Rabu, 04 Juni 2025

KIPRAH DAN PERJUANGAN KEBANGSAAN KIAI ABBAS BUNTET

KIPRAH DAN PERJUANGAN KEBANGSAAN KIAI ABBAS BUNTET PESANTREN CIREBON JAWA BARAT

(Oleh: Dr. H. Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.)

Disampaikan dalam “Seminar Menyongsong Gelar Kepahlawanan KH. Abbas Buntet”

6 November 2022

(

 

Prolog

 

Ulasan tentang sosok Kiai Abbas Buntet yang sering dijuluki “Singa dari Jawa Barat” dalam Perang 10 November 1945 sejauh ini telah banyak diteliti dan ditulis, baik dalam bentuk artikel, buku, maupun hasil-hasil penelitian ilmiah. Dalam sebagian besar tulisan itu, sosok Kiai Abbas Buntet hampir selalu diidentikkan dengan dimensi “kesaktian” (karamah) atau hal-hal yang bersifat supra-rasional. Dalam tulisan singkat ini, penulis akan melihat sosok Kiai Abbas Buntet dari aspek kiprah dan dan perjuangan kebangsaannya. Tulisan ini merupakan catatan penulis atas berbagai data yang penulis temukan dari berbagai sumber, baik sumber lisan maupun tulisan.

 

Silsilah Keluarga

 

Kiai Abbas (1879-1946) merupakan tokoh sesepuh generasi keempat di lingkungan Pesantren Buntet, salah satu pesantren tertua di Jawa, Indonesia. Ayah Kiai Abbas, Kiai Abdul Jamil (1842-1919), adalah sesepuh generasi ketiga pasca wafatnya sang ayah, Kiai Mutta’ad (1785-1842), yang merupakan sesepuh generasi kedua. Adapun sesepuh generasi pertama sekaligus tokoh awal berdirinya Pesantren Buntet adalah Kiai Muqayyim, seorang mufti sekaligus keluarga Kesultanan Cirebon (1689-1785). Dalam catatan sejarah, Pesantren Buntet berdiri sejak tahun 1750. Istilah sesepuh merupakan jabatan dengan otoritas tertinggi di lingkungan Pesantren Buntet yang masih bertahan hingga sekarang. Jabatan itu ditentukan berdasarkan garis keturunan putera laki-laki tertua dari jalur anak laki-laki.

 

Jika melihat silsilahnya, ayah dari Kiai Muqoyim, Kiai Abdul Hadi, merupakan putera dari pasangan Pangeran Cirebon dan Anjasmoro, puteri dari Lebe Mangku Warbita Mangkunegara yang berasal dari Srengseng, Kawedanan Karangampel Indramayu. Kiai Muqoyyim juga sempat tinggal di Keraton bersama orang tuanya dan mendapat pendidikan Islam dan ketatanegaraan yang cukup baik dari guru dan orang tuanya, sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Keraton dan mendirikan pesantren di Buntet.

 

Kiai Abbas lahir pada hari Jumat 24 Dzulhijjah 1300 H atau 1879 M di Buntet Pesantren Cirebon. Ia merupakan putera tertua Kiai Abdul Jamil bin Kiai Mutta’ad. Kiai Mutta’ad sendiri merupakan cucu menantu dari Kiai Muqayyim (pendiri pertama Pesantren Buntet, Mufti Kesultanan Cirebon) yang berhasil menghidupkan kembali pesantren Buntet yang sempat vakum setelah wafatnya Kiai Muqayyim. Hasil pernikahan Kiai Mutta’ad dengan cucu Kiai Muqayyim bernama Nyai Ratu Aisyah atau Nyai Lor binti Raden Muhammad melahirkan beberapa orang putera-puteri, di antaranya: 1. Ny. Rohilah (menikah dengan Kiai Kriyan, Mufti Kesultanan Cirebon), 2. Ny. Mu’minah (menikah dengan Kiai Sa’id bin Kiai Murtasim yang merupakan saudara misan Kiai Mutta’ad; pendiri Pesantren Gedongan), 3. Nyai Qayyumiyah, 4. Kiai Barwi (menetap di Jawa Timur), 5. Kiai Sholeh Zamzam (Pendiri Pesantren Bendakerep), 6. Nyai Maemunah, 7. Kiai Sulaiman (wafat mendahului Kiai Mutta’ad), 8. Kiai Abdul Jamil (Buntet), 9. Kiai Razi, 10. Kiai Abdul Karim. Selain menikahi Nyai Ratu Aisyah (Nyai Lor), Kiai Mutta’ad juga menikah dengan Nyai Ratu Masriyah (Nyai Kidul) dari Pamijahan dan memiliki beberapa putera-puteri, di antaranya: 1. Ny. Sa’udah, 2. Kiai Abdul Mun’im (mertua Kiai Abbas dari anak perempuan bernama Nyai I’anah), 3. Kiai Tarmidzi, 4. Nyai Karimah, dan 5. Kiai Abdul Mu’thi.

 

Ayah Kiai Abas, Kiai Abdul Jamil, memiliki dua orang isteri. Isteri pertamanya bernama Nyai Sa’diyah puteri dari Kiai Kriyan (dari isteri bernama Nyai Sri Lontang Jaya Arjawinangun) yang yang saat dinikahkan masih berumur sangat muda sehingga belum bisa melayani Kiai Abdul Jamil baik lahir maupun batin. Mertuanya, Kiai Kriyan, lalu mencarikan lagi isteri kedua untuk Kiai Abdul Jamil, yaitu Nyai Qori’ah, puteri dari Kiai Syatori bin Kiai Nurkati (Nur Hatim), seorang ulama yang menjadi penghulu landraad (pengadilan negeri Hindia Belanda) di Cirebon. Nyai Qori’ah adalah seorang perempuan yang memiliki darah keturunan Tiongkok dari neneknya (isteri Kiai Nurkati). Dari pernikahan dengan Nyai Qori’ah, Kiai Abdul Jamil memiliki keturunan: 1. Kiai Abbas, 2. Nyai Yakut, 3. Nyai Mu’minah, 4. Nyai Nadroh, 5. Kiai Akyas, 6. Kiai Anas, 7. Kiai Ilyas, 8. Nyai Zamrud. Sedangkan dari pernikahan dengan Nyai Sa’diyah binti Kiai Kriyan, Kiai Abdul Jamil memperoleh keturunan: 1. Nyai Sakiroh, 2. Nyai Mandah, 3. Kiai Ahmad Zahid, 3. Nyai Sri (Enci), 4. Nyai Khalimah.

 

Silsilah nasab Kiai Abbas dari jalur ayah sampai kepada Sunan Gunung Jati yaitu: Kiai Abbas bin Kiai Abdul Jamil bin Kiai Mutta’ad bin Kiai Raden Muridin bin Kiai Raden Nuruddin bin Kiai Raden Ali bin Pangeran Punjul (Raden Bagus atau Pangeran Penghulu Kasepuhan) bin Pangeran Senopati (Pangeran Bagus) bin Pangeran Kebon Agung (Pangeran Sutajaya V) bin Pangeran Dalem Anom bin Pangeran Nata Manggala bin Pangeran Sutajaya Sedo ing Demung bin Pangeran Wirasutajaya (adik kandung Panembahan Ratu) bin Pangeran Dipati Anom (Pangeran Suwarga atau Pangeran Dalem Arya Cirebon) bin Pangeran Pasarean (Pangeran Muhammad Tajul Arifin) bin Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah Azmatkhan).

