Senin, 17 Februari 2014

Mengenal Medan Kajian Ilmu Balaghah



موضوع علم البلاغة
MEDAN KAJIAN ILMU BALAGHAH

 

A.    PENDAHULUAN

Ilmu Balâghah, sebagaimana ilmu lain, berangkat dari sebuah proses penalaran untuk menemukan premis-premis pengetahuan yang dianggap benar, untuk kemudian disatukan menjadi sekumpulan teori. Setelah teori itu terkumpul secara generik dengan pembagian-pembagiannya yang spesifik, maka ada kecenderungan untuk mempelajari bagian-bagian tersebut secara parsial—dalam hal ini banyak disebut-sebut al-Sakkâki sebagai tokoh yang mengubah balâghah dari shinâ’ah menjadi ma’rifah—dari induktif menjadi deduktif. Dari paparan tersebut tersirat bahwa setiap ilmu mempunyai obyek kajian yang membatasi ruang gerak keilmuan tertentu, agar jelas dan tidak mengaburkan pembahasan.
Sastra, sebagai medan kajian Balaghah, meskipun merupakan ekspresi yang bebas, bukanlah sesuatu yang tanpa aturan dan rumusan. Hal ini bisa dibuktikan dengan munculnya beragam ilmu sastra yang menentukan kualitas sebuah karya sastra yang dianalisa. Dalam tradisi ilmu sastra Arab, balâghah setelah ia menjadi sebuah disiplin “ilmu”, mempunyai rumusan-rumusan tertentu yang digunakan sebagai basis konkretisasi sastra dan tolak ukur keindahan dan ke-balâghah-an karya sastra. Balâghah merupakan ilmu sastra di atas kajian morfologi dan sintaksis. Kajian balâghah berpijak pada kedua ilmu tersebut, dimana secara teori prasyarat mempelajari balagah harus menguasai morfologi (sharf) dan sintaksis (nahw). Makalah ini secara ringkas berusaha untuk mendeskripsikan obyek kajian ‘Ilmu al-Balâghah.

B.     PEMBAHASAN

1)      al-Balaghahal-Fashahah
Balâghah secara etimologi berarti al-wushûl wa al-intihâ’ (sampai dan berakhir). Balâghah secara terminologi hanya ditempatkan sebagai sifat yang melekat pada kalâm (balâghatu al-kalâm) dan sifat yang melekat pada mutakallim (balâghatu al-mutakallim). Balâghat al-kalâm, berarti ungkapan yang sesuai dengan maksud yang dikehendaki, dengan kata-kata yang fasih, baik ketika ia mufrad maupun murakkab. Sedangkan kalimat yang bâligh (al-kalâm al-balîgh) adalah kalimat yang mampu mengejawentahkan ide penutur untuk disampaikan kepada lawan tutur (pendengar) dengan gambaran ide yang tidak berubah pada keduanya. Sedangkan balâghat al-mutakallim, berarti kemampuan diri untuk mencipta kalimat yang balîgh (fasîh dan mengena sasaran)[1]. Dari terminologi ini nampak jelas bagaimana balâghah mempunyai peran komunikatif—stimulus dan respon—dengan kalimat yang tidak ambigu dan mampu mewakili ide penutur.
Al-Fashâhah dalam istilah ilmu balâghah diartikan sebagai ungkapan yang jelas, mudah dipahami dan benar strukturnya, sebagaimana  biasa digunakan oleh para penyair dan penulis[2]. Fashâhah bisa terdapat dalam kata (al-mufrad), kalimat (al-kalâm), maupun penutur (al-mutakallim). Sedangkan balâghah hanya bersinggungan dengan kalimat (al-kalâm) dan penutur (al-mutakallim)-nya saja.[3] Dari pengertian balâghah dan fashâhah di atas nampak jelas bagaimana balâghah mensyaratkan aspek eksternal bahasa, yakni sampai dan mengenanya ide kalimat kepada lawan tutur. Balâghah menempatkan kalimat sebagai proses sampainya makna dari stimulus ke responden, tidak hanya pada aspek internal kalimat saja (mufrad). Pendek kata, kalimat yang balîgh mesti fashîh dan tidak sebaliknya.
Balâghah dalam terminologi disiplin ilmu berarti sebuah kemampuan untuk mengungkapkan apa yang ada dalam fikiran dengan ungkapan yang jelas maknanya dan benar strukturnya. Ini sangat berkaitan erat dengan sastra bahkan pada awalnya mencakup ilmu sastra dengan segala macam bentuk dan keindahannya[4]. Balâghah dalam pengertian ini sering dipadankan dengan retorika. Gorys Keraf mengartikan retorika sebagai suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, baik lisan maupun tertulis, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun dengan baik.[5] Susunan pengetahuan yang berupa kumulasi aturan-aturan pragmatik[6] dan estetika kalimat itulah yang dalam bahasa Arab kemudian disebut sebagai Ilmu Balâghah.
Balâghah mempunyai 3 cabang ilmu yaitu (1) Ilmu al-Ma’âni (2) Ilmu al-Bayân, dan (3) Ilmu al-Badî’, ketiganya mempunyai obyek kajian yang masing-masing saling melengkapi.

