pertempuran yang sangat heroik yang kita kenal hari
ini sebagai hari pahlawan. Hari ini mempunyai makna yang bisa kita petik, bahwa
peristiwa tersebut, bahwa perjuangan mempertahankan kedaulatan negara
berdimensi lintas etnis dan lintas wilayah. Siapapun dan di manapun mempunyai
kewajiban yang sama membela bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Politik Kebangsaan dan Pergerakan NU
Pada masa-masa awal revolusi kemerdekaan, Kiai
Abbas tercatat pernah terlibat dalam urusan politik negara. Ia sempat menjadi
anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang menjadi cikal bakal lembaga
parlemen saat ini, mewakili konstituen Jawa Barat. Kiai Abbas juga turut aktif
dalam pergerakan Nahdlatul Ulama (NU), di sini jabatannya adalah anggota Dewan
Mustasyar Pusat dan Rais A'am Syuriah NU Jawa Barat.
Relasi guru-murid antara Kiai Abbas dan Kiai
Hasyim Asy’ari yang terbangun sejak awal berdirinya Pesantren Tebuireng, telah menjadikan
Kiai Abbas turut serta menjadi tokoh penggerak NU. Keberadaan Kiai Abbas dan Pesantren
Buntet tidak bisa dipisahkan dari perkembangan NU di Jawa Barat. Pesantren
Buntet telah menjadi pusat pengembangan NU masa-masa awal di Jawa Barat. Karena
itulah maka pada 12 Rabiuts Tsani 1350/27 Agustus tahun 1931, Buntet Pesantren
menjadi lokasi digelarnya Muktamar NU ke-6. Pada tahun 1938, Kiai Abbas juga
turut hadir sebagai utusan Syuriah NU Cirebon dalam Mukmatar NU di Menes,
Banten. Demikian pula pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya tahun 1940. Kiprah
Kiai Abbas sebagai tokoh penggerak NU juga diikuti oleh putera-puteranya yang
juga menjadi tokoh-tokoh penting di lingkungan NU maupun politik pemerintahan,
seperti Kiai Mustahdi Abbas, Kiai Mustamid Abbas, Kiai Abdullah Abbas dan Kiai
Nahduddin Abbas.
Selain itu, Kiai Abbas juga bergaul akrab
dengan beberapa tokoh bangsa, baik dari kalangan muslim maupun nasionalis, seperti
Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Ridwan
Abdullah (alumni Pesantren Buntet masa kepemimpinan Kiai Abdul Jamil; pencipta
lambang NU), juga tokoh-tokoh lainnya seperti H. Samanhudi (Pendiri SDI, alumni
Pesantren Buntet), HOS. Tjokroaminoto, Ki Hajar Dewantoro dan Dr Soetomo. Pada
masa perkembangan Sarekat Islam (SI), Kiai Abbas juga pernah menjabat sebagai
ketua hukum atau syuriah dalam struktur Sarekat Islam. Di masa penjajahan
Jepang, Kiai Abbas juga disebutkan pernah menjabat sebagai anggota Tjuo
Sangilin (semacam Dewan Legislatif Pusat) juga sebagai anggota Syuu Sangikai
(Dewan Legislatif Daerah). Namun meski sebagai anggota dewan, ia selalu
menentang kebijakan Jepang yang bertentangan dengan akidah Islam dan
kepentingan bangsanya.
Pengembang Tarekat Syattariyah dan Tijaniyah
Tarekat Syattariyah adalah tarekat yang
muncul pertama kali di India pada abad ke-15 yang namanya dinisbatkan kepada
nama pendirinya, Syekh Abdullah asy-Syattar (wafat tahun 1485). Garis
nasab Syekh Abdullah asy-Syattar bersambung kepada Rasulullah SAW melalui jalur
Imam Hasan bin ‘Ali. Sedangkan Tarekat Tijaniyah muncul pada tahun 1195 H/1781
M di Fes, Maroko, Afrika Utara. Pendirinya adalah Abu Abbas Ahmad bin Muhammad
bin Mukhtar bin Salim al-Tijani. Ia lahir di 'Ain Madi, sebuah desa di
Aljazair, tahun 1150 H/ 1737 M dan meninggal dunia pada 1230 H/ 1815 M.