 

Berdasarkan silsilah nasab di atas, Kiai Abbas dan keluarga besar Pesantren Buntet pada umumnya masih memiliki keturunan bangsawan dari Jalur Sunan Gunung Jati atau Kesultanan Cirebon, baik dari jalur Kiai Muqayyim maupun Kiai Mutta’ad. Namun sejak masa Kiai Abdul Jamil memimpin Pesantren Buntet gelar kebangsawanan tidak lagi digunakan, hal ini untuk menghilangkan sekat perbedaan dengan masyarakat umum.

 

Riwayat Pendidikan

 

Sejak kecil, Kiai Abbas adalah seorang santri yang gemar menggali ilmu pengetahuan dari berbagai pesantren. Awalnya Kiai Abbas mendapat pengajaran dari ayahnya sendiri, Kiai Abdul Jamil. Setelah beberapa tahun berada dalam bimbingan ayahnya, Kiai Abbas melanjutkan pendidikan ke Pesantren Sukanasari Plered Cirebon yang diasuh oleh Kiai Nasuha. Setelah itu, ia melanjutkan ke Pesantren Jatisari yang diasuh Kiai Hasan, lalu ke Pesantren Giren di Tegal Jawa Tengah di bawah asuhan Kiai Ubaidah. Kemudian atas perintah ayahnya, Kiai Abbas bersama Kiai Annas (adiknya) melanjutkan pendidikan ke Pesantren Tebuireng Jombang yang saat itu baru berdiri di bawah asuhan Kiai Hasyim Asy’ari. Bahkan Kiai Abbas turut membantu masa-masa awal berdirinya Pesantren Tebuireng, terutama melalui kemampuan bela diri dan kedigdayaannya dalam menghadapi para pemberontak yang tidak suka dengan keberadaan Pesantren di Tebuireng.

 

Kiai Abbas merupakan santri generasi pertama Pesantren Tebuireng sekaligus santri yang tempat asalnya paling jauh. Kedekatan Kiai Abbas dengan Kiai Hasyim Asy’ari sesungguhnya meneruskan kedekatan ayahnya, Kiai Abdul Jamil, dengan Kiai Hasyim Asy’ari, saat keduanya pernah sama-sama berada di Tanah Suci (Mekkah). Bahkan, Kiai Abdul Jamil merupakan orang yang turut mendorong Kiai Hasyim Asy’ari agar sepulang dari belajar di Tanah Suci (Mekkah) segera mendirikan pesantren sendiri, dan ia siap mensupport dengan mengirimkan puteranya (Kiai Abbas dan Kiai Anas) untuk membantu sekaligus menjadi santri pertamanya. Hal ini karena Kiai Abdul Jamil yang dari aspek usia lebih senior dari Kiai Hasyim Asy’ari, melihat kemampuan Kiai Hasyim Asy’ari yang meski usianya masih cukup muda tetapi memiliki kecerdasan dan ilmu yang sangat matang dan mendalam. Di Pesantren Tebuireng Kiai Abbas bersahabat dengan santri-santri lain dari generasi pertama, seperti Kiai Abdul Wahab Hasbullah dan Kiai Abdul Karim Manab. Bahkan saat sahabatnya, Kiai Abdul Karim Manab, merintis berdirinya pesantren Lirboyo, Kiai Abbas turut membantu.

 

Selesai menimba ilmu di Pesantren Tebuireng, Kiai Abbas dinikahkan oleh ayahnya dengan Nyai Mini Chafidzoh puteri Kiai Manshur bin Kiai Sholeh Zamzam dari Pesantren Bendakerep. Dari pernikahan ini Kiai Abbas dikaruniai 4 orang anak, yaitu: 1. Kiai Mustahdi, 2. Kiai Mustamid, Kiai Abdul Rozak, 4. Nyai Sumaryam. Setelah Nyai Mini Chofidzoh wafat, Kiai Abbas menikah lagi dengan Nyai I’anah, puteri dari pamannya, Kiai Abdul Mun’im. Dari pernikahan itu Kiai Abbas dikaruniai 6 orang anak, yaitu: 1. Kiai Abdullah Abbas, 2. Nyai Maimunah, 3. Nyai Qismatul Maula, 4. Kiai Nahduddin, 5. Nyai Sukaenah, 6. Nyai Munawaroh.

 

Setelah menikah, Kiai Abbas melanjutkan belajarnya di Tanah Suci Mekkah, guna memperdalam lagi ilmu yang telah dimiliki sekaligus menunaikan haji. Di Mekkah ia belajar satu angkatan dengan Kiai Bakir dari Yogyakarta, Kiai ‘Abdullah dari Surabaya, dan Kiai Wahab Hasbullah dari Jombang. Selama berada di Tanah Suci, ia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Ahmad Zubaidi, dan Syekh Machfudz al-Turmusi. Sepulang dari Tanah Suci, Kiai Abbas ikut mengabdi membantu ayahnya dalam mengemban amanah sebagai sesepuh Pondok Pesantren Buntet. Setelah ayahnya wafat, tongkat estafet kepemimpinan Pondok Pesantren Buntet dipegang oleh Kiai Abbas.

 

Kiprah dan Perjuangan Kebangsaan

 

Pendidikan: Pembaruan Pesantren Buntet

 

Pada masa kepemimpinan Kiai Abbas, sistem pendidikan di Pesantren Buntet mulai dikembangkan seiring tuntutan zaman, tidak hanya menggunakan metode bandongan dan sorogan yang merupakan tradisi awal pesantren, tetapi juga mulai diperkenalkan sistem pendidikan dengan metode halaqah (seminar) dan madrasi (kelas).  Selain itu, pada tahun 1928 bertepatan dengan peristiwa Sumpah Pemuda, Kiai Abbas membuat inovasi baru di dunia pesantren, yaitu mendirikan Madrasah “Abna’ul Wathan (Wathaniyah)” yang di dalamnya diajarkan ilmu-ilmu umum selain ilmu agama, seperti Ilmu Hisab (Aritmatika), al-Jughrafiyah (Geografi), al-Lughah al-Wathaniyah (Bahasa Indonesia), Ilmu at-Thabi’iyyah (Ilmu Alam) dan Tarikh al-Wathan (Sejarah Kebangsan). Pemilihan nama “Abna’ul Wathan (Wathaniyah)” oleh Kiai Abbas yang berarti “tunas-tunas bangsa (kebangsaan)” untuk madrasah yang didirikannya itu menegaskan bahwa Kiai Abbas merupakan sosok kiai yang memiliki wawasan, komitmen dan cita-cita kebangsaan. Madrasah tersebut hingga saat ini keberadaannya masih eksis di Pesantren Buntet.

 

Salah satu pemikiran Kiai Abbas yang cukup terkenal dan telah mengubah paradigma pengelolaan pesantren saat itu adalah, ia menggambarkan pesantren laksana “pasar”. Menurutnya, baik pesantren maupun pasar keduanya harus bisa melayani siapa saja yang datang tanpa memandang jenis kelamin, domisili, usia, status sosial, latar belakang, dan lain-lain. Di samping itu jenis kebutuhan para santri pun tidak sama. Orang datang ke pasar karena butuh beras, daging, terigu, sayuran, cabai, garam, dan lain-lain. Begitu pula orang datang ke pesantren butuh ilmu qira’at, ilmu fikih, ilmu tauhid, ilmu tafsir dan sebagainya. Oleh karena itu ia menganjurkan kepada semua kiai yang menguasai ilmu tersebut harus mampu melayani santri yang datang. Gambaran seperti itulah yang sering disampaikan Kiai Abbas kepada keluarganya. Hal tersebut dimaksudkan untuk merangsang mereka supaya sama-sama berperan aktif dalam berkiprah di Pesantren Buntet untuk meneruskan perjuangan leluhurnya. Dengan strategi inilah Kiai Abbas berhasil menyamakan persepsi keluarganya dalam mengembangkan pesantren. Langkah Kiai Abbas berikutnya adalah memobilisasi keluarga kemudian melaksanakan pembagian tugas sesuai dengan kemampuan masing-masing.

