Kamis, 20 Maret 2014

Khutbah Jum'at: “Refleksi Makna Perjalanan Hidup Manusia”

Naskah Khutbah Jum’at:
“REFLEKSI MAKNA PERJALANAN HIDUP MANUSIA”
Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I. 
(Disampaikan di Masjid Jami’ Al-Ikhlash Dukuhjeruk, Kec. Karangampel, 
Kab. Indramayu,Tanggal 21 Maret 2014 M/19 Jumadil Awal 1435 H)
 


Khutbah Pertama:
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ خَلَقَ الْخَلْقَ وَقَدَّرَ الأَشْيَاءَ، وَاصْطَفَى مِنْ عِبَادِهِ الرُّسُلَ وَالأَنْبِيَاءَ، بِهِمْ نَتَأَسَّى وَنَقْتَدِي، وَبِهُدَاهُمْ نَهْتَدِي، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا هُوَ لَهُ أَهْلٌ مِنَ الحَمْدِ وَأُثْنِي عَلَيْهِ، وَأُومِنُ بِهِ وَأَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ، أَنْزَلَ عَلَيْهِ رَبُّهُ الْقُرْآنَ الْمُبِيْنَ, هُدًى وَنُوْرًا لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَجَعَلَ رِسَالَتَهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ, وَآلِ كُلٍّ وَالصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ, فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.

Hadirin Jama’ah Jum’at rahimakumullah,
Seiring roda kehidupan yang terus berputar, jumat demi jumat pun berlalu, seiring itu pula khutbah demi khutbah telah sering kita dengarkan, sebagai satu ikhtiar bagi kita untuk menasehati diri agar senatiasa patuh dan tunduk kepada Allah Sang Pencipta. Melalui khutbah-khutbah itu pula, kesadaran kita seringkali muncul seketika, disertai tekad untuk menjadi hamba-Nya yang benar-benar taat. Namun, padatnya rutinitas dengan berbagai persoalan yang kita hadapi sehari-hari, acap kali membuat kesadaran dan tekad itu pelan-pelan luntur bahkan sirna. Oleh sebab itulah, melalui mimbar jumat ini, marilah kita berupaya secara lebih sungguh-sungguh memperbaharui iman dan ketaqwaan kita kepada Allah, memperbaiki kembali komitmen kita kepada Allah yang sering kita nyatakan berulang kali namun jarang diresapi, sebuah komitmen yang mestinya selalu menyertai setiap perjalanan hidup kita, sebagaimana yang selalu kita lafalkan di dalam shalat: 

إِنَّ صَلاَتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ, لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَالِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ.
“Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada satu pun sekutu bagi-Nya, demikianlah aku diperintahkan, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”

Kaum Muslimin Jamaah Jum’at yang berbahagia,
Al-Imam Abul Fida’ Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Ibnu Katsir, seorang ahli tafsir ternama, ahli hadits, sejarawan serta ahli fiqih besar abad ke-8 H, menerangkan di dalam tafsirnya, bahwa suatu ketika Umar bin Khathab RA bertanya kepada seorang sahabat bernama Ubay bin Ka’ab RA tentang “taqwa”. Walaupun istilah taqwa tersebut merupakan sesuatu yang sudah sangat mereka ketahui, namun bertanya satu sama lain di antara mereka dalam rangka lebih mendalami maknanya adalah hal yang sangat lumrah dan mereka sukai. Ubay bin Ka’ab lalu balik bertanya: “Wahai Umar, pernahkah engkau melewati jalan yang penuh duri?”, Umar bin Khathab menjawab, "Ya, saya pernah melewatinya”. Kemudian Ubay bertanya lagi: “Apa yang akan engkau lakukan saat itu?”. Umar menjawab: “Saya akan berjalan dengan sangat berhati-hati, agar tak terkena duri itu”. Lalu Ubay berkata: “Itulah takwa”.

