DARI PEMBELAJARAN
KOGNISI (COGNITIVE ORIENTED)
MENUJU PENDIDIKAN
KARAKTER
Oleh: Mohamad Kholil,
S.S., M.S.I.
(Tulisan dimuat dalam Majalah Media Pembinaan, Kanwil. Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, November 2012)
(Tulisan dimuat dalam Majalah Media Pembinaan, Kanwil. Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, November 2012)
A. Konsep Pendidikan Karakter
Karakter merupakan
nilai-nilai prilaku manusia yang memiliki dimensi multi-relasional, terkait hubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa (habl min Allah), diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan, berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter
adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada seluruh warga sekolah/madrasah
yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia seutuhnya
(insan kamil). Dalam pelaksanaan pendidikan karakter, semua komponen atau
subyek sekolah/madrasah (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk
komponen substansi pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan kelas dan sekolah/madrasah, pelaksanaan aktivitas atau
kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos
kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah/madrasah.
Singkatnya, sebagaimana
diungkapkan Doni Koesoema A, M.Ed., “Pendidikan karakter yang utuh dan
menyeluruh tidak sekedar membentuk anak-anak muda menjadi pribadi-pribadi yang
cerdas dan baik, melainkan juga membentuk mereka menjadi “pelaku” bagi
perubahan dalam hidupnya sendiri, yang pada gilirannya akan menyumbangkan
perubahan bagi tatanan sosial kemasyarakatan menjadi lebih adil, baik, dan
manusiawi.”.
B. Pendidikan Karakter: Modal Membangun Peradaban dan Keadaban Bangsa
Dunia pendidikan saat
ini diharapkan dapat menjadi motor penggerak sekaligus fasilitator dalam
pelaksanaan pendidikan karakter, sehingga pada gilirannya secara umum masyarakat
mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan
demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi
kesepakatan bersama.
”Dari mana asalmu tidaklah
penting, ukuran tubuhmu juga tidak penting. Namun ukuran otakmu yang cukup
penting. Dan ukuran hatimu, itulah yang sangat penting”. Karena otak (pikiran)
dan qalbu (hati) merupakan organ yang menyimpan potensi manusia paling kuat dalam
menggerakkan seseorang dapat ”bertutur kata dan bertindak”.
Mungkin hal yang patut
kita telaah dan renungkan dalam hati adalah, apakah telah memadai ”wahana”
pembelajaran yang ada saat ini dalam memberikan peluang bagi peserta didik
untuk meraih multi-kecerdasan yang mampu mengembangkan sikap-sikap mental mereka
seperti: kejujuran, toleransi, integritas, komitmen, kerja keras, kedisipilinan,
visioner, dan kemandirian?.
Potret sejarah bangsa
Indonesia sesungguhnya telah memberikan pelajaran sangat berharga, betapa
perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran, itulah yang sesungguhnya
mengantarkan bangsa ini ke gerbang kemerdekaan. Melalui perdebatan tersebut
kita banyak belajar, bagaimana toleransi dan keterbukaan para pendiri bangsa
ini dalam menerima pendapat dan berbagai kritik saat itu. Melalui pertukaran
pikiran itu kita juga bisa mencermati, betapa kuat keinginan para pemimpin bangsa
itu untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan, sehingga
perbedaan-perbedaan tidak menjadi persoalan bagi mereka.
Karena itu pendidikan
karakter dan kebangsaan harus digali dari landasan ideal “Pancasila” dan
landasan konstitusional “UUD 1945” sebagai landasan berbangsa dan bernegara.
Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda”
menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk
berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia. Ketika merdeka
dipilihnya bentuk Negara Kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu
kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak “pluralisme”
tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi
melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia.
Pendidikan nilai-nilai
karakter bangsa harus dimulai dari pendidikan informal, dan secara pararel
berlanjut pada pendidikan formal dan non-formal. Tantangan saat ini dan ke
depan adalah, bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai satu
“kekuatan bangsa”. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang
berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun
bangsa. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari
pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.
”Pendidikan Karakter
Untuk Membangun Keberadaban Bangsa” adalah kearifan dari keanekaragaman nilai
dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang
membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural
yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang
tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan
keagamaan. Pendidikan karakter bukan hanya sekedar wacana tetapi realita dan kebutuhan
yang nyata; bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan; dan bukan hanya simbol
atau slogan tetapi keberpihakan yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa
Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad bangsa:
“sekali merdeka, tetap merdeka”. (Muktiono Waspodo).
C. Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Karakter
Terlepas dari berbagai
kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar
nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP) dan
implementasi pembelajarannya di sekolah/madrasah, tujuan pendidikan nasional sebenarnya
dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang
harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam
kehidupan sehari-hari. Permasalahannya adalah, pendidikan karakter di sekolah/madrasah
selama ini baru menyentuh pada tingkatan “pengenalan” norma-norma atau
nilai-nilai, dan belum pada tingkatan “internalisasi” dan tindakan nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk
meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap
jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design tersebut menjadi
rujukan konseptual dan operasional bagi pengembangan, pelaksanaan, dan
penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam
konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan
dalam: “Olah Hati” (spiritual and emotional development), “Olah Pikir” (intellectual
development), “Olah Raga dan Kinestetik” (physical and kinestetic
development), dan “Olah Rasa dan Karsa” (affective and creativity
development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu
dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut. Secara lebih rinci,
aspek-aspek dalam pendidikan karakter memuat 12 point, yaitu: Pendidikan Agama,
Kejujuran, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Semangat Kebangsaan,
Cinta Tanah Air, Menghargai Prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta Damai,
Gemar Membaca.
Menurut UU No. 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 disebutkan, bahwa jalur
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non-formal, dan informal yang dapat
saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan
kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik
mengikuti pendidikan di sekolah/madrasah hanya sekitar 7 jam per hari, atau
kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan
lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di
sekolah/madrasah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan
peserta didik.
Selama ini, pendidikan
informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti
dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik.
Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya
pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh
pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa
berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta
didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
melalui pendidikan karakter yang terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan
kegiatan pendidikan informal di lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di
sekolah/madrasah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah/madrasah
perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama
dalam pembentukan karakter peserta didik.
Sasaran pendidikan
karakter adalah seluruh sekolah/madrasah di Indonesia. Semua warga sekolah/madrasah
tanpa kecuali, yang meliputi para peserta didik, guru, tenaga administratif,
dan pimpinan menjadi sasaran program ini. Lembaga-lembaga pendidikan yang
selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik bisa
dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk
disebarluaskan ke lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
Pendidikan karakter
bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di
sekolah/madrasah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak
mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang. Melalui pendidikan
karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan mendayagunakan
pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai
karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Menurut Mochtar Buchori
(2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke “pengenalan
nilai” secara kognitif, “penghayatan nilai” secara afektif, dan akhirnya ke “pengamalan
nilai” secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada perlu
segera dikaji dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu
dikembangkan secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di
sekolah/madrasah.
Melalui program ini
diharapkan lulusan-lulusan dari peserta didik dapat memiliki keimanan dan
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, memiliki
kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang
baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas,
pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah/madrasah yang terpatri
secara kokoh dan positif.
D. Mengukur Keberhasilan Pendidikan Karakter
Keberhasilan program
pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta
didik, yang antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
1) Mengamalkan
nilai-nilai dan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan peserta
didik.
2) Memahami
kekurangan dan kelebihan diri sendiri.
3) Menunjukkan
sikap percaya diri.
4) Mematuhi
aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas.
5) Menghargai
keberagaman agama, budaya, suku, ras, golongan sosial/ekonomi dalam lingkup
nasional.
6) Mencari
dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara
logis, kritis, dan kreatif.
7) Menunjukkan
kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif.
8) Menunjukkan
kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
9) Menunjukkan
kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
10) Mendeskripsikan
gejala alam dan sosial.
11) Memanfaatkan
lingkungan secara bertanggung jawab.
12) Menerapkan
nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
demi terwujudnya persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
13) Menghargai
karya seni dan budaya nasional.
14) Menghargai
tugas/pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya.
15) Menerapkan
hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik dan
positif.
16) Berkomunikasi
dan berinteraksi secara efektif dan santun.
17) Memahami
hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat.
18) Menghargai
adanya perbedaan pendapat.
19) Menunjukkan
kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana.
20) Menunjukkan
keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris sederhana.
21) Menguasai
pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan lanjutan.
22) Memiliki
jiwa kewirausahaan.
Adapun pada lingkup lembaga
pendidikan (sekolah/madrasah), kriteria keberhasilan pendidikan karakter adalah
terbentuknya “budaya sekolah/madrasah” (yang meliputi: prilaku, tradisi,
kebiasaan sehari-hari, pola dan hubungan kerja, serta simbol-simbol yang
dipraktekkan oleh semua civitas sekolah/madrasah, termasuk masyarakat sekitar) yang
berlandaskan pada nilai-nilai pendidikan karakter sebagaimana tersebut di atas [
].
Demikian. Semoga
bermanfaat. Wallahu a’lam bi as-showab.
*********
(Disampaikan pada Forum
Silaturahmi dan Halal Bi Halal
Keluarga Besar KKMI se-Wilayah
Kec. Karangampel – Kedokan Bunder
Kab. Indramayu, Rabu,
12 September 2012/25 Syawal 1433 H)
”Apa
yang aku pikirkan adalah suatu kebenaran yang mungkin mengandung kesalahan
menurut orang lain. Dan apa yang orang lain pikirkan, bagiku adalah suatu
kesalahan yang juga bisa mengandung kebenaran. Maka, raihlah hanya kebenaran
itu saja, meski ia keluar dari mulut seekor keledai sekalipun. Dan kebenaran
itu, selamanya tidak akan mampu diraih oleh orang-orang yang senantiasa sibuk
membenarkan dirinya sendiri”
(Adapted
from Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i RA.)