 

Bela Negara: Membentuk Barisan Pejuang Laskar Santri

 

Sejak masa penjajahan, selain berkomitmen mengembangkan pendidikan masyarakat melalui Pesantren Buntet yang diasuhnya, Kiai Abbas juga concern melatih mental dan fisik para santri serta masyarakat melalui keterampilan bela diri. Hal ini menjadi modal penting bagi para santri dan masyarakat untuk ikut berjuang membela negerinya dari kaum penjajah di masa-masa revolusi fisik.

 

Pada masa kepemimpinan Kiai Abbas, Pesantren Buntet menjadi basis penting bagi laskar-laskar jihad, seperti barisan Hizbullah, Sabilillah, PETA (Pembela Tanah Air), terutama pasca Proklamasi 1945. Selain itu, ia juga secara khusus membentuk regu laskar santri bernama Asybal (berarti: singa kecil) yang berfungsi sebagai “telik sandi” atau semacam pasukan inteligen. Asybal diisi oleh para remaja berusia di bawah 17 tahun yang sengaja dibentuk sebagai pasukan pengintai, bertugas mengawasi jalan-jalan yang mungkin dilalui musuh (dari arah mana musuh datang, dengan memakai kendaraan apa musuh datang) serta bertugas sebagai penghubung yang membawa informasi dari satu kesatuan kepada kesatuan yang lainnya. Sebagai pimpinan Asybal pada waktu itu adalah: Kiai Nahduddin Abbas (Komandan, putera bungsu Kiai Abbas), Kiai Mohammad Faqihuddin (Wadan), Mohammad Hisyam Mansyur (Dan Kie I), Kiai Fachruddin (Dan Kie II), Kiai Hasyim Halawi (Dan Kie III), Kiai Muayyad Qosim (Dan Kie IV).

 

Menjelang terjadinya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Kiai Abbas juga sudah mulai memobilisasi massa, terutama dari kalangan santri. Ia memberikan komando kepada mereka untuk ikut dalam barisan perjuangan rakyat Indonesia di Surabaya. Ia sendiri ikut terjun dalam kancah perang besar itu. Peristiwa bersejarah tersebut merupakan efek dari Fatwa Jihad yang digagas oleh gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari bersama para kiai lain beberapa hari sebelumnya dalam sebuah pertemuan NU di Surabaya di mana Kiai Abbas juga turut hadir di dalamnya.

 

Perang Surabaya 1945: Menjaga Kedaulatan Negara

 

Pasca kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, segenap elemen bangsa, tak terkecuali ulama dan santri, secara moral mereka utuh dan memiliki semangat yang sama mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sehingga, ketika Tentara Sekutu dan NICA mendarat lagi di Jakarta, Semarang, Surabaya dan Sumatera pada tanggal 29 September 1945, perang revolusi kemerdekaan pun tidak dapat dihindari. Demi membela tanah air dan kedaulatan negara yang sudah merdeka, maka pada 17 September 1945 Fatwa Jihad pun ditandatangani oleh Kiai Hasyim Asy’ari, yang kemudian dikukuhkan dalam rapat para kiai NU se-Jawa dan Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 yang dikenal dengan Resolusi Jihad.

 

Perang 10 November 1945 adalah potret kepahlawanan para pemuda rakyat Indonesia bersama barisan ulama dan santri. Di balik semangat juang para pemuda, ulama dan santri itu, ada tokoh penting dari Cirebon, yakni Kiai Abbas, yang ikut terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya beserta ribuan laskar Hizbullah dari santri seluruh Jawa Barat. Tidak hanya itu, ia juga mengirimkan santri-santrinya yang tergabung dalam laskar Hizbullah ke berbagai daerah seperti Jakarta, Bekasi, Jawa Barat bagian Timur (Priyangan Timur), Cianjur dan daerah-daerah lainnya untuk melakukan perlawanan terhadap Tentara Sekutu yang ingin menjajah kembali Indonesia.

 

Bergabungnya Kiai Abbas dari Pesantren Buntet dalam pertempuran di Surabaya itu atas undangan gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari. Bahkan saat Bung Tomo menyampaikan rencananya kepada Kiai Hasyim Asy’ari ingin memulai pertempuran sebelum tanggal 10 November, Kiai Hasyim Asy’ari menyarankan agar pertempuran dimulai setelah Kiai Abbas dari Cirebon datang sebagai komandan tertinggi pasukan laskar Hizbullah. Hal ini karena Kiai Abbas adalah ulama yang sudah dikenal luas memiliki karamah atau “kesaktian” luar biasa yang sangat dibutuhkan dalam pertempuran, sehingga karenanya Kiai Abbas oleh gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari, disebut “Singa dari Jawa Barat”.

 

Pentingnya peran Kiai Abbas dalam peristiwa 10 November 1945 itu juga pernah disampaikan dalam pidato mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo pada upacara peresmian Hari Santri Nasional 22 Oktober 2015 di Tugu Proklamasi, Jakarta:

 

“Saya ingin pula menceritakan, bahwa sebenarnya perlawanan secara heroik rencananya bukan dilaksanakan tanggal 10, tetapi lebih awal. Jadi pada saat itu Kiai Hasyim Asy’ari menyampaikan, ‘kita tunda, kita menunggu ‘Singa Jawa Barat’, yaitu Kiai Abbas bin Abdul Jamil. Ia adalah cicit dari Mbah Muqoyyim, pendiri pesantren Buntet Cirebon. Dan Kiai Hasyim Asyari juga memerintahkan, setelah Kiai Abbas bin Abdul Jamil datang, komando tertinggi Laskar Hizbullah diserahkan untuk memimpin langsung penyerangan sekutu di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Pengaruh Kiai Abbas yang kuat membuat keputusan Kiai Hasyim Asyari mengundurkan waktu, sangat tepat. Sehingga terjadilah pertempuran yang sangat heroik yang kita kenal hari ini sebagai hari pahlawan. Hari ini mempunyai makna yang bisa kita petik, bahwa peristiwa tersebut, bahwa perjuangan mempertahankan kedaulatan negara berdimensi lintas etnis dan lintas wilayah. Siapapun dan di manapun mempunyai kewajiban yang sama membela bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

 

Politik Kebangsaan dan Pergerakan NU

 

Pada masa-masa awal revolusi kemerdekaan, Kiai Abbas tercatat pernah terlibat dalam urusan politik negara. Ia sempat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang menjadi cikal bakal lembaga parlemen saat ini, mewakili konstituen Jawa Barat. Kiai Abbas juga turut aktif dalam pergerakan Nahdlatul Ulama (NU), di sini jabatannya adalah anggota Dewan Mustasyar Pusat dan Rais A'am Syuriah NU Jawa Barat.