Tarekat Syattariyah di Cirebon pada mulanya berkembang
hanya di lingkungan Kesultanan Cirebon. Beberapa orang dari kalangan bangsawan
kemudian meninggalkan keraton dan mendirikan pesantren-pesantren di sekitar
wilayah Cirebon, sebagaimana yang dilakukan oleh Kiai Muqayyim. Pusat-pusat Tarekat
Syattariyah di Cirebon pada saat itu (masa kolonial abad ke 17-19) yang bermula
dari Keraton Cirebon kemudian beralih ke pesantren-pesantren yang berada di
wilayah Cirebon, termasuk Pesantren Buntet yang didirikan oleh Kiai Muqayyim.
Sebagai seorang mufti keraton sekaligus mursyid Tarekat Syattariyah, Kiai
Muqayyim mendapat sanad Tarekat Syattariyah dari Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan
(1650-1730). Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan sendiri mendapatkan sanad Tarekat
Syattariyah dari Syaikh Abdurrauf as-Sinkili saat keduanya bertemu di Aceh pada
tahun 1669 dalam perjalanannya menuju Mekkah. Menurut Agus Sunyoto, masuknya
Tarekat Syattariyah di Cirebon pertama kali dibawa oleh Syekh Idhofi Mahdi atau
Syekh Dzatul Kahfi atau Syekh Nurjati pada tahun 1420.
Perkembangan tarekat di Cirebon pada tahun
1919-1946 M tidak bisa dilepaskan dari peran Kiai Abbas. Pada masa Kiai Abbas, Tarekat
Syattariyah dan Tarekat Tijaniyah mengalami perkembangan yang pesat. Kiai Abbas
sendiri adalah seorang mursyid Tarekat Syattariyah yang sanadnya diperoleh dari
ayahnya, Kiai Abdul Jamil. Namun seiring berjalannya waktu Kiai Abbas juga
menjadi seorang muqaddam Tarekat Tijaniyah bersama saudaranya, Kiai Anas dan
Kiai Akyas. Dari Pesantren Buntet Kiai Abbas telah berhasil mengembangkan
Tarekat Syattariyah dan Tarekat Tijaniyah, hal ini dapat dilihat dari tersebar
luasnya Tarekat Syattariyah dan Tarekat Tijaniyah sampai ke berbagai pelosok
Tanah Air. Banyak murid yang berasal dari Cirebon maupun dari luar Cirebon
yang telah diangkat oleh Kiai Abbas menjadi seorang mursyid.
Berkaitan dengan awal perkembangan Tarekat
Tijaniyah di Indonesia, Kiai Abbas merupakan salah satu dari “Tujuh Kiai Besar”
yang menjadi muqaddam utama Tarekat Tijaniyah yang diangkat langsung oleh muqaddam
Tarekat Tijaniyah dari Madinah, Syekh Ali ibn Abdullah ath-Thayyib al-Madani
pada tahun 1920-an. Tujuh muqaddam utama Tarekat Tijaniyah itu adalah Syekh Ali
ibn Abdullah ath-Thayyib al-Madani yang kemudian menetap di Bogor, Kiai Asy’ari
Bunyamin Garut, Kiai Badruzzaman Garut, Kiai Utsman Damiri Cimahi (Bandung),
dan tiga bersaudara dari Buntet Pesantren: Kiai Abbas, Kiai Anas, dan Kiai
Akyas.
Wafat
Setelah sekian lama berkiprah dan berjuang mengabdikan
diri untuk agama, nusa dan bangsa, Kiai Abbas wafat pada tanggal 1 Robiul Awal
1365 H/1946 M. Pada saat upacara pemakaman, orang yang mengumandangkan adzan
adalah Tubagus Nafi’ dari Banten dan yang membacakan isyhad adalah Kiai
Zain (adik sepupu Kiai Abbas, putera Kiai Abdul Mun’im, kakek dari isteri
penulis, Ratu Bilqis, dari jalur ibu).
Hingga akhir hayatnya, Kiai Abbas merupakan sosok
kiai yang aktif dalam perjuangan kebangsaan baik di bidang pendidikan, sosial,
politik dan keagamaan. Wafatnya Kiai Abbas bertepatan dengan ditandatanganinya
Perjanjian Linggarjati yang saat itu banyak disesalkan sejumlah tokoh termasuk
Kiai Abbas sendiri karena dianggap merugikan bangsa Indonesia. Terkait berita wafatnya
Kiai Abbas, pihak Belanda sempat tidak percaya, hingga pada hari Idul Fitri
konon Belanda mencari kebenaran berita tersebut, hingga mendatangi makam Kiai
Abbas dan berniat untuk membongkarnya. Namun, berkat siasat keluarga, upaya itu
berhasil digagalkan. Makam Kiai Abbas terletak di Makbaroh Gajah Ngambung,
Buntet Pesantren. Hingga kini makam tersebut selalu ramai dikunjungi keluarga,
santri, alumni, dan para peziarah dari berbagai daerah. [ ] Wallahu A’lam
bis Shawab.
