Naskah Khutbah Jum’at:
“REFLEKSI MAKNA PERJALANAN HIDUP MANUSIA”
Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
(Disampaikan di Masjid Jami’ Al-Ikhlash
Dukuhjeruk, Kec. Karangampel,
Kab. Indramayu,Tanggal 21 Maret 2014 M/19 Jumadil Awal
1435 H)
Khutbah
Pertama:
اَلْحَمْدُ
للهِ الَّذِيْ خَلَقَ الْخَلْقَ وَقَدَّرَ الأَشْيَاءَ، وَاصْطَفَى مِنْ عِبَادِهِ
الرُّسُلَ وَالأَنْبِيَاءَ، بِهِمْ نَتَأَسَّى وَنَقْتَدِي، وَبِهُدَاهُمْ نَهْتَدِي،
أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا هُوَ لَهُ أَهْلٌ مِنَ الحَمْدِ
وَأُثْنِي عَلَيْهِ، وَأُومِنُ بِهِ وَأَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ
فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ، أَنْزَلَ عَلَيْهِ رَبُّهُ
الْقُرْآنَ الْمُبِيْنَ, هُدًى وَنُوْرًا لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَجَعَلَ رِسَالَتَهُ
رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ
وَالْمُرْسَلِيْنَ, وَآلِ كُلٍّ وَالصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ
إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ, فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِِيْكُمْ
وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
Hadirin Jama’ah
Jum’at rahimakumullah,
Seiring roda kehidupan yang terus berputar, jumat demi
jumat pun berlalu, seiring itu pula khutbah demi khutbah telah sering kita
dengarkan, sebagai satu ikhtiar bagi kita untuk menasehati diri agar senatiasa patuh
dan tunduk kepada Allah Sang Pencipta. Melalui khutbah-khutbah itu pula, kesadaran
kita seringkali muncul seketika, disertai tekad untuk menjadi hamba-Nya yang benar-benar
taat. Namun, padatnya rutinitas dengan berbagai persoalan yang kita hadapi
sehari-hari, acap kali membuat kesadaran dan tekad itu pelan-pelan luntur bahkan
sirna. Oleh sebab itulah, melalui mimbar jumat ini, marilah kita berupaya
secara lebih sungguh-sungguh memperbaharui iman dan ketaqwaan kita kepada
Allah, memperbaiki kembali komitmen kita kepada Allah yang sering kita nyatakan
berulang kali namun jarang diresapi, sebuah komitmen yang mestinya selalu menyertai
setiap perjalanan hidup kita, sebagaimana yang selalu kita lafalkan di dalam
shalat:
إِنَّ
صَلاَتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ, لاَ شَرِيْكَ لَهُ
وَبِذَالِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ.
“Sesungguhnya sholatku, ibadahku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada satu pun sekutu bagi-Nya, demikianlah aku diperintahkan, dan
aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”
Kaum Muslimin Jamaah Jum’at yang berbahagia,
Al-Imam Abul Fida’ Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir
al-Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam
Ibnu Katsir, seorang ahli tafsir ternama, ahli hadits, sejarawan serta ahli
fiqih besar abad ke-8 H, menerangkan di dalam tafsirnya, bahwa suatu ketika
Umar bin Khathab RA bertanya kepada seorang sahabat bernama Ubay bin Ka’ab RA
tentang “taqwa”. Walaupun istilah taqwa tersebut merupakan sesuatu yang sudah sangat
mereka ketahui, namun bertanya satu sama lain di antara mereka dalam rangka lebih
mendalami maknanya adalah hal yang sangat lumrah dan mereka sukai. Ubay bin
Ka’ab lalu balik bertanya: “Wahai Umar, pernahkah engkau melewati jalan yang
penuh duri?”, Umar bin Khathab menjawab, "Ya, saya pernah melewatinya”.
Kemudian Ubay bertanya lagi: “Apa yang akan engkau lakukan saat itu?”.
Umar menjawab: “Saya akan berjalan dengan sangat berhati-hati, agar tak
terkena duri itu”. Lalu Ubay berkata: “Itulah takwa”.