2)      Ilmu al-Ma’ani
‘Ilmu Ma’âni adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang menjelaskan pola kalimat agar bisa disesuaikan dengan kondisi dan tujuan yang dikehendaki penutur. Tujuan ‘ilmu al-ma’âni adalah menghindari kesalahan dalam pemaknaan yang dikehendaki penutur yang disampaikan kepada lawan tutur. Ilmuan bahasa yang dianggap sebagai pencetus ilmu ini adalah ‘Abdul Qâhir al-Jurjani ( w. 471 H)[7].
Dari terminologi ‘ilmu al-ma’âni yang ingin menyelaraskan antara teks dan konteks, maka obyek kajiannya-pun berkisar pada pola-pola kalimat berbahasa Arab dilihat dari pernyataan makna dasar —ashly, bukan tab’iy— yang dikehendaki oleh penutur. Menurut as-Sakkâki, yang dikehendaki oleh pembacaan model ma’âni bukan pada struktur kalimat itu sendiri, akan tetapi pada “makna” yang terkandung dalam tuturan. Jadi yang terpenting dalam pembacaan ma’ani adalah pemahaman pendengar terhadap tuturan penutur dengan pemahaman yang benar, bukan pada tuturan itu secara otonom.[8]
Adapun obyek kajian Ilmu Ma’ani adalah tema-tema berikut: (a) Kalâm Khabar (b) Kalâm Insya’ (c) al-Qashr (d) Îjaz, Ithnab dan Musâwah, dan (e) al-Washl dan al-Fashl.

a)     Kalâm Khabar (Statement Sentence)
Kalâm Khabar atau kalimat berita adalah kalimat yang penuturnya bisa dikatakan jujur atau bohong. Penutur dikatakan jujur jika kalimatnya sesuai dengan fakta, dan dikatakan bohong jika kalimatnya tidak sesuai dengan fakta[9]. Contoh kalâm khabar “purnama telah datang dan pekat-pun berlalu”, bisa saja berita ini benar namun bisa juga salah. Adapun tujuan kalimat berita (kalâm khabar) bermacam-macam, diantaranya:
Ø      Sebagai permohonan belas kasihan (istirhâm), contoh: إني فقير إلى عفو ربي
Ø      Menampakkan kelemahan dan kepasrahan , contoh: إني وهن العظم مني واشتعل الرأس شيبا
Ø      Penyesalan dari sesuatu yang diharapkan, contoh: إني وضعتها أنثى
Dilihat dari sisi susunan gramatikalnya, kalâm khabar dibagi ke dalam 2 bentuk[10]:
Pertama: al-jumlah al-fi’liyyah (verbal sentence), menunjukkan suatu pekerjaan yang  temporal, dengan tiga keterangan waktu: sekarang, yang telah berlalu, dan yang akan datang. Contoh:أشرقت الشمس وقد ولى الظلام هاربا
Kedua: al-jumlah al-ismiyah (nominal sentence), biasanya untuk menentukan ketetapan sifat kepada yang disifati dan untuk menyatakan kebenaran umum (general truth). Contoh: الأرض متحركة والشمس مشرقة