Dari riwayat ini kita dapat mengambil sebuah pelajaran penting, bahwa taqwa adalah kewaspadaan diri, rasa takut kepada Allah, kesiapan diri, kehati-hatian agar tidak mudah terjebak dalam duri-duri syahwat dan syubhat di tengah perjalanan menuju Allah, menghindarkan diri dari perbuatan syirik, dan sekuat tenaga meninggalkan perbuatan maksiat dan dosa, serta berjuang sungguh-sungguh dalam mentaati dan melaksanakan perintah-perintah Allah dengan hati yang tunduk dan ikhlas.

Hadirin Jama’ah Jum’at rahimakumullah,
Setiap orang yang beriman pasti menyadari bahwa kehidupan di muka bumi ini bukanlah tanpa batasan waktu. Setiap orang menjalani kehidupan sesuai “kontraknya” masing-masing dalam batas waktu yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Umur manusia berbeda satu dengan lainnya, begitu pun amal dan perbuatannya. Setiap mukmin akan menyadari bahwa ia tidak akan selamanya hidup dan tinggal di dunia ini; bahwa keberadaannya di alam ini hakikatnya sedang menempuh proses perjalanan panjang menuju kehidupan akhirat yang kekal dan hakiki. Sikap yang demikian sungguh sangat berbeda dan bertolak belakang dengan sikap orang-orang yang hakikatnya tidak beriman. Sebagaimana hal ini disinggung dalam firman Allah SWT:

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
"Akan tetapi kalian (orang-orang yang ingkar) justeru lebih memilih kehidupan duniawi. Padahal sungguh kehidupan akhirat itu jauh lebih baik dan kekal. (QS. al-A’la: 16-17).

Hadirin Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,
Terkait bagaimana seharusnya kita memanfaatkan hidup, jika kita membuka lembaran kisah-kisah ulama salafus shalih terdahulu, kita akan menemukan karakteristik amal yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam konteks keilmuan misalnya, di antara mereka ada yang konsen pada bidang kajian tafsir, hadits, fiqih, akhlak, tasawuf, dan berbagai macam kajian ilmu lainnya. Namun, satu titik persamaan yang dapat kita temukan dari berbagai macam amal kajian yang digeluti para ulama tersebut, adalah ketulusan dan kesungguhan hati mereka dalam beramal demi memberikan sumbangan terbaik untuk mendidik kehidupan manusia. Sebuah amal yang tidak hanya bersifat pengabdian diri secara personal antara seorang hamba dengan Tuhannya (ibadah munfaridah), namun juga memiliki nilai manfaat yang luar biasa bagi umat manusia dan generasi setelahnya hingga sekarang (ibadah ijtima’iyah). Dalam hal ini, kiranya patut kita renungkan kembali firman Allah berikut:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu berupa (kebahagiaan) akhirat, dan janganlah kamu melupakan nasibmu di dunia; berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. al-Qashash: 77).

Hadirin yang dirahmati Allah,
Dari ayat ini kita dapat menggali beberapa point penting tentang prinsip-prinsip yang perlu kita pedomani dalam menjalani kehidupan di muka bumi:

Pertama, prinsip mengutamakan kebahagiaan akherat. Prinsip ini menganjurkan kita agar dalam melaksanakan urusan-urusan duniawi, hendaknya selalu dibarengi dengan mempertimbangkan nilai-nilai ukhrawi. Dalam hal ini, penting dipahami bahwa mengutamakan kebahagiaan akherat bukan berarti mengabaikan sama sekali persoalan duniawi. Artinya, dalam melakukan aktifitas apapun di dunia ini, dalam pekerjaan dan profesi apapun, hendaknya semua itu kita landasi atas dasar ibadah kepada Allah SWT demi meraih ridho-Nya dan berharap kebahagiaan kelak di akhirat. Dengan prinsip ini, maka segala prilaku dan usaha kita di dunia, apapun bentuknya, akan senantiasa terarah dan terjaga sekaligus bernilai ibadah, serta tidak mudah melakukan upaya-upaya kotor dengan menghalalkan segala cara demi meraih ambisi-ambisi atau syahwat duniawi.