 

Relasi guru-murid antara Kiai Abbas dan Kiai Hasyim Asy’ari yang terbangun sejak awal berdirinya Pesantren Tebuireng, telah menjadikan Kiai Abbas turut serta menjadi tokoh penggerak NU. Keberadaan Kiai Abbas dan Pesantren Buntet tidak bisa dipisahkan dari perkembangan NU di Jawa Barat. Pesantren Buntet telah menjadi pusat pengembangan NU masa-masa awal di Jawa Barat. Karena itulah maka pada 12 Rabiuts Tsani 1350/27 Agustus tahun 1931, Buntet Pesantren menjadi lokasi digelarnya Muktamar NU ke-6. Pada tahun 1938, Kiai Abbas juga turut hadir sebagai utusan Syuriah NU Cirebon dalam Mukmatar NU di Menes, Banten. Demikian pula pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya tahun 1940. Kiprah Kiai Abbas sebagai tokoh penggerak NU juga diikuti oleh putera-puteranya yang juga menjadi tokoh-tokoh penting di lingkungan NU maupun politik pemerintahan, seperti Kiai Mustahdi Abbas, Kiai Mustamid Abbas, Kiai Abdullah Abbas dan Kiai Nahduddin Abbas.

 

Selain itu, Kiai Abbas juga bergaul akrab dengan beberapa tokoh bangsa, baik dari kalangan muslim maupun nasionalis, seperti Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Ridwan Abdullah (alumni Pesantren Buntet masa kepemimpinan Kiai Abdul Jamil; pencipta lambang NU), juga tokoh-tokoh lainnya seperti H. Samanhudi (Pendiri SDI, alumni Pesantren Buntet), HOS. Tjokroaminoto, Ki Hajar Dewantoro dan Dr Soetomo. Pada masa perkembangan Sarekat Islam (SI), Kiai Abbas juga pernah menjabat sebagai ketua hukum atau syuriah dalam struktur Sarekat Islam. Di masa penjajahan Jepang, Kiai Abbas juga disebutkan pernah menjabat sebagai anggota Tjuo Sangilin (semacam Dewan Legislatif Pusat) juga sebagai anggota Syuu Sangikai (Dewan Legislatif Daerah). Namun meski sebagai anggota dewan, ia selalu menentang kebijakan Jepang yang bertentangan dengan akidah Islam dan kepentingan bangsanya. 

 

Pengembang Tarekat Syattariyah dan Tijaniyah

 

Tarekat Syattariyah adalah tarekat yang muncul pertama kali di India pada abad ke-15 yang namanya dinisbatkan kepada nama pendirinya, Syekh Abdullah asy-Syattar (wafat tahun 1485). Garis nasab Syekh Abdullah asy-Syattar bersambung kepada Rasulullah SAW melalui jalur Imam Hasan bin ‘Ali. Sedangkan Tarekat Tijaniyah muncul pada tahun 1195 H/1781 M di Fes, Maroko, Afrika Utara. Pendirinya adalah Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Salim al-Tijani. Ia lahir di 'Ain Madi, sebuah desa di Aljazair, tahun 1150 H/ 1737 M dan meninggal dunia pada 1230 H/ 1815 M.

 

Tarekat Syattariyah di Cirebon pada mulanya berkembang hanya di lingkungan Kesultanan Cirebon. Beberapa orang dari kalangan bangsawan kemudian meninggalkan keraton dan mendirikan pesantren-pesantren di sekitar wilayah Cirebon, sebagaimana yang dilakukan oleh Kiai Muqayyim. Pusat-pusat Tarekat Syattariyah di Cirebon pada saat itu (masa kolonial abad ke 17-19) yang bermula dari Keraton Cirebon kemudian beralih ke pesantren-pesantren yang berada di wilayah Cirebon, termasuk Pesantren Buntet yang didirikan oleh Kiai Muqayyim. Sebagai seorang mufti keraton sekaligus mursyid Tarekat Syattariyah, Kiai Muqayyim mendapat sanad Tarekat Syattariyah dari Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan (1650-1730). Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan sendiri mendapatkan sanad Tarekat Syattariyah dari Syaikh Abdurrauf as-Sinkili saat keduanya bertemu di Aceh pada tahun 1669 dalam perjalanannya menuju Mekkah. Menurut Agus Sunyoto, masuknya Tarekat Syattariyah di Cirebon pertama kali dibawa oleh Syekh Idhofi Mahdi atau Syekh Dzatul Kahfi atau Syekh Nurjati pada tahun 1420.

 

Perkembangan tarekat di Cirebon pada tahun 1919-1946 M tidak bisa dilepaskan dari peran Kiai Abbas. Pada masa Kiai Abbas, Tarekat Syattariyah dan Tarekat Tijaniyah mengalami perkembangan yang pesat. Kiai Abbas sendiri adalah seorang mursyid Tarekat Syattariyah yang sanadnya diperoleh dari ayahnya, Kiai Abdul Jamil. Namun seiring berjalannya waktu Kiai Abbas juga menjadi seorang muqaddam Tarekat Tijaniyah bersama saudaranya, Kiai Anas dan Kiai Akyas. Dari Pesantren Buntet Kiai Abbas telah berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah dan Tarekat Tijaniyah, hal ini dapat dilihat dari tersebar luasnya Tarekat Syattariyah dan Tarekat Tijaniyah sampai ke berbagai pelosok Tanah Air. Banyak murid yang berasal dari Cirebon maupun dari luar Cirebon yang telah diangkat oleh Kiai Abbas menjadi seorang mursyid.

 

Berkaitan dengan awal perkembangan Tarekat Tijaniyah di Indonesia, Kiai Abbas merupakan salah satu dari “Tujuh Kiai Besar” yang menjadi muqaddam utama Tarekat Tijaniyah yang diangkat langsung oleh muqaddam Tarekat Tijaniyah dari Madinah, Syekh Ali ibn Abdullah ath-Thayyib al-Madani pada tahun 1920-an. Tujuh muqaddam utama Tarekat Tijaniyah itu adalah Syekh Ali ibn Abdullah ath-Thayyib al-Madani yang kemudian menetap di Bogor, Kiai Asy’ari Bunyamin Garut, Kiai Badruzzaman Garut, Kiai Utsman Damiri Cimahi (Bandung), dan tiga bersaudara dari Buntet Pesantren: Kiai Abbas, Kiai Anas, dan Kiai Akyas.

 

Wafat

 

Setelah sekian lama berkiprah dan berjuang mengabdikan diri untuk agama, nusa dan bangsa, Kiai Abbas wafat pada tanggal 1 Robiul Awal 1365 H/1946 M. Pada saat upacara pemakaman, orang yang mengumandangkan adzan adalah Tubagus Nafi’ dari Banten dan yang membacakan isyhad adalah Kiai Zain (adik sepupu Kiai Abbas, putera Kiai Abdul Mun’im, kakek dari isteri penulis, Ratu Bilqis, dari jalur ibu). 

 

Hingga akhir hayatnya, Kiai Abbas merupakan sosok kiai yang aktif dalam perjuangan kebangsaan baik di bidang pendidikan, sosial, politik dan keagamaan. Wafatnya Kiai Abbas bertepatan dengan ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati yang saat itu banyak disesalkan sejumlah tokoh termasuk Kiai Abbas sendiri karena dianggap merugikan bangsa Indonesia. Terkait berita wafatnya Kiai Abbas, pihak Belanda sempat tidak percaya, hingga pada hari Idul Fitri konon Belanda mencari kebenaran berita tersebut, hingga mendatangi makam Kiai Abbas dan berniat untuk membongkarnya. Namun, berkat siasat keluarga, upaya itu berhasil digagalkan. Makam Kiai Abbas terletak di Makbaroh Gajah Ngambung, Buntet Pesantren. Hingga kini makam tersebut selalu ramai dikunjungi keluarga, santri, alumni, dan para peziarah dari berbagai daerah. [ ] Wallahu A’lam bis Shawab.