 b)     Kalâm Insya’ (Originative Sentence)
Kalâm Insya’ adalah kalimat yang penuturnya tidak bisa dinilai bohong ataupun jujur.[11] Kalâm insya’ dibagi dalam 2 bagian, yaitu (1) Insya’ thalaby (2) Insya’ ghairu thalaby.
1)      Insya’ Thalaby
Insya’ thalaby adalah kalimat yang menghendaki suatu permintaan yang belum diperoleh saat meminta. Insya’ thalaby dibagi dalam 5 macam, yaitu[12]:
Ø      al-ِِِAmr
Al-Amr adalah meminta terlaksananya suatu pekerjaan kepada lawan bicara dengan superioritas dari penutur untuk melaksanakan perintah. Dilihat dari bentuk kalimatnya, al-amr dalam bahasa Arab memiliki 4 bentuk, yaitu[13]:
·         Fi’il amr, contoh: يَايَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَءَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا (مريم: 12)
·         Fi’il mudhâri’ yang bersambung dengan lâm al-amr, contoh: لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ (الطلاق: 7)
·         Ism fi’il al-amr, contoh: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَيَضُرُّكُمْ مَّنْ ضَلَّ إِذَااهْتَدَيْتُمْ َ(المائدة: 105)
·         Mashdar sebagai ganti fi’il amr, contoh: وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا (البقرة: 83)
Ø      al-Nahy
Al-nahy adalah meminta dihentikannya suatu pekerjaan kepada lawan bicara dengan superioritas dari penutur untuk melaksanakan permintaan. Struktur kalimatnya disusun dengan menyambungkan fi’il mudhâri’ dengan lâ nâhiyah (berarti: jangan..!)[14] contoh: وَلاَتُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ ( الأعرف: 85)
Ø      al-Istifhâm
Al-Istifhâm adalah mencari tahu tentang sesuatu yang belum diketahui sebelumnya, dengan menggunakan adât al-istifhâm (kata sandang untuk istifhâm), yaitu: hamzah, hal, man, mâ, matâ, ayyâna, kayfa, aina, kam dan ayyu. Dilihat dari segi bentuk permintaannya, istifhâm dibagi menjadi 3 macam, yaitu[15]:
·         Pertanyaan yang kadang meminta konfirmasi dan kadang meminta afirmasi (tashawwur). Adât yang digunakan adalah hamzah, contoh: أعلي مسافر أم خالد؟  -  أعلي مسافر؟
·         Pertanyaan yang meminta afirmasi saja, adât al-istifhâm yang digunakan adalah hal, contoh: هل يعقل الحيوان؟
·         Pertanyaan yang meminta konfirmasi saja, adât yang digunakan adalah semua adât al-istifhâm kecuali hal dan hamzah, contoh:
يسئلونك عن الساعة أيان مرسها؟
Ø      al-Tamannî
Al-Tamannî adalah mengharapkan sesuatu yang mustahil digapai atau yang tidak mampu digapai[16].
·         Sesuatu yang mustahil digapai, contoh:
ألا ليت الشباب يعود يوما * فأخبره بما فعل المشيب
·         Sesuatu yang mungkin digapai namun tidak mampu teraih, contoh:
يَالَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَآأُوتِىَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (القصص:79)
Ø       al-Nidâ’
al-Nidâ’ adalah meminta kedatangan sesorang atau sesuatu dengan kata ganti yang bermakna “aku memanggil”. Ada 8 kata sandang dalam al-Nidâ’, yaitu: hamzah, aiy, yâ, wâ, âa, ayâ, hayâ dan wâ. Hamzah dan aiy berfungsi untuk memanggil sesuatu yang berada di dekat pemanggil, sedangkan `adât yang lain untuk sesuatu yang jauh dari pemanggil. Contoh[17]:
أيا جميع الدنيا لغير بلاغة  * لمن تجمع الدنيا و أنت تموت
Selain berfungsi memanggil, al-nidâ’ memiliki makna yang beragam seiring konteks yang melingkupinya, macam-macam arti nidâ’ antara lain:
·         al-Ighrâ` (bujukan, anjuran), seperti anjuran kepada seseorang yang mondar mandir mau masuk rumah musuhnya: يا شجاع أقدم
·         al-Zijr (hardikan, cacian), contoh:
يا فؤدي متى المتاب ألما *  تصح والشيب فوق رأس ألما
·         al-Tahassur wa al-Taujî` (penyesalan dan kesakitan), contoh:
وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَالَيْتَنِي كُنتُ تُرَابًا (النباء:40)
·         al-Istighâtsah (permintaan pertolongan), contoh:
يا ألله…. حبي وهوائي مكتوم إليها
·         al-Nudbah (ratapan/elegi), contoh:
فواعجبا كم يدعي الفضل ناقص * ووا أسفا كم يظهر النقص فاضل
2)      Insya’ Ghair Thalaby
Insya’ Ghairu Thalaby adalah kalimat yang di dalamnya tidak menghendaki suatu permintaan. Insya’ ghairu thalaby bisa berbentuk al-Madh wa al-Dzam, Shiyâgh al-’Uqûd, al-Qasam, dan al-Ta’ajjub wa al-Raja’. Contoh: [18]
Ø      al-Madh wa al-Dzam, menggunakan kata ni’ma, bi`sa dan habbadza, contoh: نعم الكريم حائم….  وبئس البخيل مادر
Ø      Shiyaghu al-’Uqûd, kebanyakan menggunakan shîghah fi’il madhi, contoh: بعتك هذا ووهبتك ذاك
Ø      al-Qasam, menggunakan wawu, ba’, ta’ dan lain sebagainya, contoh: لعمرك ما فعلت كذا
Ø      al-Ta’ajjub, biasanya berisi dua pernyataan yang berkebalikan, contoh: كيف تكفرون بالله وكنتم أمواتا فأحياكم (البقرة 28)
Ø      al-Raja’, biasanya menggunakan, ‘asâ, hariyyu (la’alla) dan ikhlaulaqa, contoh: عسى الله أن يأتي بالفتح

c)      Al-Qashr (Rhetorical Restriction)
Al-Qashr berarti mengkhususkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan cara yang khusus pula, kata pertama disebut al-maqshûr (yang mengkhususkan) dan kata yang kedua disebut al-maqshûr ‘alaihi (yang dikhususkan)[19]. Metode pembentukan qashr ada 4 macam yaitu:
1.      al-nafyu wa al-istitsnâ`, contoh: ما شوقي إلا شاعر وما شوقي إلا شاعر
2.      innamâ, contoh: إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُا (الفاطر: 28)
3.      mendahulukan kata yang seharusnya berada di akhir, contoh: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (الفاتحة: 5)
4.      athaf dengan lâ, bal dan lakin, contoh: عمر الفتى ذكره لا طول مدته * وموته حزيه لا يومه الداني
Qashr dilihat dari eksistensinya ada 2 macam:
Pertama: Qashr Haqîqy yaitu pengkhususan sesuatu berdasarkan realitas kenyataan tuturan dan tidak keluar dari itu, contoh: لا إله إلا الله
Kedua: Qashr Idhôfi yaitu pengkhususan sesuatu yang didasarkan pada penyandaran sesuatu yang berada di luar ujaran, contoh: إنما حسن شجاع

d)     Îjaz (Brachylogi), Ithnab (Periphrasis), Musâwah (Equality)
1.      Îjaz adalah adanya makna yang luas di balik kalimat yang pendek.  Îjaz ada 2 macam, ada kalanya Qashr (meringkas) dan ada kalanya Hadzf (membuang)[20]. Contoh:
ولكم فى القصاص حياة يا أولى الألباب (القصر)
وجاهدوا فى الله حق جهاده (الحذف)
2.      Ithnab[21] adalah menambah kata-kata dari makna yang sebenarnya untuk tujuan tertentu. Contoh:  تنزل الملائكة و الروح فيها
3.      Musâwah adalah kalimat yang kata-katanya sepadan dengan maknanya, dan maknanya sepadan dengan kata-katanya, tidak lebih dan tidak kurang, contoh: ستبدى لك الأيام ما كنت جاهلا  *  ويأتيك بالأخبار من لم تزود

e)      Al-Fashl dan al-Washl
Al-Washl adalah menyambungkan kalimat dengan kalimat yang lainnya dengan huruf wawu[22], contoh: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (التوبة: 119)
Al-Fashl adalah kebalikan dari al-washl, yakni tidak menyambungkan antara dua kalimat, contoh:
وَلاَتَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَالسَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (فصلت:34)