Dari riwayat ini kita dapat mengambil sebuah pelajaran
penting, bahwa taqwa adalah kewaspadaan diri, rasa takut kepada Allah, kesiapan
diri, kehati-hatian agar tidak mudah terjebak dalam duri-duri syahwat
dan syubhat di tengah perjalanan menuju Allah, menghindarkan diri dari perbuatan
syirik, dan sekuat tenaga meninggalkan perbuatan maksiat dan dosa, serta berjuang
sungguh-sungguh dalam mentaati dan melaksanakan perintah-perintah Allah dengan
hati yang tunduk dan ikhlas.
Hadirin Jama’ah Jum’at rahimakumullah,
Setiap orang yang beriman pasti menyadari bahwa kehidupan
di muka bumi ini bukanlah tanpa batasan waktu. Setiap orang menjalani kehidupan
sesuai “kontraknya” masing-masing dalam batas waktu yang telah ditetapkan oleh
Allah SWT. Umur manusia berbeda satu dengan lainnya, begitu pun amal dan perbuatannya.
Setiap mukmin akan menyadari bahwa ia tidak akan selamanya hidup dan tinggal di
dunia ini; bahwa keberadaannya di alam ini hakikatnya sedang menempuh proses
perjalanan panjang menuju kehidupan akhirat yang kekal dan hakiki. Sikap yang demikian
sungguh sangat berbeda dan bertolak belakang dengan sikap orang-orang yang hakikatnya
tidak beriman. Sebagaimana hal ini disinggung dalam firman Allah SWT:
بَلْ
تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
"Akan tetapi kalian (orang-orang yang ingkar) justeru lebih
memilih kehidupan duniawi. Padahal
sungguh kehidupan akhirat itu jauh lebih baik dan kekal. (QS. al-A’la: 16-17).
Hadirin Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,
Terkait bagaimana seharusnya kita memanfaatkan hidup, jika
kita membuka lembaran kisah-kisah ulama salafus shalih terdahulu, kita akan
menemukan karakteristik amal yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam
konteks keilmuan misalnya, di antara mereka ada yang konsen pada bidang kajian tafsir,
hadits, fiqih, akhlak, tasawuf, dan berbagai macam kajian ilmu lainnya. Namun,
satu titik persamaan yang dapat kita temukan dari berbagai macam amal kajian
yang digeluti para ulama tersebut, adalah ketulusan dan kesungguhan hati mereka
dalam beramal demi memberikan sumbangan terbaik untuk mendidik kehidupan manusia.
Sebuah amal yang tidak hanya bersifat pengabdian diri secara personal antara seorang
hamba dengan Tuhannya (ibadah munfaridah), namun juga memiliki nilai
manfaat yang luar biasa bagi umat manusia dan generasi setelahnya hingga
sekarang (ibadah ijtima’iyah). Dalam hal ini, kiranya patut kita
renungkan kembali firman Allah berikut:
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ
إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu berupa (kebahagiaan) akhirat, dan janganlah kamu
melupakan nasibmu di dunia; berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
(QS. al-Qashash: 77).
Hadirin yang dirahmati Allah,
Dari ayat ini kita dapat menggali beberapa point penting
tentang prinsip-prinsip yang perlu kita pedomani dalam menjalani kehidupan di
muka bumi:
Pertama, prinsip mengutamakan kebahagiaan akherat. Prinsip ini
menganjurkan kita agar dalam melaksanakan urusan-urusan duniawi, hendaknya selalu
dibarengi dengan mempertimbangkan nilai-nilai ukhrawi. Dalam hal ini, penting
dipahami bahwa mengutamakan kebahagiaan akherat bukan berarti mengabaikan sama
sekali persoalan duniawi. Artinya, dalam melakukan aktifitas apapun di dunia
ini, dalam pekerjaan dan profesi apapun, hendaknya semua itu kita landasi atas
dasar ibadah kepada Allah SWT demi meraih ridho-Nya dan berharap kebahagiaan kelak
di akhirat. Dengan prinsip ini, maka segala prilaku dan usaha kita di dunia,
apapun bentuknya, akan senantiasa terarah dan terjaga sekaligus bernilai ibadah,
serta tidak mudah melakukan upaya-upaya kotor dengan menghalalkan segala cara
demi meraih ambisi-ambisi atau syahwat duniawi.
