Naskah Khutbah Jum’at:
MENYELAMI MAKNA “SANTRI”
Oleh: Dr. H. Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
(Ketua Tanfidziyah MWC NU Karangampel Kab. Indramayu)
Khutbah I
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ الْمَحْمُوْدِ عَلَى كُلِّ حَالٍ،
اَلْمَوْصُوْفِ بِصِفَاتِ الْجَمالِ وَالْكَمَالِ. أَحْمَدُهُ سُبْحَاَنَهُ وتعالى
في كُلِّ أحوال. أَشْهَدُ أَن لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ
ذُو الْعَظَمَةِ وَالْجَلاَلِ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
وَخَلِيْلُهُ صادِقُ الْمَقَالِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى عَبْدِكَ
وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ خَيْرِ صَحْبٍ وَآلٍ,
وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كثيرا. أَمَّا بَعْدُ؛ فيا أيّها الحاضرون رحمكم الله،
أوصيني نفسي وإيّاكم بتقوى الله الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ الْقَائِلِ فِيْ مُحْكَمِ
كِتَابِهِ الكريم: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ
نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا
تَعْمَلُوْنَ
Hadirin sidang Jum’at rahimakumullah,
Dua hari yang lalu kita baru saja memperingati Hari Santri Nasional 22 Oktober 2025. Peringatan Hari Santri Nasional ini ditetapkan secara resmi oleh Pemerintah sejak 2015, yang dimaksudkan untuk mengingat dan meneladani semangat jihad para kiai dan kaum santri dalam merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tanggal 22 Oktober dipilih sebagai Hari Santri Nasional karena merujuk pada satu peristiwa penting dan bersejarah, yakni seruan “Fatwa Resolusi Jihad” yang dikobarkan oleh Rois Akbar Nahdlatul Ulama, Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy'ari, bersama para kiai berpengaruh lainnya dari seantero Jawa dan Madura pada 22 Oktober 1945. Seruan ini berisi perintah kepada umat Islam untuk berperang melawan pasukan Sekutu yang ingin menjajah kembali wilayah Indonesia pasca-proklamasi kemerdekaan, sehingga meletuslah perang di Surabaya pada 10 November 1945, yang kini dikenal sebagi Hari Pahlawan.
Penetapan Hari Santri Nasional ini merupakan bentuk penghargaan dan pengakuan
Negara atas peran besar umat Islam, khususnya para ulama dan kaum santri, dalam
berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menjaga NKRI.
Hadirin rahimakumullah,
Kata “santri” memiliki dimensi makna dan sejarah yang sangat panjang. Menurut para ahli sejarah, sebagaimana ditulis oleh Cornelis Cristian Berg (1900-1990), seorang Filolog dari Belanda, kata “santri” berasal dari kata shastri dalam bahasa Sanskerta, yang berarti seseorang yang mendalami ajaran kitab-kitab suci. Kata shastri ini muncul dan digunakan sejak masa Hindu-Budha, jauh sebelum Islam menyebar di Nusantara. Ketika Islam mulai tersebar di Nusantara, istilah ini kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa dan berubah menjadi “santri” yang maknanya adalah orang yang mendalami ajaran agama Islam. Sedangkan menurut Nurcholish Madjid (1939-2005), seorang pemikir Islam dan cendekiawan terkemuka di Indonesia, kata “santri” berasal dari bahasa Jawa cantrik, yang berarti “murid yang selalu setia mengikuti gurunya.” Dalam konteks ini, santri tidak hanya berarti seorang yang mendalami ilmu-ilmu agama, tetapi juga seorang murid yang setia, yang hidupnya selalu berorientasi pada bimbingan guru atau kiainya.
Berdasarkan definisi di atas, secara keseluruhan, makna "santri"
menggambarkan sosok pelajar yang tidak hanya cerdas secara intelektual atau
keilmuan di bidang agama, tetapi juga memiliki kepribadian dan akhlak mulia,
kemandirian serta kesetiaan yang kuat terhadap guru dan ajaran agama. Selain
itu, mereka adalah generasi penerus ulama yang siap mengabdi pada agama, nusa,
dan bangsa.