3)      Ilmu al-Bayan
Al-Bayân secara etimologi berarti penyingkapan, penjelasan dan keterangan. Sedangkan secara terminologi, Ilmu Bayân berarti  dasar dan kaidah-kaidah yang menjelaskan keinginan tercapainya satu makna dengan bermacam-macam metode (gaya bahasa), bertujuan menjelaskan rasionalitas semantis dari makna tersebut.[23]
Berangkat dari pengertian Ilmu Bayan yang berisi bermacam-macam metode untuk menyampaikan makna, maka obyek kajiannya-pun berkisar pada berbagai corak gaya bahasa yang merupakan metode penyampaian makna. Obyek kajian Ilmu Bayan meliputi: (1) Tasybîh (2) Majâz dan (3) Kinâyah.

a)     al-Tasybîh (Comparison[24])
Al-Tasybîh adalah seni penggambaran yang bertujuan menjelaskan dan mendekatkan sesuatu pada pemahaman. Tasybîh merupakan ungkapan yang menerangkan adanya kesamaan sifat diantara beberapa hal, yang ditandai dengan kata sandang kaf (bak/laksana) dan sejenisnya, baik secara tersurat maupun tersirat. Tasybîh mempunyai beberapa unsur, antara lain: Musyabbah, Musyabbah Bih --keduanya disebut sebagai 2 titik pokok Tasybih--, Adâtu al-Tasybîh, dan Wajhu al-Syibhi.[25] Dari beberapa unsur ini lalu memunculkan beberapa macam tasybih, yaitu:
Ø      Tasybih Mursal, yaitu tasybih yang disebutkan adât (kata sandang)-nya, contoh: أنت كالليث في الشجاعة والإقــ * دام والسيف في قراع الخطوب
Ø      Tasybih Muakkad, yaitu tasybih yang dibuang adât (kata sandang)-nya, contoh: أنت نجم في رفعة وضياء * تجتليك العيون شرقا وغربا
Ø      Tasybih Mujmal, yaitu tasybih yang dihilangkan wajah syibhi-nya, contoh: كأنهن بيض مكنون
Ø      Tasybih Baligh, yaitu tasybih yang tidak ada adat dan wajah shibhi-nya, contoh: ركبوا الدياجى والسروج أهــ * لة وهم بدور والأسنة  أنجم