Kedua, prinsip yang dalam ayat di atas disebutkan dalam bentuk
perintah (fi’il amr): ‘ahsin’, yakni agar kita senantiasa berbuat
kebaikan. Artinya, dalam melakukan aktifitas apapun, hendaknya selalu kita orientasikan
untuk tujuan berbuat baik terhadap sesama, tidak sebatas memaknai kebaikan hanya
untuk diri atau kelompok kita sendiri. Dengan prinsip ini, seseorang akan
terhindar dari sikap ananiyah (egoisme), sebuah sikap yang sering
menjadi sumber pertikaian dan permusuhan antar sesama. Selain itu, prinsip ini akan
menumbuhkan sikap selalu berprasangka baik (husnudzan) kepada orang lain, serta
memupuk sikap tasamuh (toleransi) dan saling menghargai.
Ketiga, prinsip “walaa tabghil fasada fil ardh’”, yaitu
prinsip tidak berbuat keonaran dan kerusakan di muka bumi. Bila prinsip ini
dipegang secara teguh dan sungguh-sungguh, seseorang akan dapat dengan mantap mewujudkan
prinsip yang kedua, yakni kemampuan berbuat baik terhadap sesama dibarengi kemampuan
menghindari kerusakan. Dalam situasi tertentu, bahkan prinsip ketiga ini harus
lebih diprioritaskan ketimbang prinsip yang kedua, yaitu apabila misalnya kita dihadapkan
pada 2 pilihan dalam situasi yang serba sulit dan dilematis: “antara berbuat
baik (mengambil mashlahat namun kontraproduktif) ataukah mencegah kerusakan?!”.
Sebagaimana dalam sebuah kaidah ushul al-fiqhiyah disebutkan: “dar’ul
mafaasid muqaddamun ‘alaa jalbil mashaalih” (mencegah kerusakan, harus
lebih didahulukan dari pada mengambil mashlahah atau kebaikan). Untuk menerapkan
prinsip ini dan membiasakannya dalam prilaku kita sehari-hari, paling tidak, harus
kita mulai dari hal-hal kecil, seperti: jika kita merasa tidak bisa berbuat
baik kepada orang lain, minimal kita jangan suka menyakiti orang lain; jika
kita sulit untuk bertutur kata yang baik kepada orang lain, minimal kita tidak
perlu mencela atau melukai hati orang lain dengan perkataan kita, artinya kita
lebih baik diam” (qul khoiran aw liyashmut). Prinsip ini juga sangat
penting dipahami dalam konteks upaya amar ma’ruf nahi munkar, artinya,
sebuah upaya amar ma’ruf (kebaikan) tidak boleh dilakukan dengan
cara-cara yang munkar (cara-cara yang merusak, anarkis, bertentangan
dengan hukum dan prinsip-prinsip syariat). Karena ketidakpahaman akan prinsip
ini akan mengakibatkan seseorang atau sekelompok orang dengan mudah melakukan
aksi-aksi brutal, anarkis, radikal, bahkan tindakan terorisme dengan
mengatasnamakan “jihad” dan “agama”, sebagaimana yang marak terjadi akhir-akhir
ini. Prilaku semacam itu sesungguhnya amat bertentangan dengan hakikat ajaran
Islam itu sendiri sebagai rahmatan lil ‘alamin (penebar kasih sayang dan
kedamaian bagi alam semesta). Sehingga tidak aneh, oleh kalangan guru-guru
kita: para kiai dan ulama-ulama pesantren kharismatik yang lebih mewarisi
spirit dakwah Wali Songo, prilaku-prilaku kelompok tersebut sering dikatakan
dengan bahasa sindirian: “amar ma’ruf nyambi munkar”, bukan amar ma’ruf
nahi munkar.
Hadirin sidang Jum’at yang dimuliakan Allah,
Ayat lain yang juga sangat penting kita renungkan dalam
menapaki kehidupan ini adalah firman Allah berikut:
وَتَزَوَّدُواْ
فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى...
“Persiapkanlah bekal,
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. al-Baqoroh: 197)
Meskipun konteks ayat ini menjelaskan tentang perbekalan
dalam perjalanan ibadah haji, namun sesungguhnya ayat itu juga menjelaskan
gambaran ketika manusia akan menghadap Allah di padang mahsyar kelak. Di
mana, ibadah haji merupakan miniatur gambaran manusia yang akan dikumpulkan di
padang mahsyar seperti halnya mereka berkumpul di padang Arafah. Maka,
bekal utama yang dapat menyelamatkan manusia adalah taqwa.