Sumber dan Bahan Bacaan:

  • Achmad, R.S. Surabaya Bergolak. Jakarta: Haji Masagung, 1990.
  • ANRI. “Penetapan Presiden RI Panglima Tertinggi Angkatan Perang Tanggal 5 Mei 1947 tentang Penyatuan  Tentara RI dan Laskar-laskarnya Menjadi Satu Organisasi Tentara”. Arsip, RA. 24 No. 1261.
  • Anonim. “60 Miljoen Kaoem Moeslimin Indonesia Siap Berjihad Fi Sabilillah: Perang di Djalan Allah oentoek Menentang Tiap-Tiap Pendjadjahan”. Kedaulatan Rakyat, 8 November (1945), 1.
  • Hoofdbestuur (H.B) Nahdlatoel Oelama, “Resoloesi Djihad fi – Sabilillah”. Arsip, 22 Oktober (1945).
  • Mansyur, M. Hisyam., dan MS. Amak Ahmadi Bakri. Sekilas Lintas Sejarah Buntet Pesantren Mertapada Kulon. 1973.
  • Syamsu, B. “Sekelumit Riwayat Al-Mukarrom Alm. Bapak Kiai H. Abbas Pimpinan Pondok Pesantren Buntet Kabupaten Cirebon ke Peristiwa Perang Kemerdekaan RI di Kota Surabaya 10 Nopember 1945.” Dokumen, 9 Agustus (1995).
  • Tomo, Bung (Sutomo). Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian & Pengalaman Seorang Aktor Sejarah. Cetakan kedua. Jakarta: Visi Media, 2008.
  • Ayuhanafiq. Garis Depan Pertempuran Lasykar Hizbullah 1945- 1950. Yogyakarta: Azzagrafika, 2013.
  • Aziz, Munawir. Pahlawan Santri Tulang Punggung Pergerakan Nasional. Jakarta: Pustaka Compass, 2016.
  • Bizawie, Zainul Milal. Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad garda depan menegakkan Indonesia (1945-1949). Tangerang: Pustaka Compass, 2014.
  • _________________________. Masterpiece Islam Nusantara Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945). Jakarta: Pustaka Compass, 2016.
  • Bustami, Abdul Latif., dan Tim Sejarawan Tebuireng. Resolusi Jihad Perjuangan Ulama: Dari Menegakkan Agama Hingga Negara. Jombang: Pustaka Tebuireng, 2015.
  • Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Study Tentang Cara Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1982.
  • Muhaimin,  A.G.   The   Islamic   Traditions   Of   Cirebon  Ibadat and Adat Amongs Javanese Muslims. Disertasi Doctor, Australia: ANU E Press, 1995.
  • Dosen-dosen IAIN Syekh Nujati Cirebon. Pondok Pesantren Di Wilayah III Cirebon. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014.
  • El-Guyanie, Gugun. Resolusi Jihad Paling Syar’i. Yogyakarta: PT LkiS Printing Cemerlang, 2010.
  • El-Kayyis, Isno. Perjuangan Laskar Hizbullah di Jawa Timur. Jombang: Pustaka Tebuireng, 2015.
  • Hadi, Munib Rowandi Amsal. Kisah-kisah Dari Buntet Pesantren. Cirebon: Kalam, 2012.
  • Hasan, Ahmad Zaini. Perlawanan dari Tanah Pengasingan: Kiai Abbas, Pesantren Buntet dan Bela Negara. Yogyakarta: LKiS, 2014.
  • Suratmin. Perjuangan Laskar Hizbullah dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Yogyakarta: Matapadi Presindo, 2017.
  • Baharsyah, Erik S. “Peran Kiai Abbas Buntet Cirebon dalam Pertempuran Surabaya 1945”. Skripsi. Jurusan SPI UIN Syahid Jakarta, 2018.
  • Situs Online Pesantren Tebuireng.
  • Situs Online Pesantren Buntet.
  • Situs Online PWNU Jawa Barat.
  • Wawancara dengan Kiai Khalid al-Batthal (cicit Kiai Abbas) dan keluarga Buntet Pesantren.

Kamis, 24 April 2025

Khutbah Jum'at: Menggali Inspirasi dan Semangat Beragama Kartini


Khutbah I

الحمدُ للهِ الذي أنزلَ على عبدِه الكتابَ، أظهرَ الحقَّ بالحقِّ وأخزى الأحزابَ، وأتمَّ نورَه وجعلَ كيدَ الكافرينَ في تَبابٍ، وأشهدُ أن لا إلهَ إلاَّ اللهُ العزيزُ الوهّابُ، وأشهدُ أنَّ سيّدَنا محمّدًا عبدُه ورسولُه المستغفِرُ التوّابُ، قُدوةُ الأُممِ ودُرّةُ المقرّبينَ والأحبابِ، اللهم صلِّ وسلِّمْ وباركْ على سيّدنا محمّد وعلى الآلِ والأصحابِ، أمَّا بعدُ فيا عبادَ اللهِ - اتقوا اللهَ حقَّ التقوَى، وراقبوهُ في السرِّ والنجوَى، قال ربُّكُم سبحانه في كتابِه آمرًا عبادَه بالتقوَى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ﴾

Hadirin sidang Jum’at rahimakumullah,

Kemarin, tepatnya tanggal 21 April, sebagaimana sudah sangat masyhur dan kita ketahui bersama, setiap tahun di republik ini secara rutin diperingati sebagai Hari Kartini, seorang tokoh pejuang kaum perempuan pada masa perjuangan kemerdekaan. Masa hidup RA Kartini sebenarnya tidaklah lama, karena ia wafat di usia 25 tahun. Namun, dalam masa hidup yang cukup singkat itu, namanya tetap harum dan hidup sampai sekarang. Meski berbeda usia, RA Kartini pernah hidup semasa dengan Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri NU. RA Kartini lahir pada tahun 1879, sedangkan Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari lahir 8 tahun sebelumnya, yakni tahun 1871. Sehingga tidak aneh, sebagaimana Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan (tokoh pendiri Muhammadiyah), termasuk para kiai lainnya di masa itu, RA Kartini juga sempat berguru kepada satu guru yang sama, yaitu kepada seorang kiai besar yang dijuluki sebagai “Guru Ulama Jawa”, yakni Kiai Sholeh Darat.         

Hadirin yang dirahmati Allah,

Kartini adalah cucu dari seorang pemuka agama dari Telukawur, Jepara, yakni Kiai Madirono. Putri Kiai Madirono yang bernama M.A. Ngasirah menikah dengan Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Dari pernikahan putri Kiai Madirono dan Bupati Jepara itulah lahir Raden Adjeng Kartini. Semangat perjuangan, spiritualitas dan pola pikir Kartini terbentuk ketika ia mulai belajar ngaji kepada Kiai Sholeh Darat. Sebelumnya, kegelisahan demi kegelisahan selalu muncul di benak Kartini setiap kali menyaksikan masyarakatnya yang hanya diperbolehkan dan mampu membaca Al-Qur’an tetapi tidak pernah diajarkan untuk memahami maknanya pada zaman itu. Sehingga, dalam salah satu surat yang ia kirimkan kepada sahabatnya, Stella Zihandelaar, bertanggal 6 November 1899, Kartini menuliskan kegelisahannya:

“Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Dalam pandanganku Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena kebetulan nenek moyangku beragama Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahami isi kitab sucinya? Al-Qur’an terlalu suci; seolah tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun agar bisa dipahami oleh setiap umatnya. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Qur’an. Di sini, orang hanya belajar membaca Al-Qur’an tapi tidak memahami apa yang dibaca.” demikian salah satu ungkapan kegelisahan Kartini yang muncul dari semangat dan kecerdasan pikirannya padahal usianya saat itu masih cukup belia.

