“ISLAM TIDAK MENGENAL
DIKOTOMI KEILMUAN:
ILMU AGAMA – ILMU UMUM”
Hasil Tela’ah Kitab “Manhaj At-Tarbiyah fi At-Tashawwur Al-Islamiy”
Hasil Tela’ah Kitab “Manhaj At-Tarbiyah fi At-Tashawwur Al-Islamiy”
Karya Dr. Ali
Ahmad Madkur (Cairo, 2002: 290-294)
Oleh: Mohamad Kholil,
S.S., M.S.I.
(Tulisan dimuat dalam Jurnal "Media Pembinaan" Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, Februari 2013)
Pada prinsipnya, semua bidang
ilmu dirumuskan dan dikembangkan dalam rangka memberikan kontribusi bagi upaya pengembangan
fitrah (potensi) manusia, baik dalam posisinya sebagai ‘abdullah (hamba
Allah) maupun khalifatullah (pemegang amanat Allah di muka bumi), agar
ia dapat berinteraksi secara aktif dan positif dengan lingkungannya, sekaligus turut
membangun dan melestarikan kehidupan sesuai anjuran-Nya. Demikianlah
sesungguhnya inti dan hakikat “ilmu agama (Islam)”, baik yang
berkaitan secara langsung dengan bidang ilmu-ilmu syari’at (agama) maupun
ilmu-ilmu modern (umum) seperti fisika, kimia, teknik, dan sebagainya.
Hal ini sebagaimana
dinyatakan oleh banyak pemikir Muslim yang tidak sekedar tahu “teks-teks”
keislaman, namun juga memahami “ruh atau spirit” yang terkandung di balik teks
tersebut. Abul A’la al-Maududi misalnya, ia menyatakan: “Pada dasarnya,
munculnya dikotomi keilmuan (ilmu agama dan ilmu umum) disebabkan adanya paradigma
yang memisahkan antara masalah agama dan kehidupan. Pandangan ini sesungguhnya
justeru bertentangan dengan substansi ajaran Islam itu sendiri. Karena dalam
Islam, persoalan agama bukanlah persoalan yang terpisah dari kehidupan. Alam
semesta beserta segala isinya adalah milik Allah, demikian pula manusia yang
ada di dalamnya. Sebagai hamba Allah, manusia dituntut mampu menjalani misi
kehidupannya sesuai titah Allah, serta menghayati segala bentuk
pengajaran-Nya. Demikianlah sesungguhnya pemaknaan “agama” yang lebih tepat dan
selaras dengan prinsip syariat Islam. Maka, ilmu-ilmu yang selama ini dianggap
sebagai “ilmu dunia (umum)”, pun pada hakikatnya juga merupakan “ilmu agama”.
Pembedaan ilmu menjadi 2 (dua) bagian yang saling terpisah, yakni: “ilmu agama”
yang mengkaji persoalan ukhrawi di satu sisi, dan “ilmu umum” yang membahas
persoalan duniawi di sisi yang lain, hanya akan mengantarkan kita pada asumsi
bahwa antara agama dan kehidupan merupakan 2 (dua) hal yang sama sekali berbeda
dan tidak memiliki keterkaitan. Kondisi inilah yang pada
akhirnya mengakibatkan upaya sinkronisasi antara keduanya (ilmu agama dan ilmu
umum) yang notabene merupakan bentuk pengamalan terhadap perintah Allah secara
komprehensif sebagaimana firman-Nya “masuklah kalian ke dalam Islam secara
kaffah (total)”, menjadi sulit. (Lihat: Abul A’la Al-Maududi, Al-Manhaj
Al-Islamiy Al-Jadid li At-Tarbiyah wa At-Ta’lim, Beirut: Al-Maktab
Al-Islamiy, 1982, hlm. 23).
Namun demikian, sebagai
Muslim kita tidak harus mengadopsi ilmu-ilmu modern itu apa adanya. Karena
bagaimanapun ilmu-ilmu modern itu dibangun di atas kerangka teoritis
dan filsafat Barat yang tidak seluruhnya selaras dengan pandangan dan esensi
ajaran Islam. Oleh karenanya, upaya rekonstruksi dan kajian secara kritis terhadap
ilmu-ilmu tersebut (dalam arti membersihkan ilmu-ilmu modern itu dari bias
teori-teori dan pandangan filsafat Barat terkait konsep ketuhanan, alam
semesta, manusia, dan kehidupan yang seringkali tidak sejalan dengan ajaran
moral Islam) agar selaras dengan orientasi pendidikan Islam, merupakan keharusan.
Karena, jika kita mengadopsi ilmu-ilmu tersebut apa adanya dari luar (tanpa
upaya rekonstruksi dan penyelarasan dengan ajaran Islam terlebih dulu) dan
menerapkannya begitu saja dalam muatan kurikulum pendidikan Islam, maka dapat dipastikan
akan berimplikasi pada kerusakan akal dan mental generasi muda yang sebelumnya
telah dibangun oleh ilmu-ilmu syariat, khususnya terkait akidah dan penanaman
nilai-nilai. Selain itu, mereka (generasi muda) juga tidak menutup kemungkinan akan
lebih condong kepada pandangan-pandangan yang bertentangan dengan pandangan Islam
dalam memahami alam semesta, kehidupan, dan pola prilaku manusia.