b)     Al-Majâz (Allegory)[26]
Majâz secara etimologi terbentuk dari kata jâza al-syai’ yajûzuhu (melampaui sesuatu). Sedangkan secara terminologi, majâz menurut al-Jurjani berarti nominal yang dimaksudkan untuk menunjuk sesuatu yang bukan makna tekstual, karena adanya kecocokan antara keduanya (makna tekstual dan kontekstual).[27] Majâz ada 2 macam, yaitu:
1)        Majâz Lughawi
Majâz Lughawi adalah ujaran yang digunakan untuk menunjuk sesuatu diluar makna tekstual (dalam istilah percakapan) karena adanya korelasi (dengan makna kiasan), dengan adanya indikasi yang melarang pemaknaan asli (tekstual).[28] Majâz Lughawi dibagi lagi menjadi 2 macam: Isti’ârah dan Majâz Mursal.
Ø      Isti’ârah
Istiârah adalah majâz dimana hubungan antara makna asli dengan makna kiasan bersifat hubungan ke-serupa-an. Isti’ârah dilihat dari segi penyebutan musyabbah dan musyabbah bih-nya dibagi lagi menjadi 2 macam[29]:
·         Al-Isti’ârah al-Tashrihiyyah: adalah isti’ârah yang diutarakan dengan tetap menyebutkan kata-kata musyabbah bih-nya, contoh:
وأقبل يمشى فى البساط فما درى * إلى البحر يسعى أم إلى البدر يرتقى
·         Al-Isti’arah al-Makniyyah: adalah isti’ârah yang dibuang musyabbah bih-nya dan digantikan dengan sesuatu yang lazim dengan itu, contoh:
وإذا المنية أنشبت أطفارها *   ألفيت كل تميمة لا تنفع
Dilihat dari segi pengambilan kata-kata yang dijadikan isti’ârah, isti’ârah ada 2 macam, yaitu:
·         Isti’ârah Ashliyyah: yaitu isti’ârah yang kata-kata isti’arah-nya berasal dari ism jins (generik noun: kumpulan noun berupa sesuatu non-personal), contoh:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ (إبراهيم: 1)
·         Isti’ârah Taba’iyyah: yaitu isti’ârah yang kata-kata isti’arah-nya diambil dari isim, fiil ataupun huruf, contoh:
وَلأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ وَلَتَعْلَمُنَّ أَيُّنَا أَشَدُّ وَأَبْقَى (طه: 71)
Dilihat dari pengkiasan musyabbah dan musyabbah bih-nya, isti’arah dibagi menjadi 3 macam:
·         Isti’arah al-Murasysyahah: yaitu isti’ârah yang disebutkan pengkiasan pada musyabbah bih-nya, contoh:
أُولَـئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوا الضَّلاَلَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَت تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ (البقرة: 16)
·         Isti’ârah al-Mujarradah: yaitu isti’ârah yang disebutkan pengkiasan pada musyabbah-nya, contoh:
وليلة مرضت من كل ناحية * فما يضئ لـها نجم ولا قمر
·         Isti’ârah al-Muthlaqah: yakni isti’ârah yang tidak disebutkan pengkiasan pada musyabbah dan musyabbah bih-nya, ataupun disebutkan keduanya secara bersamaan, contoh:
الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَآأَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُوْلَـئِكَ
هُمُ الْخَاسِرُونَ (البقرة: 27)
Ø      Majâz Mursal
Majâz Mursal adalah majâz yang hubungan pemaknaannya tidak bersifat ke-serupa-an. Majâz mursal dilihat dari segi pengkiasannya dibagi ke dalam beberapa bentuk, diantaranya[30]:
·         as-Sababiyyah , contoh: له أياد علي سابغة  *  أعد منها ولا أعددها (المتنبى)
·         al-Musabbabiyyah, contoh: فمن شهد منكم الشهر فليصمه (الآية)
·         al-Kulliyah, contoh: يقولون بأفواههم ما ليس في قلوبهم (الآية)
·         al-Juz`iyyah, contoh: فرجعنك إلى أمك تقر عينها ولا تحزن (الآية)
·         I’tibâr mâ kâna, contoh: وآتو اليتامى أموالـهم (الآية)
·         I’tibâr mâ yakûnu, contoh: إني أرني أعصر خمرا  (الآية)
·         al-Hâliyah, contoh: واسأل القرية التى كنا فيها (الآية)
·         al-Mahalliyah, contoh: وأما الذين ابيضت وجوههم ففى رحمة الله (الآية)
2)        Majâz ‘Aqli
Majâz ‘aqli adalah majâz yang menyandarkan fi’il (verb) atau sejenisnya bukan kepada pemaknaan yang sebenarnya karena adanya indikasi yang melarang pemaknaan yang sebenarnya (tekstual)[31]. Ada beberapa model hubungan pengkiasan dalam majâz ‘aqli, diantaranya:
Ø      hubungan sebab akibat,  contoh: وإذا تليت عليهم آياته زدتهم إيمانا
Ø      hubungan waktu, contoh: يوما يجعل الولدان شيبا
Ø      hubungan tempat, contoh: وجعلنا الأنهار تجرى من تحتهم

c)      Al-Kinâyah (Metonymy[32])
Kinâyah secara etimologi adalah sesuatu yang dibicarakan oleh seseorang namun maksudnya lain. Secara terminologi, kinâyah berarti ujaran yang dimaksudkan bukan untuk makna sesungguhnya, namun diperbolehkan menggunaan makna sesungguhnya karena tidak adanya indikasi yang melarang keinginan pemaknaan haqiqî.[33] Kinâyah dilihat dari segi kedudukan kalimatnya dibagi menjadi 3, yaitu[34]:
Ø      Berkedudukan sebagai sifat, contoh: قالت الخنساء فى أخيها صخر: طويل النجاد رفيع العماد * كثير الرماد إذا ما شتا
Ø      Berkedudukan sebagai mausûf, contoh: الضاربين بكل أبيض مخدام * والطاعنين مجامع الأضغان
Ø      Berkedudukan sebagai nisbat, contoh: إن السماحة والمروءة والندى * فى قبة ضربت على ابن الحشرج

4)      Ilmu al-Badi’
Al-Badî’ secara etimologi adalah kreasi yang dicipta tidak seperti ilustrasi yang telah ada. Secara terminologi, Ilmu Badi’ adalah ilmu yang mempelajari beberapa model keindahan stylistika, beberapa pepaês—ornamen perhiasan kalimat—yang menjadikan kalimat indah dan bagus, menyandangi kalimat dengan kesantunan dan keindahan setelah disesuaikan dengan situasi dan kondisi.[35]
Secara gais besar Ilmu Badî’ mempunyai 2 obyek kajian, yaitu al-Muhassinât al-Lafdziyyah (keindahan ujaran) dan al-Muhassinât al-Ma’nawiyyah (keindahan makna).

1)        al-Muhassanât al-Lafdziyyah
Ø      al-Jinâs (Paronomasia; Pun) [36]
Jinâs adalah adanya kesamaan 2 kata dalam pelafalan namun berbeda dalam pemaknaan. Ada 2 macam jinâs, yaitu[37]:
·         Jinâs tâm: adanya kesamaan antara 2 kata baik dari aspek jumlah hurufnya, macam hurufnya, syakl-nya dan urutannya. Contoh:
وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَالَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ كَذَلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ (الروم: 55)
·         Jinas ghairu tâm: adanya persamaan antara 2 kata dalam salah satu macam dari keempat macam persyaratan di atas (syakl, huruf, jumlah dan urutannya). Contoh:
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلاَتَقْهَرْ وَأَمَّا السَّائِلَ فَلاَتَنْهَرْ (الضحى:9-10)
Ø      al-Saj’ (Rhimed Prose)
Saj’ dalam terminologi balâghiyyin berarti adanya 2 kalimat atau lebih yang mempunyai akhiran dengan huruf yang sama. Kata terakhir pada setiap kalimat disebut dengan fâshilah, dan setiap kalimat disebut dengan faqrah.[38] Ada 3 macam saj’, yaitu:
·         Al-Saj’ al-Mutharraf, yaitu 2 kalimat atau lebih yang wazan fashilah-nya berbeda namun bunyi akhirnya sama, contoh:
أَلَمْ نَجْعَلِ اْلأَرْضَ مِهَادًا   وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا (النبأ:6-7)
·         Al-Saj’ al-Murashsha’, yaitu 2 kalimat atau lebih yang lafadz pada setiap faqrah-nya memiliki wazan dan qafiyah yang sama, contoh:
فهو يطبع الأسجاع بجواهر لفظه، ويقرع الأسماع بزواجر وعظه
·         Al-Saj’ al-Mutawâzi, adalah 2 faqrah yang sama dalam wazan dan qafiah-nya, contoh:
فِيهَا سُرُرُُمَّرْفُوعَةٌ   وَأَكْوَاب ُُمَّوْضُوعَةٌ (الغاشية:13-14)