Sampai akhirnya, Kartini bertemu dengan Kiai Sholeh Darat untuk belajar mengaji dan menanyakan berbagai hal yang menjadi kegelisahannya, khususnya terkait tidak diperbolehkannya masyarakat memahami isi dan makna Al-Qur’an. Ternyata, berdasarkan fakta sejarah, larangan ini datang dari penjajah Belanda karena menganggap jika masyarakat memahami makna Al-Qur’an, maka jiwa dan semangat untuk merdeka akan tumbuh dalam diri mereka. Tentu hal ini dapat mengancam eksistensi kolonial Belanda itu sendiri. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa tidak banyak ulama saat itu yang menerjemahkan Al-Qur’an, bukan karena tidak mau atau tidak mampu, tetapi karena harus berhati-hati dengan kebijakan Belanda itu.

Sidang Jum’at rahimakumullah,

Pertemuan antara Kartini dengan Kiai Sholeh Darat memang tidak pernah diceritakan oleh Kartini di setiap catatan surat-suratnya yang dikirim kepada sahabatnya. Hal ini karena Kartini sendiri mengkhawatirkan keselamatan Kiai Sholeh Darat, sebab tidak tertutup kemungkinan kaum kolonial akan mengetahuinya. Pertemuan pertama Kartini dengan Kiai Sholel Darat terjadi dalam suatu acara pengajian di rumah Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga masih merupakan pamannya. Saat itu Kiai Sholeh Darat sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. Kartini menjadi amat tertarik dengan Kiai Sholeh Darat. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kiai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang kiai. Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya mampu sebatas membaca surat Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.

Setelah pengajian selesai, Kartini memberanikan diri mengajukan pertanyaan kepada Kiai Sholeh. “Kiai, perkenankan saya bertanya, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu menyembunyikan ilmunya?”. Kiai Sholeh tertegun. “Mengapa Raden Adjeng bertanya demikian?”, Kiai Sholeh balik bertanya. “Kiai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al-Fatihah, surat pertama yang menjadi induk Al-Qur’an. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini. Kiai Sholeh kembali tertegun. Sang guru seolah tak punya kata-kata untuk menyela. Kartini melanjutkan, “Aku hanya heran mengapa selama ini para ulama tidak melakukan penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al-Qur’an ini adalah bimbingan agar hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”. Kiai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali berucap “Subhanallah”. Kartini telah menggugah kesadaran Kiai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; yakni menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa.

Dalam pertemuan itu, Kartini meminta kepada Kiai Sholeh Darat agar Al-Qur’an diterjemahkan. Meskipun pada saat itu penjajah Belanda melarang penerjemahan Al-Qur’an, namun Kiai Sholeh Darat tetap melakukannya. Beliau menerjemahkan Al-Qur’an dengan ditulis menggunakan huruf “Arab Pegon” (sebagaimana yang lazim digunakan di pondok-pondok pesantren) supaya tidak dicurigai dan dipahami penjajah. Kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur’an itu beliau beri nama Kitab Faidhur-Rohman fi Tafsiri Ayatil Qur’an, dan menjadi kitab tafsir al-Qur’an pertama di Asia Tenggara yang menggunakan bahasa Jawa dengan aksara huruf “Arab Pegon”. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada RA Kartini pada saat dia menikah dengan RM Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang.  Kartini amat menyukai hadiah kitab itu dan mengatakan: “Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari  ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kiai Sholeh telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami.”

Melalui terjemahan Kiai Sholeh Darat itulah Kartini menemukan satu ayat yang amat menyentuh nuraninya, yaitu pada ayat (QS. Al-Baqarah: 257):

ٱللَّهُ وَلِىُّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا يُخْرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَـٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ

“Allah adalah penolong bagi orang-orang beriman, yang senantiasa membimbing mereka dari gelap menuju cahaya.”

Dalam sejumlah surat-suratnya yang dikirim kepada sahabatnya, Kartini banyak mengulang kata-kata “dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda, Door Duisternis Toot Licht. Ungkapan inilah yang akhirnya masyhur sampai sekarang dengan diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Dari perjumpaannya dengan Kiai Sholeh Darat itu, Kartini banyak memahami kondisi kehidupan masyarakat yang selama ini terkungkung akibat penjajahan, sehingga banyak memunculkan sikap inferioritas (atau rendah diri) terutama di kalangan perempuan. Keterbukaan pandangan dan pemikiran Kartini dari hasil belajar kepada Kiai Sholeh Darat inilah yang membuat langkahnya semakin mantap untuk mengubah tatanan sosial kaum perempuan dan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Demikian khutbah ini disampaikan, semoga memberikan inspirasi dan semangat positif bagi kita sekalian, terutama dalam menumbuhkan semangat beragama dan kecintaan kita mempelajari al-Qur’an dan ajaran Islam dari para kiai dan guru-guru kita. 

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah II

الحمد لله ذي الجلال والإكرام حي لا يموت قيوم لا ينام، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك الحليم العظيم الملك العلام، وأشهد أن نبينا محمدًا عبده ورسوله سيد الأنام والداعي إلى دار السلام. أما بعد: فيأيّها الناس اتّقوا الله، وافعلوا الخيرات واجتنبوا عن السيئات، واعلموا أنَّ الله أمَركم بأمرٍ بدأ فيه بنفسه وثـنّى بملآئكته بقدسه, وقال تعالى: إنَّ الله وملآئكته يصلّون على النبى يآأيها الذين آمنوا صلّوا عليه وسلّموا تسليما. اللهمّ صلّ على سيدنا محمد وعلى أنبيآئك ورُسُلِك وملآئكتِك المقرّبين, وارضَ اللهمّ عن الخلفاء الراشدين أبي بكر وعمر وعثمان وعليّ وعن بقيّة الصحابة والتابعين وتابعي التابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين, وارض عنّا معهم برحمتك ياأرحم الراحمين

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوات. اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُوْمًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْمًا. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَ كُلاًّ مِنَّا لِسَانًا صَادِقًا ذَاكِرًا، وَقَلْبًا خَاشِعًا مُنِيْبًا، وَعَمَلاً صَالِحًا زَاكِيًا، وَعِلْمًا نَافِعًا رَافِعًا، وَإِيْمَانًا رَاسِخًا ثَابِتًا، وَيَقِيْنًا صَادِقًا خَالِصًا، وَرِزْقًا حَلاَلاً طَيِّبًا وَاسِعًا، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ. ربّنا آتنا في الدّنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النّار. والحمد لله رب العالمين. عبادالله، إنّ الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلّكم تذكّرون. فاذكروا الله العظيم يذكركم واشكروه على نعمه يزدكم واسئلوه من فضله يعطكم ولذكرالله اكبر.

 


Rabu, 22 Januari 2025

Naskah Khutbah Jum'at: "Mengkaji Bulan Rajab"

Khutbah Pertama:

الحمد لله ربّ الأرض وربّ السمآء. نحمده تبارك وتعالى على النعمآء والسرّآء. ونستعينه على البأسآء والضرّآء. ونعوذ بنور وجهه الكريم من جهد البلآء, ودرك الشقآء, وشماتة الأعدآء. أشهد أن لا إله إلا الله وحده ليس له أندادا ولا أشباه ولا شركآء. وأشهد أن سيدنا محمدا خاتم الرسل والأنبيآء. اللهم صل وسلم وبارك عليه وعلى آله وصحابته الأجلآء. أمّا بعد, فيا عبادَ الله أُوصِيكم ونفسي بتقوى الله وطاعتِه لعلّكم تُفلِحون.