Kedua, prinsip yang dalam ayat di atas disebutkan dalam bentuk perintah (fi’il amr): ‘ahsin’, yakni agar kita senantiasa berbuat kebaikan. Artinya, dalam melakukan aktifitas apapun, hendaknya selalu kita orientasikan untuk tujuan berbuat baik terhadap sesama, tidak sebatas memaknai kebaikan hanya untuk diri atau kelompok kita sendiri. Dengan prinsip ini, seseorang akan terhindar dari sikap ananiyah (egoisme), sebuah sikap yang sering menjadi sumber pertikaian dan permusuhan antar sesama. Selain itu, prinsip ini akan menumbuhkan sikap selalu berprasangka baik (husnudzan) kepada orang lain, serta memupuk sikap tasamuh (toleransi) dan saling menghargai.

Ketiga, prinsip “walaa tabghil fasada fil ardh’”, yaitu prinsip tidak berbuat keonaran dan kerusakan di muka bumi. Bila prinsip ini dipegang secara teguh dan sungguh-sungguh, seseorang akan dapat dengan mantap mewujudkan prinsip yang kedua, yakni kemampuan berbuat baik terhadap sesama dibarengi kemampuan menghindari kerusakan. Dalam situasi tertentu, bahkan prinsip ketiga ini harus lebih diprioritaskan ketimbang prinsip yang kedua, yaitu apabila misalnya kita dihadapkan pada 2 pilihan dalam situasi yang serba sulit dan dilematis: “antara berbuat baik (mengambil mashlahat namun kontraproduktif) ataukah mencegah kerusakan?!”. Sebagaimana dalam sebuah kaidah ushul al-fiqhiyah disebutkan: “dar’ul mafaasid muqaddamun ‘alaa jalbil mashaalih” (mencegah kerusakan, harus lebih didahulukan dari pada mengambil mashlahah atau kebaikan). Untuk menerapkan prinsip ini dan membiasakannya dalam prilaku kita sehari-hari, paling tidak, harus kita mulai dari hal-hal kecil, seperti: jika kita merasa tidak bisa berbuat baik kepada orang lain, minimal kita jangan suka menyakiti orang lain; jika kita sulit untuk bertutur kata yang baik kepada orang lain, minimal kita tidak perlu mencela atau melukai hati orang lain dengan perkataan kita, artinya kita lebih baik diam” (qul khoiran aw liyashmut). Prinsip ini juga sangat penting dipahami dalam konteks upaya amar ma’ruf nahi munkar, artinya, sebuah upaya amar ma’ruf (kebaikan) tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang munkar (cara-cara yang merusak, anarkis, bertentangan dengan hukum dan prinsip-prinsip syariat). Karena ketidakpahaman akan prinsip ini akan mengakibatkan seseorang atau sekelompok orang dengan mudah melakukan aksi-aksi brutal, anarkis, radikal, bahkan tindakan terorisme dengan mengatasnamakan “jihad” dan “agama”, sebagaimana yang marak terjadi akhir-akhir ini. Prilaku semacam itu sesungguhnya amat bertentangan dengan hakikat ajaran Islam itu sendiri sebagai rahmatan lil ‘alamin (penebar kasih sayang dan kedamaian bagi alam semesta). Sehingga tidak aneh, oleh kalangan guru-guru kita: para kiai dan ulama-ulama pesantren kharismatik yang lebih mewarisi spirit dakwah Wali Songo, prilaku-prilaku kelompok tersebut sering dikatakan dengan bahasa sindirian: “amar ma’ruf nyambi munkar”, bukan amar ma’ruf nahi munkar.

Hadirin sidang Jum’at yang dimuliakan Allah,
Ayat lain yang juga sangat penting kita renungkan dalam menapaki kehidupan ini adalah firman Allah berikut: 

وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى...
“Persiapkanlah bekal, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. al-Baqoroh: 197)

Meskipun konteks ayat ini menjelaskan tentang perbekalan dalam perjalanan ibadah haji, namun sesungguhnya ayat itu juga menjelaskan gambaran ketika manusia akan menghadap Allah di padang mahsyar kelak. Di mana, ibadah haji merupakan miniatur gambaran manusia yang akan dikumpulkan di padang mahsyar seperti halnya mereka berkumpul di padang Arafah. Maka, bekal utama yang dapat menyelamatkan manusia adalah taqwa.