Pengertian ini juga sebagaimana dapat digali dari makna setiap
huruf yang merangkai kata “santri” itu sendiri. Jika ditulis dengan huruf Arab,
kata “santri” terdiri dari lima huruf, yaitu: sin (س), nun (ن), ta’ (ت), ra’ (ر), dan ya’ (ي). Maknanya adalah:
- Sin, singkatan dari salikun ila al-akhirah (سالك إلى الآخرة), yakni orang yang menempuh perjalanan menuju akhirat. Maksudnya, seorang santri dalam menjalani kehidupannya selalu berorientasi pada tujuan akhirat dan melandasi setiap amal perbuatannya dengan motivasi spiritual-ruhaniyah demi menggapai keridhoan Allah SWT;
- Nun, singkatan dari naibun ‘anil masyayikh (نائب عن المشايخ), yakni orang yang siap menggantikan atau melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan dan perjuangan para masyayikh atau para kiai dan guru-gurunya. Dalam konteks ini, maka seorang santri harus memiliki kesamaan dan ketersambungan sanad dengan gurunya, baik dalam bidang akidah (i’tiqadiyah), ‘amaliyah, pemikiran (fikrah), gerakan (harakah), dan semangat (ghiroh) perjuangannya, sekaligus menjadi pewaris ilmu dan perjuangan para nabi;
- Ta’, singkatan dari taarikun ‘ani al-ma’ashi (تارك عن المعاصي), yakni menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan dosa, serta bertaubat dari setiap dosa atau kesalahan yang diperbuat. Artinya, seorang santri tidak merasa dirinya orang yang suci; ia menyadari, bahwa sebagai manusia tentu tidak akan luput dari kelemahan dan kekurangan, sehingga ia akan terus berusaha memperbaiki setiap kesalahannya. Dalam hal ini, santri adalah orang yang selalu menjunjung tinggi akhlak dan nilai-nilai luhur serta bersikap rendah hati kepada siapapun, lebih-lebih kepada gurunya;
- Ra’, singkatan dari raghibun fil khairat (راغب فى الخيرات), yakni mencintai kebaikan. Artinya, seorang santri selalu berusaha agar dirinya berada di jalan kebaikan, baik secara pribadi maupun sosial. Santri adalah agen penjaga moral di tengah masyarakatnya, di mana tugas itu akan dilakukannya dengan cara yang baik dan penuh kebijaksanaan, sebagaimana dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah, para ulama salafus shalih, dan para ulama atau kiai-kiai pesantren dalam mengajak masyarakatnya menuju kebaikan;
- Ya’, singkatan dari yarju as-salamah fid dunya wal akhirah (يرجو السلامة فى الدنيا والأخرة), yakni mendambakan keselamatan dunia dan akhirat. Artinya, seorang santri menyadari bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah jembatan menuju kehidupan yang hakiki dan abadi di akhirat nanti. Untuk menggapai keselamatan itu, maka ia harus melangkah di jalan yang benar, mengikuti rambu-rambu syari’at dan memperbanyak bekal amal saleh di dalam kehidupannya. Seorang santri harus mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrawi.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Pada kesempatan ini, perlu juga kiranya kita pahami bersama, terkait
pemberitaan media beberapa waktu lalu yang mendiskreditkan keberadaan kaum
santri dan dunia pesantren, khususnya berkaitan dengan tradisi berjalan jongkok atau menunduk. Sebagaimana hal ini juga ditulis oleh M. Ishom el-Saha, Rektor UIN Sultan Maulana Hasanudin, Banten.