- Achmad, R.S. Surabaya Bergolak. Jakarta: Haji Masagung, 1990.
- ANRI. “Penetapan Presiden RI Panglima Tertinggi Angkatan Perang Tanggal 5 Mei 1947 tentang Penyatuan Tentara RI dan Laskar-laskarnya Menjadi Satu Organisasi Tentara”. Arsip, RA. 24 No. 1261.
- Anonim. “60 Miljoen Kaoem Moeslimin Indonesia Siap Berjihad Fi Sabilillah: Perang di Djalan Allah oentoek Menentang Tiap-Tiap Pendjadjahan”. Kedaulatan Rakyat, 8 November (1945), 1.
- Hoofdbestuur (H.B) Nahdlatoel Oelama, “Resoloesi Djihad fi – Sabilillah”. Arsip, 22 Oktober (1945).
- Mansyur, M. Hisyam., dan MS. Amak Ahmadi Bakri. Sekilas Lintas Sejarah Buntet Pesantren Mertapada Kulon. 1973.
- Syamsu, B. “Sekelumit Riwayat Al-Mukarrom Alm. Bapak Kiai H. Abbas Pimpinan Pondok Pesantren Buntet Kabupaten Cirebon ke Peristiwa Perang Kemerdekaan RI di Kota Surabaya 10 Nopember 1945.” Dokumen, 9 Agustus (1995).
- Tomo, Bung (Sutomo). Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian & Pengalaman Seorang Aktor Sejarah. Cetakan kedua. Jakarta: Visi Media, 2008.
- Ayuhanafiq. Garis Depan Pertempuran Lasykar Hizbullah 1945- 1950. Yogyakarta: Azzagrafika, 2013.
- Aziz, Munawir. Pahlawan Santri Tulang Punggung Pergerakan Nasional. Jakarta: Pustaka Compass, 2016.
- Bizawie, Zainul Milal. Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad garda depan menegakkan Indonesia (1945-1949). Tangerang: Pustaka Compass, 2014.
- _________________________. Masterpiece Islam Nusantara Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945). Jakarta: Pustaka Compass, 2016.
- Bustami, Abdul Latif., dan Tim Sejarawan Tebuireng. Resolusi Jihad Perjuangan Ulama: Dari Menegakkan Agama Hingga Negara. Jombang: Pustaka Tebuireng, 2015.
- Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Study Tentang Cara Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1982.
- Muhaimin, A.G. The Islamic Traditions Of Cirebon Ibadat and Adat Amongs Javanese Muslims. Disertasi Doctor, Australia: ANU E Press, 1995.
- Dosen-dosen IAIN Syekh Nujati Cirebon. Pondok Pesantren Di Wilayah III Cirebon. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014.
- El-Guyanie, Gugun. Resolusi Jihad Paling Syar’i. Yogyakarta: PT LkiS Printing Cemerlang, 2010.
- El-Kayyis, Isno. Perjuangan Laskar Hizbullah di Jawa Timur. Jombang: Pustaka Tebuireng, 2015.
- Hadi, Munib Rowandi Amsal. Kisah-kisah Dari Buntet Pesantren. Cirebon: Kalam, 2012.
- Hasan, Ahmad Zaini. Perlawanan dari Tanah Pengasingan: Kiai Abbas, Pesantren Buntet dan Bela Negara. Yogyakarta: LKiS, 2014.
- Suratmin. Perjuangan Laskar Hizbullah dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Yogyakarta: Matapadi Presindo, 2017.
- Baharsyah, Erik S. “Peran Kiai Abbas Buntet Cirebon dalam Pertempuran Surabaya 1945”. Skripsi. Jurusan SPI UIN Syahid Jakarta, 2018.
- Situs Online Pesantren Tebuireng.
- Situs Online Pesantren Buntet.
- Situs Online PWNU Jawa Barat.
- Wawancara dengan Kiai Khalid al-Batthal (cicit Kiai Abbas) dan keluarga Buntet Pesantren.