Hadirin sidang Jum’at rahimakumulllah, 

Saat ini kita telah berada di minggu terakhir bulan Rajab, salah satu bulan yang dalam Islam sering disebut al-asyhur al-fadhilah (bulan yang sangat utama) di samping dzulhijjah, muharram dan sya’ban, disebut juga al-asyhur al-hurum (bulan yang dimuliakan) selain dzulqa’dah, dzulhijjah dan muharram. Pada bulan ini terdapat beberapa peristiwa bersejarah yang patut diingat oleh umat Islam, di antaranya Sayyidah Siti Aminah mulai mengandung Nabi Muhammad SAW, terjadinya perang Tabuk (10 Rajab 9 H), ditaklukkannya Baitul Maqdis Palestina oleh Shalahuddin Al-Ayyubi (27 Rajab 583 H), wafatnya Imam Syafi'i (204 H dalam usia 54 Tahun) dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (101 H, dalam usia 39 Tahun), dan lahirnya Jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU) pada 16 Rajab 1344 H yang tahun ini genap berusia 102 tahun.

Pada bulan ini pula terdapat sebuah peristiwa maha penting dalam sejarah peradaban umat manusia, yakni Isra’ Mi’raj yang dialami oleh Rasulullah Muhammad SAW. Peristiwa ini terjadi pada 1400-an tahun yang silam. Isra’ Mi’raj merupakan sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa, di mana nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya akan tetap aktual dan abadi sepanjang masa. Maka adalah hal yang wajar jika kemudian peristiwa Isra’ Mi’raj itu selalu diperingati oleh umat Islam di berbagai penjuru dunia, serta dijadikan turning point untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai penting di dalamnya. Di dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman:

Native Banner 1سُبْحَـٰنَ ٱلَّذِى أَسْرَيٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَـٰرَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَـٰتِنَآ، إِنَّهُ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبِصِير

Artinya: Maha suci Allah yang telah mengisra'kan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang kami berkahi sekelilingnya, untuk kami tunjukkan kepadanya tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Kami. Sesungguhnya (Allah) Maha Mendengar dan Melihat.

Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah,

Bulan Rajab adalah bulan istimewa. Dalam kitab I‘anatut Thalibin (karangan Sayyid Abu Bakar Syatho, salah satu guru Kiai Hasyim Asy’ari saat menimba ilmu di Makkah), dijelaskan bahwa “Rajab” merupakan turunan dari kata “at-tarjib” (الترجيب) yang berarti mengagungkan atau memuliakan. Masyarakat Arab zaman dahulu memuliakan Rajab melebihi bulan lainnya. Rajab biasa juga disebut “al-ashabb” (الأصب) yang berarti “yang mengucur” atau “menetes”. Dijuluki demikian karena derasnya tetesan kebaikan pada bulan ini. Bulan Rajab juga dikenal dengan sebutan “al-ashamm” (الأصم) atau “yang tuli”, karena tidak terdengar gemerincing senjata pasukan perang pada bulan ini. Julukan lain untuk bulan Rajab adalah “ar-rajam” (الرجم) yang berarti “melempar”. Dinamakan demikian karena musuh dan setan-setan pada bulan ini dikutuk dan dilempari sehingga mereka tidak jadi menyakiti para wali dan orang-orang saleh.

Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Mengenai peristiwa Isra’ Mi’raj, apabila kita kaji, setidaknya ada 4 nilai penting yang dapat kita gali:

Pertamaperistiwa Isra’, yang berarti perjalanan Nabi dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina. Peristiwa itu memberikan isyarat kepada kita, bahwa manusia perlu membangun komunikasi sosial/horizontal. Pada peristiwa Isra’, perjalanan Nabi bersifat horizontal: dari bumi yang satu ke bumi lainnya, yang disimbolkan dari masjid ke masjid, yakni dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Maka, masjid yang merupakan “simbol” pusat kegiatan keagamaan umat Islam, harus pula ditransformasikan nilai-nilainya di tengah kehidupan sosial atau prilaku bermasyarakat secara nyata. Umat Islam harus mampu membangun relasi sosial (hablun minan-nas) yang harmonis di tengah-tengah kehidupannnya. Karena telah disebutkan sendiri oleh Nabi: al-dînu mu’amalah, bahwa agama itu salah satu inti ajarannya adalah bagaimana seseorang harus berinteraksi atau berhubungan secara baik dengan sesamanya.

Dengan kata lain, kualitas keislaman seseorang tidak cukup hanya diukur ketika ia berada di dalam masjid. Akan tetapi, bagaimana nilai-nilai ibadah dan kekhusyukan yang telah dilakukannya di dalam masjid itu, diwujudkan pula di luar masjid, yakni ketika berada di lingkungan kerja maupun di tengah-tengah masyarakatnya, melalui jalinan interaksi, silaturahmi dan komunikasi yang baik dengan sesama. Inilah yang disebut dengan “kesalehan sosial”. Sebab, tidak jarang sewaktu seseorang berada di dalam masjid ia tampak khusyuk beribadah, namun begitu keluar masjid, nilai-nilai kekhusyukan ibadahnya itu ia tanggalkan. Akibatnya, di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakatnya ia masih kerap melakukan prilaku-prilaku menyimpang, yang justeru bertentangan dengan nilai-nilai ibadah yang dilakukannya, seperti terus menerus melakukan kecurangan, penipuan, membicarakan aib dan kejelekan orang lain, menebar fitnah dan permusuhan, hingga memelihara perpecahan dan konflik berkepanjangan. Model beragama seperti itu jelas merupakan wujud keberagamaan yang semu. Karena salah satu wujud keberagamaan yang hakiki, ditandai dengan kemampuan seseorang menjalin komunikasi dan interaksi sosial yang baik dengan sesama, sesuai akhlak luhur yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Hal ini sebagaimana telah diajarkan pula oleh Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) dalam salah satu “piwulang” nya kepada Raden Sa’id (Sunan Kalijaga): “marsudi urip rukun, nuju nur alam cahyaning sejati” (bahwa menjalin hubungan baik dengan sesama, adalah wujud kematangan spiritual dan kesempurnaan iman seseorang).

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Kedua, peristiwa Mi’raj, di mana Nabi dari Masjidil Aqsha naik ke Sidratil Muntaha berjumpa langsung dengan Allah SWT. Perjalanan spiritual ini memberikan pelajaran penting bagi kita bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya harus melakukan upaya “transedensi”, yakni mendekatkan diri kepada Tuhannya: Allah SWT, agar terhindar dari jebakan-jebakan materi-duniawi yang seringkali membuat manusia kalap dan lupa diri.

Sebagai makhluk yang disebut homo religius, manusia harus mampu membangun relasi yang harmonis dengan Tuhannya. Dengan begitu, sifat Tuhan sebagai Dzat yang Maha Pengasih dan Sumber Kebaikan akan dapat diterjemahkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Nilai-nilai kejujuran harus terus ditegakkan untuk melawan segala bentuk penyimpangan. Kita tentunya sangat prihatin dan sedih ketika kejujuran tidak lagi dianggap penting. Fenomena “budaya” korupsi yang dilakukan semakin massif dan terang-terangan, adalah potret buram bagi bangsa kita. Fenomena ini telah menjalar di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang sarat dengan praktik-praktik manipulatif. Nilai falsafah Jawa yang menyatakan “sopo sing jujur bakale mujur” (orang yang jujur akan beruntung) telah dicampakkan sedemikian rupa, dan diganti dengan slogan “sopo sing jujur malah kajur” (orang yang jujur akan hancur). Padahal kita tahu, bahwa kejujuranlah yang akan membawa kita pada ketenangan dan kedamaian. Kita mungkin saja bisa membohongi puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan orang, namun, kita tidak akan bisa membohongi hati nurani kita sendiri, apalagi membohongi Allah SWT.