Bahwa dalam kehidupan
pesantren maupun masyarakat tradisional Jawa, berjalan jongkok merupakan gestur tubuh
yang sarat makna. Biasanya ini dilakukan oleh santri ketika melewati kiai atau
orang yang lebih tua. Sikap ini bukan sekadar kebiasaan turun-temurun,
melainkan wujud konkret dari penghormatan dan tata krama yang telah mengakar
dalam budaya masyarakat.
Sikap berjalan
jongkok tidak lahir dari paksaan, melainkan dari kesadaran untuk menempatkan
diri secara tepat dalam ruang sosial. Dalam tradisi Jawa, ada nilai yang
disebut jatmika, yakni bersikap santun, tahu tata krama, dan mampu menjaga diri
agar tidak melampaui batas sopan santun. Berjalan jongkok adalah bagian
dari ekspresi nilai tersebut—rendah hati tanpa merasa direndahkan.
Bentuk penghormatan
semacam ini bisa dijumpai dalam berbagai konteks. Anak-anak diajarkan untuk
menundukkan badan saat melewati orang tua, tidak duduk lebih tinggi dari orang yang
dituakan, dan menjaga ucapan saat berbicara. Semua perilaku ini adalah latihan
keseharian dalam menunjukkan sikap hormat, bukan sebagai beban, melainkan
sebagai bentuk kesadaran.
Dalam konteks pesantren, berjalan
jongkok menjadi bagian dari laku hidup santri. Santri tidak hanya diajarkan
kitab-kitab, tetapi juga dibiasakan menjaga adab dalam setiap gerakan. Berjalan
jongkok saat melewati guru bukan berarti kehilangan harga diri, tetapi
menunjukkan bahwa ilmu bukan hanya soal pengetahuan, melainkan juga soal
pembentukan sikap batin dan perilaku. Abdullah ibnu al-Mubarak RA, sebagaimana dikutip Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy'ari dalam kitabnya Adabul 'Alim wal Muta'allim, dalam hal
ini menyatakan:
نحن إلى
قليل من الأدب أحوج منّا إلى كثير من العلم
“Kami lebih membutuhkan adab meskipun sedikit, dibandingkan
banyak ilmu (tetapi tidak memiliki adab)”.
Jama’ah yang dirahmati Allah,
Di tengah arus perubahan
zaman saat ini, sikap-sikap seperti berjalan jongkok sering kali disalahpahami.
Dalam masyarakat yang semakin mengedepankan kesetaraan formal, gestur ini kerap
dipandang usang atau bahkan dianggap tidak manusiawi. Padahal, ketika dilihat
dari makna aslinya, berjalan jongkok bukanlah bentuk ketundukan apalagi
penyembahan, tetapi simbol penghormatan yang dilakukan secara sadar dan penuh
ketulusan.
Nilai jatmika sama sekali tidak
bertentangan dengan semangat modernitas. Justru, di saat etika sosial makin
longgar, maka kesantunan yang bersumber dari nilai-nilai budaya pesantren bisa
menjadi fondasi penting dalam membentuk karakter generasi muda. Berjalan
jongkok mengajarkan bahwa kehormatan tidak hanya dituntut dari orang lain,
tetapi juga harus ditunjukkan terlebih dahulu oleh diri sendiri.
Selain itu, berjalan
jongkok juga menjadi cara menjaga ketertiban ruang sosial. Dalam situasi di
mana seseorang berada di hadapan orang yang sedang duduk, sikap ini
menghindarkan dari kesan tidak sopan. Ada kepekaan sosial yang dilatih secara
alami—kesadaran bahwa tubuh dan ruang tidak berdiri sendiri, tetapi berhubungan
dengan orang lain di sekitarnya.
Masyarakat modern bisa
saja menganggap tidak perlu lagi menjalankan semua gestur budaya secara
literal. Namun, nilai-nilai yang melandasinya akan tetap relevan dan berlaku,
yakni sikap tahu diri, menghormati sesama, dan menjaga keselarasan dalam
pergaulan. Berjalan jongkok hanyalah salah satu simbol dari banyak cara bangsa
ini menunjukkan budi pekerti.