Ø      al-Tarshî’ (Homoeptoton)
Tarshî’ adalah adanya kesamaan antara lafadz dalam faqrah pertama (syathrah pertama) dengan faqrah sesudahnya dalam wazan dan qafiyah-nya[39]. Adakalanya sama persis dalam wazan dan a’jaz-nya, seperti:
إِنَّ اْلأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ  وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ (الانفطار:13-14)
dan adakalanya berdekatan saja dalam wazan dan a’jaz-nya, contoh:
وَءَاتَيْنَاهُمَا الْكِتَابَ الْمُسْتَبِينَ وَهَدَيْنَاهُمَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (الصافات: 117-118)
Ø      al-Tasythir (Internal Rhyme)
Tasytîr adalah pembagian penyair terhadap shadr dan ‘ajuz syair masing-masing menjadi 2 bagian, dan antara shadr dan ‘ajuz, saja’-nya dibuat berbeda. Contoh:[40]
كالزهر فى ترف والبدر فى شرف * والبحر فى كرم والدهر فى همم

2)        al-Muhassanât al-Ma’nawiyyah
Ø      al-Tauriyah (Paronomasia; Pun)
Al-Tauriyah adalah ujaran yang mempunyai 2 makna, pertama, makna yang dekat dari penunjukan ujaran yang nampak, kedua, makna yang jauh dan penunjukan katanya tersirat dan inilah makna yang dikehendaki. [41] Contoh: وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُم بِالَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَاجَرَحْتُم بِالنَّهَارِ (الأنعام:60)
Ø      al-Thibâq (Antithesis)
Thibâq adalah terkumpulnya suatu kata dengan lawan-kata-nya dalam sebuah kalimat, ada 2 macam thibâq[42], yaitu:
·         Thibâq al-Ijab, yaitu thibâq yang kedua hal yang berlawanan itu tidak hanya dibedakan dengan mempositifkan dan menegatifkan saja, contoh: وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ (الكهف: 18)
·         Thibaq al-Salbi, yaitu thibâq yang hanya memperlawankan kata negatif dan positifnya saja, contoh:
فَلاَ تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلاَ تَشْتَرُوا بِئَايَاتِي ثَمَنًا قَلِيلاً وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (المائدة:44)
Ø      al-Muqâbalah (Antithesis)
Muqâbalah adalah membuat susunan 2 makna atau lebih, kemudian membuat susunan yang berlawanan dari makna itu secara berurutan.[43] Contoh:
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى  وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى  فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى  وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى  وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى 
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى (الليل:5-10)
Ø      Husnu al-Ta’lil (Conceit)
Husnu al-ta’lil adalah pengingkaran seorang sastrawan secara tersurat maupun tersirat atas sebuah konvensi dan mendatangkan konvensi sastra baru sebagai cara yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan [44]. Contoh: ماهتزب الأغصان فى الروض بفعل النسيم ولكنها رقصت غبطة بقدومكم
Ø      Uslûb al-Hakîm (Deliberate Equivocation)
Uslûb al-Hakîm terjadi ketika orang yang diajak berbicara menjawab dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang diharapkan orang yang bertanya. Dengan cara keluar dari pentanyaan itu, atau dengan menjawab sesuatu yang tidak ditanyakan, ataupun membawa pembicaraan kepada topik lain, sebagai sebuah isyarat bahwa penanya pantasnya tidak usah menanyakan hal itu, atau berbicara pada topik yang diharapkan lawan bicara.[45] Contoh:
يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ (البقرة: 189)
Selain beberapa macam muhassinât al-ma’nawiyyah di atas, para ulama balaghah masih banyak menyebutkan pola-pola lain seperti itbâ’, istitbâ’, tafrî’ dan lain sebagainya, namun yang paling sering dikemukakan dan dijumpai adalah 5 pola di atas.