Ketiga, dalam peristiwa Mi’raj Nabi berjumpa langsung dengan Allah SWT. Peristiwa ini merupakan puncak pengalaman spiritual manusia sekaligus kenikmatan yang sangat agung dan tak tertandingi oleh nikmat-nikmat lainnya. Namun, di sinilah nampak sifat keluhuran dan ke-luar biasaan Rasulullah SAW, di mana setelah bertemu dengan Tuhannya, beliau justeru masih mau turun lagi ke dunia untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan demi keselamatan umatnya. Seandainya Nabi adalah orang yang egois dan hanya memikirkan kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri, niscaya beliau enggan untuk turun lagi ke dunia. Itulah bukti bahwa beliau adalah seorang manusia paripurna (insan kamil) sekaligus seorang sufi sejati, yang tidak hanya berpredikat shalih (memiliki kebaikan secara pribadi), tetapi juga seorang mushlih (yakni, orang yang memiliki kebaikan secara pribadi sekaligus mengupayakan orang lain agar menjadi baik).

Peristiwa ini mengajarkan kepada kita, bahwa kita tidak boleh terjebak pada kesalehan ritual-spiritual yang bersifat personal semata. Sebab kesalehan yang sejati adalah manakala seseorang bisa membangun relasi yang harmonis dan seimbang: baik antara dirinya sendiri dengan Tuhannya (hablun min Allah); antara dirinya dengan sesamanya (hablun min al-nas); maupun antara dirinya dengan alam dan lingkungan sekitarnya (hablun ma’a al-bi’ah).

Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,

Keempat, dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi mendapat perintah yang sangat penting berupa perintah shalat. Demikian pentingnya shalat, sehingga perintah itu diterima langsung oleh Nabi tanpa melalui perantara Malaikat Jibril. “Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menegakkan shalat berarti ia menegakkan agama, barang siapa yang meninggalkan shalat berarti ia menghancurkan agama”,  الصلاة عماد الدين فمن أقامها فقد أقام الدين ومن تركها فقد هدم الدين demikian sabda Nabi. Namun demikian, hal yang sesungguhnya paling penting adalah bagaimana kita mampu menjiwai dan menerapkan pesan-pesan moral yang terkandung dalam setiap ritual shalat itu. Jangan sampai kita memahami ibadah shalat hanya sebatas rutinitas dan “seremonial” belaka, tanpa disertai pemahaman tentang makna di dalamnya. Al-Qur’an menyebut orang-orang yang melakukan shalat sebagai “pendusta agama” dan bahkan dianggap celaka, manakala mereka melalaikan hikmah dan pesan-pesan moral yang terkandung di balik shalat yang dilakukannya, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Ma’un: 3-4:

فويل للمصلّين, الذين هم عن صلاتهم ساهون.

Jama’ah Jum’at yang berbahagia,

Shalat mengajarkan kita tentang pentingnya disiplin dan menghargai waktu. Oleh karenanya, salah satu ciri dari kualitas shalat seseorang adalah sejauh mana ia mampu bersikap disiplin dan menghargai waktu di dalam kehidupannya. Di dalam shalat juga terkandung pesan tawadlu’ (rendah hati), sebab betapa di dalam shalat kita rela meletakkan kepala kita, yang merupakan mahkota atau anggota tubuh yang paling mulia, merunduk ke tempat sujud, sejajar dengan telapak kaki kita. Oleh karenanya, maka segala bentuk kesombongan dan kesewenang-wenangan jelas bukan sifat orang yang baik shalatnya. Selain itu, shalat juga mengajarkan kita akan pentingnya menebarkan nilai-nilai kedamaian, keharmonisan dan persaudaraan. Karena bukankah setiap kali kita mengakhiri shalat, kita selalu mengucapkan salam (assalamu’alaikum warahmatullah) sambil menoleh ke kanan dan ke kiri?!. Maka ciri lain dari orang yang baik shalatnya adalah ia senantiasa menebarkan rasa kedamaian, persaudaraan dan kasih sayang di tengah-tengah masyarakatnya. 

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.


Khutbah Kedua:

الحمد لله الذي منّ علينا برسوله الكريموهدانا به إلى الدين القويم والصراط المستقيم, وأمرنا بتوقيره وتعظيمه وتكريمهوفرض على كلّ مؤمن أن يكون أحبَّ إليه من نفسه وأولاده وخليله, وجعل محبّتَه سببا لمحبّته وتفضيله, أشهد أن لا إله إلاّ اللهُ الرؤوفُ الرحيم, وأشهد أنّ محمّدا عبده ورسوله ذو الجاه العظيم, صلّى الله وسلَّم عليه وعلى سائر المرسلين, وآل كلٍّ والصحابة والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين. أمّا بعد, فيا أيّها الحاضروناتّقوا اللهَ حقَّ تُقاته, ولا تموتنّ إلاّ وأنتم مسلمونواعلموا أنَّ الله أمَركم بأمرٍ بدأ فيه بنفسه وثـنّى بملآئكته بقدسه, وقال تعالى إنَّ الله وملآئكته يصلّون على النبى يآأيها الذين آمنوا صلّوا عليه وسلّموا تسليما. اللهمّ صلّ على سيدنا محمد وعلى أنبيآئك ورسلك وملآئكتك المقرّبين, وارضَ اللهمّ عن الخلفاء الراشدين أبي بكر وعمر وعثمان وعليّ وعن بقيّة الصحابة والتابعين وتابعي التابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين, وارض عنّا معهم برحمتك ياأرحم الراحمين. اللهمّ اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحيآء منهم والأموات, إنّك سميع قريب مجيبُ الدعوات. اللهمّ أعزّ الإسلام والمسلمين وَأَذِلَّ الشّركَ والمشركين وانصر عبادَك الْمُوَحِّدِين المخلِصين واخذُل مَن خذَل المسلمين ودَمِّرْ أعدآئَنا وأعدآءَ الدّين وأَعْلِ كلماتِك إلى يوم الدين. اللهمّ ادفع عنّا البلاءَ والوَباءَ والزَّلازِلَ والْمِحَنَ وسوءَ الفتنة ما ظهر منها وما بطن عن بَلَدِنا إندونيسيا خآصةً وعن سائرِ البُلدانِ المسلمين عآمة.

اللهم بارك لنا فى رجب وشعبان وبلغنا رمضان وحصل مقاصدنا، اللهم سلمنا إلى رمضان وسلم رمضان لنا وتسلمه منا متقبلا يا أرحم الراحمين، ربّنا آتنا في الدّنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النّار. عبادالله، إنّ الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلّكم تذكّرون. فاذكروا الله العظيم يذكركم واشكروه على نعمه يزدكم ولذكرالله اكبر. ربّنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار. عبادَ الله! إنَّ الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتآء ذي القربى وينهى عن الفحشآء والمنكر والبغي يعظكم لعلّكم تذكّرون, واذكروا الله العظيم يَذْكُرْكُمْ واشكروه على نِعَمِهِ يَزِدْكم واسئلوه من فضله يُعْطِكم, وَلَذِكرُ اللهِ أكبر.