Firman Allah di atas juga mengandung makna tersirat bahwa manusia memiliki 2 macam perjalanan, yakni perjalanan di dunia dan perjalanan dari dunia menuju akherat. Perjalanan manusia di dunia memerlukan bekal, baik bekal berupa makanan, minuman, harta, pangkat dan kedudukan, kendaraaan, dan sebagainya. Demikian pula perjalanan manusia dari dunia menuju akherat, juga memerlukan bekal. Bahkan bekal perjalanan yang dibutuhkan dari dunia menuju akhirat ini jauh lebih penting dari pada perbekalan di dunia.
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan, at-Tamimi, al-Bakri, at-Thabaristani, ar-Rozi, atau yang populer dengan nama Imam Fakhruddiin (Kebanggaan Islam), seorang mufassir dan ulama besar bermadzhab Syafi’i di zamannya, dalam dalam tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Kabir atau Mafaatih al-Ghaib, menyebutkan 5 perbandingan antara perbekalan di dunia dan perbekalan di akherat:

Pertama, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan menyelamatkan manusia dari ancaman penderitaan yang BELUM TENTU terjadi. Sedangkan bekal perjalanan dari dunia menuju akherat, akan menyelamatkan manusia dari penderitaan yang PASTI terjadi jika seseorang tidak membawa bekal.

Kedua, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan menyelamatkan manusia dari kesulitan sementara. Tetapi bekal perjalanan dari dunia menuju akherat, akan menyelamatkan manusia dari kesulitan selama-lamanya yang tiada tara dan tiada batasnya.

Ketiga, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan menghantarkan manusia pada kenikmatan sesaat, dan pada saat yang sama ia juga mengalami rasa sakit, keletihan dan kepayahan. Sementara bekal perjalanan dari dunia menuju akherat, akan membuat manusia terlepas dari marabahaya apapun dan terlindung dari kebinasaan yang sia-sia.

Keempat, perbekalan dalam perjalanan di dunia, pada saatnya akan kita lepaskan dan kita tinggalkan di tengah perjalanan. Adapun bekal perjalanan dari dunia menuju akherat, senantiasa akan kita bawa, dan kita akan lebih banyak menerima bekal-bekal tambahan hingga kita sampai pada tujuan, yaitu akherat.

Kelima, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan mengantarkan manusia pada kepuasan syahwat dan hawa nafsu yang rendah. Sedangkan bekal perjalanan dari dunia menuju akherat, akan semakin membawa manusia pada kesucian dan kemuliaan karena yang ia bawa adalah sebaik-baik bekal. (Tafsir ar-Raazi 5/168)

Hadirin sekalian hadaniyallahu wa iyyakum,
Demikian uraian khutbah yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat khususnya bagi pribadi khathib dan umumnya bagi seluruh jama’ah sekalian.

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ, بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ: وَالْعَصْرِ, إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ, إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ للهِ عَلَى إِحْسَانِهِ, وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ وَامْتِنَانِهِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنََّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إِلَى رِضْوَانِهِ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ, وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ, فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ, اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَاكُمْ. وَاعْلَمُوْا أَنََّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ, وَقَالَ تَعَالَى إِنََّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَنْبِيَآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَتِكَ الْمُقَرَّبِيْنَ, وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ, وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ, إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَِّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ الْمُخْلِِصِيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ ودَمِّرْ أَعْدَآئَنَا وَأَعْدَآءَ الدِّيْنِ وأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلاََءَ وَالْوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ الْفِتْنَةِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنا إِنْدُوْنِيْسِيَا خَآصَّةً وَعَنْ سَائِرِ الْبُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَآمَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ! إِنََّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ, وَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكم, وَلَذِكرُ اللهِ أَكْبَرُ.