Menyangkut masalah ini,
Abul A’la Maududi menjelaskan secara lebih lanjut dalam pernyataannya: “Bahwa pembelajaran
kita tentang sejarah, geografi, ilmu alam, fisika, botani, zoologi, geologi,
astronomi, ekonomi, ilmu politik, dan ilmu-ilmu modern lainnya, apabila
ditempuh melalui metode yang lepas sama sekali dari dimensi ketuhanan, maka
tidak akan ditemukan korelasi apapun dari kehidupan ini dengan sesuatu yang
dapat mengindikasikan sikap penghormatan kita terhadap syariat-syariat Allah,
atau dengan kata lain, kita “melawan arus” kehendak-Nya. Sehingga dalam
memahami persoalan “hukum alam” (teori ilmiah) misalnya, kita tidak memahaminya
sampai pada taraf keyakinan tentang adanya kekuasaan Sang Pencipta. Di samping
itu, kejadian-kejadian di alam semesta ini tidak pernah dipandang sebagai
manifestasi dari kehendak Allah. Termasuk dalam menyikapi berbagai masalah dan
dilema kehidupan, semuanya diselesaikan tanpa melibatkan solusi yang ditawarkan
oleh syariat-Nya sama sekali. Hingga, tidak tersedia lagi ruang di
dalam pikiran kita untuk mengeksplor pandangan-pandangan agama sejak awal
terciptanya alam semesta hingga berakhirnya kehidupan.”
Pengelompokan “ilmu agama”
dan “ilmu umum” yang telah tertanam kuat di alam pikiran peserta didik
sekarang, telah membentuk pandangan (vision) mereka tentang kehidupan yang
sunyi dari dimensi ilahiyah. Karena semua teori keilmuan modern hampir disajikan
tanpa sedikitpun menyentuh dimensi al-qudrat al-ilahiyah yang notabene
Dia-lah yang menciptakan segala sesuatu beserta hukum-hukum alam di dalamnya.
Maka tidak mengherankan jika pada gilirannya peserta didik itu melakukan
aktivitas-aktivitas kehidupannya tanpa landasan nilai-nilai keagamaan. Dengan
kata lain, mereka menjadi acuh terhadap “bisikan suara” Allah yang bersumber
dari hati nurani mereka sendiri yang fitri. Padahal, pada saat yang bersamaan mereka
juga mempelajari ajaran Kitab Suci tentang bagaimana permulaan terciptanya alam
semesta dan kehancurannya. Mereka seolah menemukan dirinya “kebingungan” dimanakah mereka
harus “menempatkan” Allah di tengah teori-teori keilmuan modern yang
dipelajarinya. Kebingungan tersebut (yang disebabkan oleh pesatnya perkembangan
ilmu-ilmu modern), telah mengantarkan mereka pada pertanyaan tentang eksistensi
Allah dan persoalan wahyu, termasuk menyangkut apakah aspek keimanan itu
merupakan sesuatu yang urgent atau tidak dalam konteks ilmu-ilmu modern?. Pada fase
selanjutnya, ketika pikiran mereka sedikit-sedikit mulai terangkat dari lingkaran
kebingungan, pertanyaan penting yang perlu mereka pikirkan adalah: “bagaimanakah
mengkompromikan antara ilmu-ilmu modern yang sering dipelajarinya itu dengan
ajaran yang bersumber dari agama, khususnya terkait bagaimana pandangan agama
tentang alam semesta dan kehidupan?”. Karena bagaimanapun, meski keimanan mereka
(peserta didik) terhadap Allah telah begitu tertanam kuat sejak kecil dan tak tergoyahkan, namun kenyataannya tetap saja, agama selalu berada dalam posisi
yang termarginalkan (terabaikan) dari kehidupan mereka serta tidak memiliki
pengaruh apa-apa.
Maka, pemisahan antara
ilmu-ilmu syariat (ilmu agama) dan ilmu-ilmu modern (ilmu umum) telah secara
nyata menimbulkan kesulitan tersendiri bagi kemajuan umat Islam dalam merespons
wacana-wacana modernitas. Pemisahan semacam ini tentunya tidak diajarkan dalam
Islam. Oleh karenanya, umat Islam dalam hal ini perlu melakukan
upaya rekonstruksi terhadap ilmu-ilmu modern tersebut. Ini penting dilakukan agar terjadi sinergitas antar berbagai bidang ilmu yang ada, demi tercapainya hakikat dan tujuan pendidikan sekaligus agar
terwujud kebahagiaan hidup masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan
dan ketuhanan. [ ] Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis showab.
“Pendidikan yang
‘dikotomik’ hanya akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan tak bermoral
dan ulama-ulama yang
tak mengenal zamannya”
(KH. A. Wahid Hasyim)
***********