C.    KESIMPULAN
Obyek kajian ilmu balâghah merupakan 3 serangkai retorika bahasa Arab yang saling melengkapi. Ilmu Ma’ani, ia merupakan kajian makna pertama yang menyelaraskan ujaran dengan situasi dan kondisi. Setelah memahami makna pertama dari sebuah ujaran, Ilmu Bayan mengajak pembaca berfantasi memahami sebuah ide dengan beberapa style sastra yang kemudian disempurnakan irama dan maknanya oleh Ilmu Badi’.
Demikian pemaparan singkat tentang obyek kajian ilmu balâghah. Menurut penulis, ilmu sastra --termasuk di dalamnya ilmu balâghah--, merupakan sebuah struktur yang mengejawentah dari konvensi (rasa sastra) menjadi sebuah teori. Namun struktur itu bukan sesuatu yang statis, akan tetapi merupakan proses strukturasi dan destrukturasi yang harus selalu hidup dan berkembang. Semoga anugerah nalar dan lisan mampu menjadi pelita pengertian, pemahaman, dan pencerahan. [ ]

D.    EPILOG (Fashahah dan Balaghah dalam Perspektif Ulama Nahwu, Ulama Bahasa, dan Ulama Balaghah) 

"الفصاحة والبلاغة: بين النحاة, واللغويين, والبلاغيين"
أن النحاة واللغويين سبقوا البلاغيين إلى تحديد بعض مفهومات "الفصاحة". ولم يكن للأولين من النحاة واللغويين موقف محدد يفرقون به في نطاق الإستعمال بين فصاحة الكلمة وفصاحة الكلام, إذ كان يكفيهم أن يقال: أن ما جاء عن المتكلم الفصيح فهو فصيح. أما البلاغيون فلم تكن فكرة "الفصاحة" عندهم مرتبطة "بالنقاء" والبعد عن مخالطة الأعاجم والتأثر بهم وحسب, وإنما أضافوا إلى ذالك اعتبارات أخرى تتعلق بما من العلاقة الطبيعية بين الرمز ومعناه. ذالك أن البلاغيين بعد أن فرقوا في النظر بين فصاحة الكلمة وفصاحة الكلام, وارتضوا فيهما مراعاة القياس الصرفي والنحوي, شرطوا للكلمة المفردة أن تسلم من "الغرابة" و "الكراهة في السمع", وللكلام أن يسلم من "التعقيد اللفظي" و "التعقيد المعنوي", ولهما معا أن يخلوا من "التنافر الصوتي". ومغزى هذا أن فصاحة اللغويين فصاحة "بيئة", وفصاحة البلاغيين فصاحة "ذوق".[46]
وإذا كانت البلاغة هي "بلوغ المعنى ولما يطل سفر الكلام" كما يقول ابن المعتز. أوهي "حسن الإبلاغ والتبليغ", أو على حد عبارة السكاكي "البلاغة هي بلوغ المتكلم في تأدية المعنى حدا له اختصاص بتوفية خواص التراكيب حقها, وإيراد أنواع التشبيه والمجاز والكناية على وجهها". فإن التبليغ في كل ذالك يرتبط بالكلام المفيد, دون الكلمة المفردة. وهكذا تصبح البلاغة وصفا للكلام (وأقله الجملة المفيدة, ولا حد لأكثره), وللمتكلم أيضا فيوصف كل من هذين بأنه "بليغ" أو "غير بليغ", وإذا كان حد البلاغة أنها "مطابقة الكلام لمقتضى الحال التي يورد فيها مع فصاحته" فإن ذالك نفسه يدلنا على حد الكلام البليغ والمتكلم البليغ. [46]       