Firman Allah di atas juga mengandung makna tersirat bahwa
manusia memiliki 2 macam perjalanan, yakni perjalanan di dunia dan perjalanan
dari dunia menuju akherat. Perjalanan manusia di dunia memerlukan bekal, baik bekal
berupa makanan, minuman, harta, pangkat dan kedudukan, kendaraaan, dan
sebagainya. Demikian pula perjalanan manusia dari dunia menuju akherat, juga
memerlukan bekal. Bahkan bekal perjalanan yang dibutuhkan dari dunia menuju
akhirat ini jauh lebih penting dari pada perbekalan di dunia.
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Husain
bin al-Hasan, at-Tamimi, al-Bakri, at-Thabaristani, ar-Rozi, atau yang populer
dengan nama Imam Fakhruddiin
(Kebanggaan Islam), seorang mufassir dan ulama
besar bermadzhab Syafi’i di zamannya, dalam dalam tafsirnya yang
berjudul Tafsir al-Kabir atau Mafaatih al-Ghaib, menyebutkan 5
perbandingan antara perbekalan di dunia dan perbekalan di akherat:
Pertama,
perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan menyelamatkan manusia dari ancaman penderitaan
yang BELUM TENTU terjadi. Sedangkan bekal perjalanan dari dunia menuju akherat,
akan menyelamatkan manusia dari penderitaan yang PASTI terjadi jika seseorang
tidak membawa bekal.
Kedua,
perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan menyelamatkan manusia dari kesulitan
sementara. Tetapi bekal perjalanan dari dunia menuju akherat, akan
menyelamatkan manusia dari kesulitan selama-lamanya yang tiada tara dan tiada batasnya.
Ketiga,
perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan menghantarkan manusia pada
kenikmatan sesaat, dan pada saat yang sama ia juga mengalami rasa sakit,
keletihan dan kepayahan. Sementara bekal perjalanan dari dunia menuju akherat, akan
membuat manusia terlepas dari marabahaya apapun dan terlindung dari kebinasaan
yang sia-sia.
Keempat,
perbekalan dalam perjalanan di dunia, pada saatnya akan kita lepaskan dan kita
tinggalkan di tengah perjalanan. Adapun bekal perjalanan dari dunia menuju
akherat, senantiasa akan kita bawa, dan kita akan lebih banyak menerima bekal-bekal
tambahan hingga kita sampai pada tujuan, yaitu akherat.
Kelima,
perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan mengantarkan manusia pada kepuasan
syahwat dan hawa nafsu yang rendah. Sedangkan bekal perjalanan dari dunia
menuju akherat, akan semakin membawa manusia pada kesucian dan kemuliaan karena
yang ia bawa adalah sebaik-baik bekal. (Tafsir ar-Raazi 5/168)
Hadirin sekalian hadaniyallahu wa iyyakum,
Demikian uraian khutbah yang dapat kami sampaikan, semoga
bermanfaat khususnya bagi pribadi khathib dan umumnya bagi seluruh jama’ah
sekalian.
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ, بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيْمِ: وَالْعَصْرِ, إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ, إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. بَارَكَ
اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا
فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ
هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ
هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ للهِ عَلَى إِحْسَانِهِ, وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ وَامْتِنَانِهِ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنََّ
سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إِلَى رِضْوَانِهِ. اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ, وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا
كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ, فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ, اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ
وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَاكُمْ. وَاعْلَمُوْا أَنََّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ
فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ, وَقَالَ تَعَالَى إِنََّ
اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَعَلَى أَنْبِيَآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَتِكَ الْمُقَرَّبِيْنَ, وَارْضَ اللَّهُمَّ
عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ
بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ
إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ, وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ, إِنَّكَ
سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ
وَأَذِلَِّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ الْمُخْلِِصِيْنَ
وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ ودَمِّرْ أَعْدَآئَنَا وَأَعْدَآءَ الدِّيْنِ
وأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلاََءَ
وَالْوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ الْفِتْنَةِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنا إِنْدُوْنِيْسِيَا خَآصَّةً وَعَنْ سَائِرِ الْبُلْدَانِ
الْمُسْلِمِيْنَ عَآمَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا
حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ! إِنََّ
اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ
الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ, وَاذْكُرُوا
اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوْهُ
مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكم, وَلَذِكرُ اللهِ أَكْبَرُ.