Ketika nilai-nilai seperti
jatmika terus dihidupkan dalam tindakan sehari-hari, masyarakat tidak hanya
mewarisi budaya, tetapi juga memperkuat fondasi etika bersama. Berjalan
jongkok, dalam makna yang paling dalam, adalah cara sederhana namun kuat untuk
mengatakan: “Aku menghormatimu, bukan karena aku lebih rendah, tetapi karena
aku memahami posisiku”.
Rasulullah SAW bersabda:
من
تواضع رفعه الله، ومن تكبَّر وضعه الله
“Barang siapa
bersikap tawadhu’ (rendah hati, andap asor) maka Allah akan meninggikan derajatnya,
dan barang siapa bersikap takabbur atau angkuh maka Allah akan merendahkannya”. (HR. at-Thabrani)
Demikian khutbah ini
disampaikan, semoga bermanfaat bagi kita sekalian. Dan semoga Allah SWT
senantiasa membimbing hati, pikiran dan setiap tindakan kita untuk selalu
berada di barisan para kiai dan kaum santri, serta tidak terseret oleh pengaruh
propaganda pihak-pihak lain, yang ingin menjauhkan masyarakat dari ajaran dan
tradisi pesantren yang sudah ratusan tahun lamanya mengajarkan agama dan akhlak
mulia di negeri ini.
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. أُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ... وَقَالَ
تَعَالَى: وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي
الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ
وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ
هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا
وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ
الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُوْنَ
لِلْعَالَمِيْنَ نَذِيْرًا. الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَخَلَقَ
كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيْرًا. خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ
يَبْتَلِيْهِ فَجَعَلَهُ سَمِيْعًا بَصِيْرًا. ثُمَّ هَدَاهُ السَّبِيْلَ إِمَّا شَاكِرًا
وَإِمَّا كَفُوْرًا. فَمَنْ شَكَرَ كَانَ جَزَاؤُهُ جَنَّةً وَحَرِيْرًا وَنَعِيْمًا
وَمُلْكًا كَبِيْرًا. وَمَنْ كَفَرَ لَمْ يَجِدْ لَهُ مِنْ دُوْنِ اللهِ وَلِيًّا
وَلاَ نَصِيْرًا. نَحْمَدُهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَمْدًا كَثِيْرًا، وَنَعُوْذُ
بِنُوْرِ وَجْهِهِ الْكَرِيْمِ مِنْ يَوْمٍ كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيْرًا. وَنَسْأَلُهُ
أَنْ يُلَقِّيَنَا يَوْمَ الْحَشْرِ نَضْرَةً وَسُرُوْرًا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ شَهَادَةً تَجْعَلُ الظُّلْمَةَ نُوْرًا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ الْمُرْسَلُ مُبَشِّرًا وَنَذِيْرًا. وَدَاعِيًا إِلَى اللهِ
بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَجَمِيْعِ أُمَّتِهِ عَدَدَ أَنْفَاسِ مَخْلُوقَاتِكَ
شَهِيْقًا وَزَفِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ رَحِمَكُمُ
اللهُ، أُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ
بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ, وَقَالَ
تَعَالَى: إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِىِّ يَآأَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ
عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَنْبِيَآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَتِكَ الْمُقَرَّبِيْنَ,
وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ
وَعَلِيٍّ وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ
لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ, وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ
يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ،
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ
سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اَللَّهُمَّ اخْتِمْ لَنَا بِالإِسْلاَمِ
وَاخْتِمْ لَنَا بِالإِيْمَانِ وَاخْتِمْ لَنَا بِحُسْنِ الْخَاتِمَةِ وَلاَ تَخْتِمْ
عَلَيْنَا بِسُوْءِ الْخَاتِمَةِ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي
الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. فَيَا عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءَ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا
اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ
وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُاللهِ اَكْبَرُ.