END NOTES:
[1] Lihat. Ahmad Hasyimi. Jawâhir al-Balâghah.Beirut: Dâr al-Fikri. 1994. hlm. 28-31
[2] Ibid. hlm. 7.
[3] Jadi yang ada hanya istilah al-lafdhu al-fasîh dan tidak ada al-lafdhu al-baligh, sedangkan kalimat (kalâm) dan penutur (al-mutakallim) bisa fasîh dan juga balîgh. Lihat Majdi Wahbah dan Kamil Muhandis. Mu’jam al-Musthalahât al-’Arabiyyah fi al-Lughah wa al-Adab. Beirut: Maktabah Lubnan. Cet. II. 1983. hlm. 260.
[4] Kemudian ilmu balâghah perlahan-lahan terpisah dari sastra menjadi ilmu yang otonom dengan obyek pembelajaran yang jelas diantara ilmu-ilmu bahasa arab. Ibid. hlm. 259.
[5] Lihat, Gorys Keraf. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Cet. XIV. 2004. hlm. 3.
[6] J.W.M. Verhaar mengartikan pragmatik sebagai cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan. Lihat. J.W.M. Verhaar. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Cet. III. 2001. hlm. 14.
[7] Ahmad al-Hasyimi. Op.cit. hlm. 39-40.
[8] Al-Sakkâki sering disebut sebagai orang pertama yang menulis ilmu balâghah secara sisitematis, meskipun dia masih menggabungkan ilmu balâghah dengan ilmu nahwu, ilmu sharaf, semantik dan ilmu syi’ir. Lihat. Yûsuf ibn Abi Bakar Ya’kub ibn ‘Ali al-Sakkâki. Miftâhul ‘Ulûm. Beirut: Dâru al-Kutub al-’Ilmiyyah. Cet. II. 1987. hlm. 161.
[9] ‘Ali al-Jarim dan Musthafa Amin. Al-Balâghah al-Wadhihah. Mesir: Dâr al-Ma’ârif. Cet. X. 1977. hlm. 139.
[10] Haddam Banna’. Al-Balâghah: fi ‘Ilm al-Ma’ani. Ponorogo: Darussalam Press. hlm.13-16, dan Ahmad Hasyimi. Op.cit. hlm. 59-60.
[11] ‘Ali al-Jarim dan Musthafa Amin. Op.cit. hlm. 139.
[12] Haddam Banna’. Loc.cit. hlm. 22.
[13] Lihat. Ibid. hlm.22-23.
[14] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. Op. Cit. hlm. 184-187, dan Haddam Banna’. Ibid. hlm. 27-28.
[15] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. Ibid. hlm. 192-199, dan Haddam Banna’, Ibid. hlm. 29-38.
[16] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. Ibid. hlm. 206-207, dan Haddam Banna’, Ibid. hlm. 39.
[17] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. Ibid. hlm. 210-212, dan Haddam Banna’, Ibid. hlm. 40-43.
[18] Insya’ Ghairu Thalabi biasanya tidak dibahas Ulama Balâghah karena kebanyakan bentuknya pada dasarnya merupakan kalâm khabar yang berlawanan dengan kalâm insya’. Lihat. Ahmad Hasyimi. Op.cit. hlm. 6.
[19]Loc. cit. hlm. 154
[20] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. Ibid. hlm. 239-250, dan Haddam Banna’, Ibid. hlm. 66-77.
[21] Ithnâb dalam bahasa Indonesia hampir mirip dengan istilah Pleonasme dan Tautologi, yang merupakan acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan, atau juga bisa disamakan dengan Perifrasis, hanya saja perifrasis kata-kata yang berkelebihan itu dapat diganti dengan satu kata saja dalam pleunasme kata-kata yang berkebihan itu dapat dihilangkan Lihat. Gorys Keraf. Op.cit. hlm.133-134.
[22] Ahmad Hasyimi. Op.cit. hlm. 170-171.
[23] Ibid.. hlm. 212.
[24] Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat ekplisit yang langsung menyatakan sesuatu dengan yang lain. Lihat. Gorys Keraf. Op,cit. hlm. 138.
[25] Haddam Banna’.  al-Balâghah, fi Ilmi al-Bayan. Ponorogo: Darussalam Press. hlm. 23-26, dan ‘Ali Jarim dan Mustafa Amin. Op.cit. hlm. 20.
[26] Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan, makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Lihat. Goris Keraf. Op.cit. hlm. 140.
[27] Majdi Wahbah dan Kamil Muhandis. Op.cit. hlm. 333.
[28] Ahmad Hasyimi. Op.cit. hlm. 235.
[29] Ibid. hlm.262, Hadam Banna’. Op.cit. hlm. 61-66.
[30] Lihat. Haddam Banna’. Op.cit. hlm. 80-84.
[31] ‘Ali Jarim dan Mustafa Amin. Op. Cit. hlm. 117. dan Ahmad Hasyimi. Op. Cit. hlm. 258.
[32] Kata metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan anoma yang berarti nama. Dengan demikian metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Lihat. Gorys Keraf. Op.cit. hlm. 142.
[33] Ahmad Hasyimi. Loc.cit. hlm. 297.
[34] Haddam Banna’. Op.cit.hlm. 92-95.
[35] Ahmad Hasyim. Loc.cit. hlm. 308.
[36] Pun atau paromonasia adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi. Ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada permainan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya. Lihat. Gorys Keraf. Op.cit. hlm.145.
[37] Muhammad Ghufran. Balâghah: Ilmu Badi’. Ponorogo: Darussalam Press. hlm. 23-25.
[38] Ibid. hlm. 29-31 dan Ahmad Hasyimi. Op.cit. hlm. 351-352.
[39] Muhammad Ghufran. Ibid. hlm. 33-35, dan Ahmad Hasyimi. Ibid. hlm. 351-352.
[40] Muhammad Ghufran. Ibid. hlm-38-40.
[41] Ahmad Hasyimi. Loc.cit. hlm. 310-311.
[42] Muhammad Ghufran. Loc.cit. hlm. 56-57.
[43] Ahmad Hasyimi. Loc.cit. hlm. 314-315, dan Ibid. hlm. 60-61.
[44] Ali Jarim dan Musthafa Amin. Op.cit. hlm. 288-289, dan Ibid. hlm. 66-68.
[45] ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. Op.cit. hlm. 295-296, dan Muhammad Ghufran. Ibid. hlm. 66-68. 
[46] Lihat: Dr. Tammam Hassan. al-Ushul. Beirut: ‘Alam al-Kutub. 2000. hlm. 308.
[47] Ibid. hlm. 309.


REFERENSI/BAHAN BACAAN

Banna’, Haddam. Al-Balâghah: fi ‘Ilm al-Ma’ani. Ponorogo: Darussalam Press. (t.t.).
____________. Al-Balâghah:  fi Ilmi al-Bayan. Ponorogo: Darussalam Press. (t.t.).
Ghufran, Muhammad. Al-Balâghah: fi Ilmi al- Badi’. Ponorogo: Darussalam Press. (t.t.).
Hassan, Tammam. Al-Ushul. Beirut: ‘Alam al-Kutub. 2000.
Hasyimi, Ahmad. Jawâhir al-Balâghah. Beirut: Dâr al-Fikri. 1994.
Jarim, ‘Ali dan Musthafa Amin. Al-Balâghah al-Wadhihah. Mesir: Dâr al-Ma’ârif. Cet.X. 1977.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Cet. XIV. 2004.
Sakkâki, Yûsuf ibn Abi Bakar Ya’kub ibn ‘Ali. Miftâhul ‘Ulûm. Beirut: Dâru al-Kutub al-’Ilmiyyah. Cet. II. 1987.
Verhaar, J.W.M.. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Cet. III. 2001.